Saturday, May 5, 2007

Sihir Dalam Islam

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya ada beberapa pertanyaan. Pertama, jika ada orang yang pernah mengalami baiat tarekat, namun dalam beberapa waktu ia sering meninggalkan wirid yang mestinya dipraktikkan, bagaimana hukumnya? Bagaimana kemudian cara mengganti wiridnya? Apakah cukup hanya dengan bertobat, istighfar?


Kedua, ada satu dalil dalam kitab salaf atau kitab kuning ditegaskan bahwa khawariqul 'adah atau keajaiban dapat dicapai dengan tarekat seperti berpuasa atau wirid, juga disebut sihir. Lalu bagaimana dengan para "kiai" yang punya ilmu semacam aji Gelap Ngampar, atau yang lainnya? Atau, bagaimana bila ada orang yang mengamalkan wirid-wirid ijazah untuk ilmu tertentu, kanuragan, terawangan, dan lain-lain?


Ketiga, dalam kitab Fatawa Al-Haditsiyah disebutkan, ilmu nujum atau perbintangan termasuk bagian sihir. Terkecuali ilmu huruf atau wifiq, hukumnya bukan sihir, dan diperbolehkan. Alasannya, karena Imam Al-Ghazali termasuk salah seorang ulama yang ahli dan menekuni ilmu tersebut. Adakah Hadist sahih yang membolehkan pembuatan dalil dengan alasan mengikuti seorang ulama yang termasyhur?


Keempat, bagaimana pandangan tentang pendapat Syekh Abil Fadlal Senori, Tuban, yang mengatakan, dua kitab milik Syekh Ali al-Buni, yaitu Syamsy ul-Ma'arif Al-Kubra dan Mamba'u Ushul al-Hikmah, termasuk bagian sihir. Keenam, mohon penjelasan definisi sihir dan contoh-contohnya dalam kehidupan zaman sekarang. Wassalamualaikum warahma-tullahi wabarakatuh.

Anshor Aqib

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Sebaiknya kelalaian yang terjadi selama ini tidak perlu terulang lagi. Perbanyak istigfar, karena kita telah lalai dalam menjalankan tarekat. Tidak perlu berbaiat kembali atau mencari tarekat yang lain. Kemungkinan, ada sedikit kelemahan dalam penjabaran tentang pengertian tarekat itu sendiri, yang dianggap sebatas bacaan. Yaitu, bacaan yang harus diamalkan karena sudah mengambil baiat atau janji dari guru mursyidnya. Bila sudah mendalami dan telah mengambil tarekat, insya Allah, Anda akan merasa berat untuk meninggalkannya. Jadikan tarekat sebagai kehidupan Anda sehari-hari, sehingga sampai pada klimaks kenikmatan dunia. Yaitu, puncak kenikmatan saat keluar dari dunia yang fana ini dengan membawa iman dan Islam, mati dengan husnul khatimah.


Tarekat berhubungan erat dengan ihsan, spiritualitas. Karena, untuk bisa mendapatkan adalah melalui tarekat. Masih banyak orang yang merasa berat masuk tarekat, karena bacaan-bacaannya dianggap sebagai beban. Tarekat bukan sekadar bacaan. Aurad atau wirid dalam tarekat akan menggantikan semua karat hati yang timbul karena penyakit hati, dengan ukiran kalimat, La ilaha illallah Muhammadurrasulullah, sebagaimana keadaan hati orang-orang arif.


Tarekat akan mencerminkan akhlak al-karimah dan kebersihan hati dari sifat-sifat yang tidak di ridhai Allah (Swt) dan Rasul, seperti takabur, dengki, hasut, dan sebagainya, yang muncul karena kealpaan diri kita. Apabila orang sudah tidak lalai kepada Allah (Swt), ia akan menjadi orang yang selalu berpikir dan berbuat positif dalam kehidupan ini, untuk mencapai kebaikan di akhirat. Inilah semangat tarekat yang seharusnya dikembangkan. Semoga kita dijadikan Allah (Swt) orang yang bersih hatinya dari hal-hal atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunan Baginda Nabi (saw).


Ilmu-ilmu seperti yang Anda sebut tidak tergolong dalam khawariqul 'adah atau keajaiban, melainkan hanyalah asrar atau rahasia yang berupa kelebihan. Baik doa maupun ayat Al-Qur'an yang telah diamalkan agar seseorang bisa mendapatkan asrar tersebut. Seperti ditembak tidak mempan, dibacok tidak luka, atau dapat berjalan di atas air. Tapi itu tidak pernah menjadi tujuan para auliaillah. Para wali menjalankan ibadahnya semata untuk meningkatkan kedudukannya sebagai hamba dalam menjalankan kewajiban kepada Tuhan.


