Saturday, May 5, 2007

Mengapa Para Habib Dimuliakan?

Assalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh. Sebagai santri Pondok Pesantren Al-Ittihadut Thoyyib, Kudus, yang diasuh oleh K.H. Syekh Abdul Jalil Thoyyib Assaid (Gus Jalil), saya sangat senang. Lebih-lebih kalau ada tamu ulama, kiai, saya selalu disuruh ber-mushofahah, menyerap ilmu, dari mereka. Namun akhir-akhir ini saya jadi kurang setuju bila ada tamu Gus Jalil yang disebut atau sayid dimuliakan melebihi yang lain. Seolah-olah hanya mereka itulah yang paling mulia. Benarkah harus demikian? Untuk mengetahui Habib atau sayid, katanya harus punya "al". Ada yang bin Syihab, ada bin Jindan, bin Syech Abu Bakar. Bagaimanakah ini?


Pernah kami baca, di majalah Tempo, pernyataan Ami Pekalongan (ahli nasab). Katanya, Walisanga, Kiai Mojo, Imam Bonjol, adalah keturunan Alawiyin. Akhir-akhir ini di majalah Hidayah, Syekh Nawawi Banten keturunan Sunan Gunung Jati. Padahal, kata Abdullah bin Idrus Al-Haddad Rawa Badung, Jakarta Timur, Walisanga tidak mempunyai keturunan. Bagaimana ini? Wassalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh.

M. Shodiq

Jawaban:

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. "Al" pada nama keturunan Nabi adalah gelar. Entah itu formal atau tidak. Ada yang bersebab karamah, juga bisa dari sebab bukan karamah. Seperti Alaydrus (pemimpin para sufi), itu karena Abdullah ketika masih kecil mendapat karamah kesufian dari Allah (Swt). Mungkin karena karamahnya itulah, beliau bersama keturunannya diberi gelar tersebut. Begitu juga bin Sihab, al-Sihab, karena ilmunya.


Sebetulnya istilah "al" tidak untuk memisahkan para habib atau kaum Alawiyin tersebut, melainkan untuk memudahkan dalam penentuan nasabnya atau saudara, famili, yang terdekat dari bapaknya. Itu di antaranya.


Beberapa Wali Sembilan, Walisanga, adalah keturunan Alawiyin. Selanjutnya, beberapa tokoh pejuang di Indonesia, seperti Kiai Mojo dan lainnya, juga tidak terlepas dari Alawiyin. Memang ada beberapa Wali Sembilan yang tidak memiliki keturunan, seperti Sunan Bonang. Tetapi banyak yang mempunyai keturunan, seperti Sunan Gunung Jati, Maulana Hasyim Sunan Drajat, Sunan Ampel, Sunan Lamongan, Imam Ja'far Shodiq Sunan Kudus. Beberapa sunan yang disebutkan terakhir ini, keturunannya sangat banyak. Di antara keturunan Sunan Gunung Jati adalah para sultan Banten, sultan Cirebon, dan lainnya. Keturunan Sunan Giri, termasuk ibu Panembahan Senopati yang menurunkan trah Mataram, adalah cucu Ainul Yakin Sunan Giri.


Saya tidak berani menyanggah pendapat orang yang mengatakan bahwa para Wali Sembilan tidak memiliki keturunan. Lebih baik saya menawarkan diri, mari kita membuka lembaran sejarah serta penulisan riwayat hidup serta keturunan para wali di Indonesia. Saya yakin, mereka yang mengaku keturunan para wali tidak bertindak gegabah, sebab mereka memiliki bukti yang kuat. Kalau mereka tidak mengaku sebagai keturunan padahal mereka yakin memang keturunan para wali, sikap itu akan dianggap salah. Sebaliknya, orang yang bukan keturunan para wali tetapi mengaku keturunan para wali, juga salah.


Apabila kita mempelajari tarikh atau sejarah Wali Sembilan dengan saksama dan jeli, insya Allah kita tidak akan mengklaim bahwa para Wali Sembilan tidak memiliki keturunan. Meski keturunan itu dari pihak wanita (nenek), yang namanya cucu, tetap dianggap keturunan tokoh tersebut.