Sunday, May 20, 2007

Jangan Genit Pada Allah

(Sebuah Pengantar Ringan)


Saking agung dan besarnya ampunan Allah kepada hamba-hamba-Nya, sampai-sampai Nabi Muhammad SAW, bersabda; "Seandainya seluruh muka bumi ini tak ada manusia yang berdosa, maka Allah akan menciptakan makhluk manusia lain yang akan berbuat dosa. Dan ketika manusia itu bertobat, Allah pun terus mengampuni."

Betapa dahsyatnya ampunan Allah dan kekuasaan Allah. Seandainya manusia model Bush pun sirna di muka bumi, bahkan seluruh muka bumi bertobat kepada Allah, maka tak ada lagi perang, penjahat, dan preman.

Bahkan tak ada lagi pelacuran, perselingkuhan, perjudian, pembantaian, dan pemerkosaan. Allah akan tetap menciptakan manusia-manusia model Bush baru. Manusia-manusia Dajjal baru, bahkan para pemaksiat lainnya.

Inilah kebesaran Allah. Kebesaran bukan saja berujung basa-basi ritual, tetapi fakta semesta. Betapa memang peluang dan pintu taubat itu terbuka lebar-lebar, selebar keluasan Ilahi.

Anda jangan menyesali perbuatan keji Anda jika penyesalan Anda hanyalah ungkapan atas kesementaraan nafsu, kejahatan, dan birahi Anda. Karena itu penyesalan di dunia ini hanyalah keluhan atas "rasa hilang" dan "rasa bersalah" atas perjanjian manusia dengan Allah yang disepakati di zaman dahulu.

Kelak di akhiratlah penyesalan yang sesungguhnya terjadi. Semua orang menyesali hidupnya di dunia dan ingin dikembalikan ke dunia. Di akhiratlah sebuah pembenaran mutlak terjadi ketika semua manusia mengatakan; "Benarlah para rasul itu...."

Namun, ada juga manusia yang tidak menyesal. Yakni orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, orang yang tahu haknya sebagai hamba dan haknya terhadap sesama. Karena hal demikian merupakan kesimpulan dari ajaran agama.

Kalau sekadar menyesali kebejatan Anda, berarti Anda telah kehilangan rasa cinta. Kalau hanya menyesali birahi Anda yang liar di tempat maksiat, berarti Anda telah kehilangan titipan Allah dalam proses ujian peningkatan derajat Anda.

Kalau hanya menyesali tindak korupsi dan kemalingan Anda, maka Anda hanya akan terbuang dari interaksi sosial kemanusiaan yang harmoni. Kalau hanya menyesali perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan, dan pembantaian Anda, maka Anda seperti kehilangan ke-Maha Indah-an Ilahi dalam maujud ekspresif sifat-sifat agung-Nya.

Untuk apa Anda menumpuk pahala jika Anda merasa hebat dengan amal Anda. Lalu Anda kehilangan Allah saat beramal. Allah tiba-tiba sirna dari hati Anda sebagai tumpuan segalanya. Karena Anda bertumpu pada amal Anda, prestasi ibadah Anda, dan keakuan Anda?

Untuk apa Anda menumpuk kejahatan dan dengan rasa kecewa serta frustasi, lalu Anda membangun lembaga hitam kejahatan. Jika sesungguhnya ampunan Allah itu lebih besar ketimbang kejahatan dunia seisinya?

Untuk apa Anda dikejar rasa bersalah, berdosa, putus asa untuk menghadap Allah, padahal sebelum Anda melakukan tindak dosa, Allah lebih dahulu melambaikan tangan agung-Nya. Allah menyapa dan menghampiri agar Anda minta ampun dengan segala cinta-Nya?

Ahh... di dunia ini jangan terlalu genit kepada Allah. Jangan terlalu su'udzon pada Allah. Jangan sering merasa hina dina sampai Anda ingin menjauh dari Allah. Sebab, terkadang Allah menakdirkan hamba-Nya berbuat maksiat agar si hamba justru lebih mendekat kepada-Nya.

A...B...C...Itu Adalah Allah

Suatu hari seorang sahabat Nabi bertanya; `Wahai Nabi, apabila Al-Qur'an itu bukan makhluk? Lalu apakah huruf hijaiyah, alif, ba', ta', sampai ya' itu makhluk atau bukan?"

"Huruf hijaiyah itu bukan makhluk," jawab Nabi SAW.

"Alif itu adalah salah satu dari nama Allah. Ba' juga nama Allah, ta' juga nama Allah....hingga ya'. Bahkan A...B...C...D...E..dan seterusnya itu juga nama-nama Allah."

