Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Di Indonesia banyak sekali aliran yang bercorak kebatinan. Di antaranya tarekat dan kejawen. Selain memiliki kesamaan, keduanya berseberangan dalam banyak hal. Aliran kejawen mengajarkan Tapa Pendhem. Pelakunya ditanam layaknya orang meninggal. Mereka yang berhasil, mendapatkan kesaktian, mengetahui peristiwa jarak jauh, tahu isi hati orang, dan lain-lain. Sebaliknya, aliran tarekat tidak mengajarkan kesaktian. Tarekat mengarahkan pengikutnya agar hatinya bersih, sabar, dan mencari kerelaan Tuhan semata.
Pertanyaan saya yang pertama, seandainya kedua aliran tersebut dipersandingkan, apakah kejawen yang lebih unggul daripada tarekat, atau sebaliknya? Kedua, seandainya ada pengikut aliran tarekat minta agar bisa sakti, bagaimana solusinya? Apakah harus bergabung dengan aliran kejawen? Apakah Kejawen itu selalu dianggap ilmu hitam? Mohon penjelasan. Atas jawabannya, kami ucapkan terima kasih. Wassala-mualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Herman Kardiaman
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Bagi pengikut tarekat, karamah bukanlah tujuan. Karamah itu bagi para kekasih Allah, tanpa diminta pun, Allah (Swt) akan memberinya. Dan itu bukan suatu kebanggaan. Sekali lagi, itu bukan tujuan bagi para waliyullah.
Kalau mereka diberi kelebihan yang luar biasa seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani, itu semata-mata karena Allah. Bahkan mereka malu kepada Allah (Swt) apabila diberi kelebihan yang luar biasa. Kalau seseorang sudah dekat dan semakin dekat dengan Allah (Swt), mungkinkah ada ilmu yang bisa mengalahkan orang yang dekat pada Sang Pencipta. Kami tidak mau mengatakan kejawen itu lebih rendah, itu tidak. Sekali lagi, apakah ada orang yang sudah dekat benar kepada Allah (Swt) lantas bisa dikalahkan?
Maaf, tarekat tidak mengajarkan ilmu kanuragan atau kebal tembak dan bacok. Itu ada bagiannya tersendiri. Sedangkan tarekat itu urusannya adalah bagaimanakah caranya agar diri mampu semakin berdekatan dengan Allah dan Rasul-Nya. Adapun ilmu kekebalan di atas itu merupakan nilai ikhtiar menjaga keselamatan diri secara lahiriah.
Tapi ingat, orang yang tidak mempan ditembak atau dibacok itu belum tentu seorang yang selalu melakukan pendekatan kepada Allah. Sebab, hal ini terkadang bisa menimbulkan kesombongan dan berakibat menjauhkan dirinya dari Allah (Swt). Terkecuali orang-orang yang makrifatnya tinggi. Dia akan lebih memahami makna dan rahasia kebesaran ayat-ayat Allah. Jadi semua itu tergantung pada manusianya. Tapi tidak semua kejawen itu aliran hitam. Perlu diketahui, ilmu kejawen itu dirintis oleh tokoh-tokoh ulama pada zaman Wali Sembilan dulu dan para ulama sesudahnya. Mereka itu mencari jalan untuk menerjemahkan kitab-kitab fikih dan kitab-kitab tasawuf, khususnya dengan bahasa Jawa. Maka kitab itu disebut kitab kejawen, karena peralihan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa, baik yang Kawi atau krama inggil. Misalnya, kitab yang dikarang oleh Kiai Saleh Darat Semarang. Kitab Majmu' dan kitab Munjiyat, misalnya, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, sehingga sering juga disebut kitab kejawen.
Kitab-kitab itu bermaksud menjembatani para penganut agama pada waktu itu—zaman Wali Sembilan atau sesudahnya—untuk memudahkan memahami agama yang baru, yaitu Islam, dari agama sebelumnya. Para wali itu memberikan warna tersendiri dalam dunia tasawuf, dan dari situlah muncul Kejawen. Misalkan orang bertapa. Dalam Islam bertapa ini kemudian diganti dengan khalwat (menyendiri). Dalam khalwatnya mereka selalu menjaga wudhu, dan tidak boleh melepaskan zikir kepada Allah (Swt). Tapi, memang, ada nilai-nilai kejawen yang bertujuan mencari kesaktian atau yang lain, termasuk untuk pengobatan dan sebagainya. Ada pula Kejawen yang tumbuh terlepas dari ajaran Islam. Nah, dari sinilah kita harus pandai-pandai memilah dalam masalah ini.