Saturday, May 5, 2007

Bagaimana Bertawassul

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabaraktuh. yang saya hormati, saya ingin bertanya. Berdoa dengan lantaran (tawassul) kepada orang saleh atau para nabi, apakah diperbolehkan dalam Islam? Apakah hal ini juga termasuk perbuatan syirik? Dan bukankah orang yang sudah mati tidak bisa menolong orang lain, karena menolong dirinya sendiri saja di alam barzakh kesulitan? Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabaraktuh.

M. Ulin Nuha Kasingan

Jawaban:

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Rasulullah (saw) sering berdoa, sebagaimana disebutkan dalam hadits "Allahuma inni as'aluka bihaqqissa'ilin," atau artinya, Ya Allah, aku mohon kepadamu dengan haknya orang-orang yang ahli meminta kepadamu. Ini termasuk kalimat tawassul.

Satuan bahasa "Ihdina" (Tunjukkanlah kepada kami) juga bisa mengandung tawassul, karena kalimat itu tidak menunjukkan satu orang, tetapi juga termasuk orang yang telah mati, orang yang sedang sakit, atau orang yang tengah sekarat. Kalau arti "Ihdina" ini diperluas, ia bermakna "agar semua kaum muslimin yang telah meninggal mendapatkan jalan yang lurus (baik), sedang yang masih hidup mendapatkan jalan kebaikan". Dalam kalimat yang didahului "ihdina" juga bisa termasuk kaum muslimin maupun muslimat, mukminin ataupun mukminat.

Pada zaman Nabi Musa, ketika terjadi peperangan, ada pengikut beliau yang bertawassul dengan Tabut (kotak wasiat). Di dalam tabut itu ternyata ada pakaian-pakaian para nabi zaman dahulu. Tabut tersebut bekas kotak penyimpanan barang-barang milik para nabi, seperti tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dan serpihan Taurat yang robek ketika diletakkan oleh Nabi Musa.

Setiap Bani Israel membawa tabut. Bani Isreal selalu memenangkan pertempuran dengan orang-orang yang memerangi mereka. Inilah yang dipakai bangsa Israel untuk bertawassul.

Tawassul itu menunjukkan kerendahan hati seseorang. Ini dilakukan orang yang banyak amalnya tapi menganggap amalnya di sisi Allah masih kurang dan masih banyak dosanya. Tawassul itu mendidik kita menghilangkan sifat egois. Meski kita banyak amalnya, kita tetap menggandeng orang yang saleh di sisi Allah. Bukan kita minta kepada orang tersebut, tetapi kita tetap minta kepada Allah dengan ditemani orang saleh itu.

Mari kita kembali kepada ajaran para ulama kita. Mengapa mereka menyandang sebutan "al-mukhlisin", orang-orang yang ikhlas? Mereka mampu mengamalkan perbuatan yang saleh tetapi tidak membanggakan diri bahwa apa yang dilakukan itu adalah perbuatan saleh, sebab apa yang mereka lakukan semata-mata karena anugerah Allah.

Kewajiban lainnya adalah mereka itu "abdullah", hamba Allah, sehingga semata-mata mengabdi kepada-Nya. Dari sinilah kita berangkat belajar ikhlas. Selanjutnya, kekuarang-kekurangan yang ada dalam diri kita jangan sering kita lalaikan. Kita harus introspeksi atau muhasabbah. Semua itu yang menyempurnakan adalah Allah. Tanpa petunjuk dan fadhilah-Nya, apa yang dilakukan manusia tidak ada artinya.

Kita bisa memiliki sesuatu karena kita diberi oleh Allah. Karena itulah, apa yang kita miliki kita kembalikan kepadaNya, sebagai Yang Maha Pemberi. Kita perbanyak menggapai pahala dari Allah, semata-mata karena sifat ikhlas kita kepada Allah.