Khawariqul 'adah yang didapatinya bukan hasil tirakat, melainkan semata-mata pemberian dari Allah. Misalnya inkisyaf, yaitu dibukakan tabirnya oleh Allah (Swt), sehingga seorang wali bisa memiliki kemampuan weruh sak durunge winarah, mengerti peristiwa yang belum terjadi. Tidak menggunakan aji terawangan dan sebagainya. Mengapa mereka mendapatkan inkisyaf dari Allah (Swt), dan bukan dari hasil tirakatnya? Karena, mujahadah mereka adalah bagaimana memerangi nafsu, agar hati bersih.


Satu contoh, misalnya di dalam Surah Al-Kahfi, kisah tentang Nabi Khidhir dan Nabi Musa. Keduanya adalah nabi, tapi yang satu, Musa, sekaligus rasul. Keistimewaan yang diberikan kepada Nabi Khidhir tidak sama dengan keistimewaan yang diberikan kepada Nabi Musa.


Nabi Musa tidak mengingkari apa yang didapat Nabi Khidir. Nabi Khidhir pun mengerti apa yang didapat Nabi Musa. Adapun perbedaan pendapat antara Nabi Musa dan Nabi Khidlir dalam berbagai persoalan, seperti terceritakan dalam Surah Al-Kahfi, sebenarnya untuk memberi keterangan kepada orang awam bahwa ada dua dimensi dalam dunia keilmuan. Yang satu ilmu syariat, seperti yang diamalkan Nabi Musa, dan yang satunya lagi adalah ilmu hakikat, sebagaimana yang ada pada Nabi Khidhir. Karena itu, Saudara Anshor Aqib sendiri harus bisa mengetahui dan membedakan mana khawariqul 'adah yang ada pada para auliaillah dan mana ilmu jaya kawijayan dari hasil tirakat.


Sedangkan hukum amalannya, kalau itu berbentuk istidraj yaitu keajaiban yang Allah berikan kepada orang tidak beriman, zalim, dan bukanlah sebagai anugerah, melainkan karena Allah sedang menangguhkan, istlah Jawanya itu termasuk sihir. Tapi kalau bentuknya karamah, itu adalah fadhal atau anugerah dari Allah (Swt). Sedangkan sihir sendiri, termasuk mempelajarinya, hukumnya haram.


Perbedaan sihir dan karamah terletak pada akibat yang ditimbulkannya. Istidraj itu, meskipun kelihatannya mendekatkan kita kepada Allah, hakikatnya menjauhkan. Sebaliknya karamah, menyebabkan ketakwaan kita akan semakin luar biasa, makin rendah hati, tawaduk, dan hati-hati dalam mencari ke ridhaan Allah.


Adapun khawariqul 'adah yang dimaksud adalah yang dikasab, melalui upaya, untuk mendapatkan keajaiban. Ini yang dikhawatirkan dan yang dimaksudkan oleh kitab itu.
Masalah ilmu nujum, tergantung bagaimana pengertiannya. Pada umumnya, ilmu nujum digunakan untuk membuka tabir kehidupan. Kenapa ilmu nujum tidak boleh dipelajari, karena sebatas perhitungan. Selain itu, ilmu nujum adalah ilmu dhan, prasangka. Namun, yang paling menghawatirkan dan membuat sebagain ulama, termasuk Baginda Nabi (saw), melarang, ilmu nujum itu dianggap mendahului kehendak Allah (Swt).


Kita harus bisa membedakan ilmu falak dan nujum. Ilmu falak terkait dengan ilmu perbintangan, yang berkaitan dengan peredaran matahari, bulan, dan perputaran bumi, yang digunakan untuk menemukan titik tanggal atau hilal, atau suatu arah, baik bagi pesawat maupun dunia ilmu kelautan, agar bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli falak ini jelas menggunakan ilmu perbintangan atau geofisika. Karena itu, ilmu falak inilah yang boleh dipelajari.


Adapun mengikuti jejak ulama yang salaf, ulama besar dan terkenal atas keluasan ilmunya, seperti Imam Ghazali, yang periodenya tidak begitu jauh dengan Baginda Nabi (saw), abad ke-4 Hijriah, memudahkan kita menjadi saksi sejarah. Tidak mungkin kita memahami agama tanpa pengetahuan ulama-ulama terdahulu. Maka, dalam menafsirkan kandungan yang tersurat maupun tersirat dalam suatu Hadist, misalnya, patutlah kita ikuti jejak ulama yang sudah jelas kepribadian dan kealimannya. Melalui kitab-kitabnya yang sejalan dengan Al-Qur'an dan Hadist.


Orang yang takut kepada Allah itu bukan cuma kita. Mereka justru lebih takut. Maka, setiap kali akan berfatwa, mereka selalu berhati-hati terhadap akibat yang bisa timbul, di dunia apalagi di akhirat.


