Saturday, May 5, 2007

Antara Dunia dan AKhirat

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kalau kita telaah sejarah wali, dalam kehidupannya, ada yang menghargai dunia dan ada yang tidak. Yang menghargai dunia berargumen, walaupun memiliki harta banyak, hati mereka tidak terpengaruh, tidak terikat pada dunia. Sebaliknya yang tidak menghargai dunia beralasan, kalau orang menghargai dunia, mustahil hatinya tidak terikat dengan dunia.

Tetapi mereka, baik yang pro maupun yang kontra, memiliki kesamaan dalam menata hati. Hati bagi mereka harus suci, hati sebagai alat untuk makrifatullah dan tidak boleh dikotori oleh nafsu duniawi, karena akan membutakan mata hati untuk lebih mengenal Allah. Bagaimanakah pendapat untuk menjembatani dua kecenderungan amaliah wali yang terkesan berseberangan ini. Untuk masa sekarang, mana yang terbaik untuk diteladani? Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Lisa Febrianti Karyasari

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Sebenarnya para waliyullah tersebut sama dalam memandang dunia. Zuhud adalah dasar utama untuk mengantisipasi kecintaannya kepada dunia. Tetapi tidak berarti meninggalkan syariat. Siapakah yang tidak ingin berzakat dan berhaji? Bukankah keduanya memerlukan dunia sebagai sarananya?

Jelasnya, waliyullah tidak meninggalkan syariat Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya. Mereka berikhtiar sebagaimana layaknya manusia hidup. Mereka mengerti, sungguh, dunia ini menyebabkan kelalaian dan kesombongan. Dari itu mereka menjauhkan hatinya dari cinta dunia.

Tiada kecintaan terkecuali kepada Sang Pencipta dan Rasul-Nya. Karena itu hanya keabadian yang dicintainya. Berbeda dengan dunia yang tiada berkekekalan. Setiap wali, setinggi apa pun ketinggian derajat yang diperolehnya, tetap merasa fakir di sisi-Nya. Karamah yang luar biasa bagi mereka justru makin membuat malu kepada Al-Khalik. Apa artinya dunia ini dibandingkan dengan derajat dan karamah serta kedekatan kepada Allah (Swt) sehingga dia diangkat sebagai para kekasih-Nya. Baik bagi yang diberi kekayaan maupun yang fakir, keduanya melahirkan rasa syukur. Syukur yang pertama, rezeki yang didapatkan tidak mengubah hatinya dalam mencintai Allah. Sedangkan bagi mereka yang fakir, dunia tetap disyukuri, walaupun keberadaannya kecil. Bagi para wali, kekayaan dan kefakiran tidak ada artinya. Yang memiliki kekayaan tidak berarti memiliki kepuasan, karena dalam hatinya tetap merasa fakir di sisi Allah.

Manakah yang patut diteladani? Semuanya dapat diteladani. Lihatlah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman (as) yang tercatat sebagai seorang Nabi dan Raja kaya raya. Apakah kedua nabi itu lebih utama dibanding nabi yang lain? Tentu tidak. Semuanya memberikan keteladan dalam kebaikan. Sama seperti para pewarisnya, para ulama dan para wali.