Jadi, saya kira, mengikuti ulama itu memang benar. Sebagaimana Rasulullah bersabda, "Al-'ulama' waratsatul ambiya'." Ulama adalah pewaris ilmu para nabi. Dan, Hadist lainnya, "al-ulama siraj ud-dunya," atau Ulama adalah pelita di dunia.


Dua kitab yang Anda sebut itu, Syams al-Ma'Srif dan Mamba'u Ushul Lil Hikmah, adalah karangan Syekh Ahmadbin Ali al-Buni, yang sangat populer. Beliau orang yang diberi kelebihan oleh Allah (Swt) untuk menguak mutiara-mutiara yang ada di dalam Al-Qur'an, dengan maksud untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Al-Qur'an bukan semata untuk dibaca dan diambil fatwanya, atau diambil sebagai obat hati dalam akidah dan hukum-hukumnya, tapi juga mengandung keistimewaan luar biasa. Contoh, Nabi (saw) pernah melewati sebuah kuburan lalu beliau berhenti karena mendengar tangisan salah seorang ahli kubur. Rasulullah kemudian mengambil pelepah kurma yang masih hijau, lalu ditancapkan di atas pusara. Seketika orang yang menangis terdiam, karena merasakan kesejukan dan ketenteraman.


Melihat kejadian itu, Rasulullah ditanya para sahabat, "Ya Rasulullah, apa maksud Anda menancapkan pelepah kurma dalam pusara tersebut?" Dijawab oleh Rasulullah, "selagi pelepah kurma ini masih hijau, ia akan bertasbih kepada Allah (Swt). Dan tasbih daun itu menjadi sebab turunnya rahmat bagi orang yang ada di dalam kubur." Nah, Itu baru sebuah tangkai pohon, lantas bagaimana dengan Al-Qur'an? Apakah Al-Qur'an bisa kalah dengan sebuah pelepah kurma?


Sekarang masalah sihir. Kata sihir di sini bukan dalam pengertian umum. Ilmu sihir itu haram, tapi kata sihir di sini maksudnya taskhir atau menundukkan. Taskhir al-qulub berarti menundukkan hati. Seperti doa, "Allahumma sakhkhir qalbi, atau juga seperti yang ada dalam rangkaian doa Hizb al-Bahr, di situ ada kalimat, "Kama sakh-khartal bahra li musa.."dan sebagainya.


Imam Ali Al-Buni, menurut kitab Jami'u Karamatil Auliya, disebut sebagai waliyullah. Mungkinkah seorang auliaillah mengamalkan dan mengarang kitab yang mengakibatkan sihir dan dosa kepada umat dan khususnya untuk dirinya sendiri?


Saya tidak bisa mengomentari pengarang kedua kitab tersebut. Saya hanya mengutip pendapat Sayidina Syekh Abil Hasan As-Sadzili RA, yang tidak menyetujui ilmu yang dicapai melalui kitab-kitab itu sendiri. Imam Sadzili khawatir kalau-kalau orang awam tergantung pada ilmu kedhahiran, apa yang terlihat, misalnya kesaktian, sehingga dirinya kesengsem atau tergila-gila kepada ilmu itu. Padahal, sebetulnya, dengan ilmu itu si awam bisa mendekatkan dirinya dan sampai kepada Allah, bukan malah terayu oleh ilmu-ilmu itu. Seperti bisa berjalan di atas air, dibacok tidak mempan, dan lain-lain. Meskipun demikian, Imam Sadzili tidak pernah menuduh Imam Al-Buni adalah tukang sihir.


Bukan berarti Imam Sadzili tidak setuju orang mencari dunia. Tapi ia menerangkan, jangan sampai kita terikat pada dunia, yang berakibat lalai kepada Allah (Swt). Ilmu sihir sudah ada sebelum Nabi (saw) dilahirkan. Misalnya sihir India, sihir Maghrabi, dan lain-lain. Di zaman Nabi Musa AS, kita bisa melihat tali bisa jadi ular. Pada waktu itu orang yang tidak percaya pada kenabian Musa mengeluarkan sihirnya, tapi dilawan oleh Nabi Musa dengan mukjizatnya.


Masalah penyalahgunaan ilmu itu tidak hanya terjadi di zaman dahulu. Di zaman sekarang pun masih ada. Misalnya, untuk menundukkan seorang wanita supaya jatuh cinta pada dirinya digunakan ilmu tertentu. Tapi sebenarnya dia juga tidak bisa menjamin, jika si wanita sudah jatuh cinta, apakah dia bisa membawa wanita itu menuju kemaslahatan dunia dan akhirat. Inilah yang tidak bisa dibenarkan. Itu pun bisa menjadi kategori sihir, apalagi yang jelas sihir. Semoga, dengan ucapan dan nasihat kita, orang-orang seperti itu bisa kembali kepada jalan Allah (Swt).