Hadits ini dikutip oleh seorang wali besar Syeikh Abdul Qadir al-Jilany dalam kitabnya Al-Ghunyah.

Jadi, jika Allah saja bersembunyi di balik tirai huruf-huruf yang kelak dari huruf itu membentuk suku kata dan dari kata membentuk kalimat, maka setiap kalimat yang baik dan bermanfaat - yang bisa mengubah jiwa kita, pastilah tidak lepas dari rahasia Ilahi yang tersembunyi di balik huruf-huruf-Nya. Karenanya, jika Anda berkata jorok, berdusta, berbohong, menggunjing, memaki, menyakiti dengan ucapan, sesungguhnya Anda telah memanipulasi susunan kata-kata yang terdiri dari Asmaul Husna untuk sebuah kejorokan, kekejian, kejahatan, dan kedustaan. Itulah awal dari sebuah dosa yang muncul dari kata dan wacana.

Seorang sufi ketika ditanya apa anti ucapan-ucapan atau kalamullah dalam Al-Qur’an? Ia hanya akan menjawab; "Ooouh, artinya, semuanya Allah... Allah... Allah... Dari surat Al Fatihah sampai Al Falaq, An Naas, dan seterusnya, semuanya artinya Allah...." Kalimat seorang sufi ini meneguhkan betapa seluruh huruf dalam Al-Qur’an itu adalah Asmaul Husna. Karena itu kita harus suci lahir dan batin ketika membaca Al-Qur’an. Sebab kita sesungguhnya sedang berdzikir menyebut nama-nama Allah Ta'ala.

Keagungan cinta Allah, semakin luhur ketika Allah "sengaja" menirai di balik sesuatu yang tak pernah terduga oleh para hamba-Nya. Termasuk bersembunyi di balik huruf-huruf itu, sampai huruf itu menjadi simbol dari nama Allah.

Jika kita sadari bahwa seluruh suara dan ucapan kita sesungguhnya juga deretan nama-nama Ilahi, kita pasti akan berdzikir kepada Allah. Qiyaaman (ketika berdiri, aktif, dan bergerak), wa qu'uudan (ketika diam, sunyi, dan tak bergerak), wa'ala junuubihim (ketika kita tidur lelap dalam kefanaan hamba), hanya karena kita sadar betapa nafas, simbol, anugerah, dan cahaya Ilahi terus menerus mengitari gerak gerik hati kita, suara yang lahir dari mulut kita, bahkan keluar masuknya nafas kita.

Allah Itu Tidak Ghoib

Sejak kecil, begitu akrab di telinga kita yang menyebut bahwa Allah itu gaib. Bahkan sering orang menegaskan; "terserah yang gaib-lah!", dan sebagainya. Konotasi gaib karena Allah tidak bisa dilihat secara kasat mata oleh kita dan kelak kegaiban Allah sejajar dengan kegaiban hal-hal gaib lain.

Padahal, tidak satu pun asma dan Asmaul Husna (nama-nama agung Allah) yang menyebut bahwa Allah itu gaib, tahu bersifat gaib, atau punya nama al Gaibu di Asmaul Husna. Tidak ada.

Kegaiban Allah itu muncul hanya karena kegelapan kosmos spiritual kita saja yang membuat diri kita terhalang melihat Allah Yang Maha Nyata, Maha Jelas, Maha Dzohir, Maha Batin, Maha Terang Benderang, dan pemilik segala maha.

Sesungguhnya, tak satu pun di jagad semesta ini yang bisa menutupi Allah. Kita mengatakan Allah itu gaib hanya karena menutup diri sendiri saja sehingga tidak bisa melihat Allah. Oleh karenanya Ibnu Athaillah as Sakandary dalam kitab Al-Hikam menegaskan: Bagaimana bisa terbayang ada sesuatu yang menutupi Allah, padahal Dia tampak pada segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu menutupi Allah, sedangkan Allah tampak di setiap sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu bisa menutupi Allah, padahal Allah itulah yang hadir untuk segala sesuatu. Bagaimana dapat dibayangkan jika sesuatu itu menutup Allah, sedang Allah sudah ada sebelum segala sesuatunya ada.

Bagaimana segala sesuatu menutup Allah, sedangkan Allah itu lebih jelas ketimbang segalanya. Dia adalah Yang Maha Esa. Tak ada yang menandingi dan menyamai-Nya. Dia lebih dekat dari urat nadi Anda sekali pun.

Wacana di atas mempertegas betapa Allah itu tidak gaib. Yang gaib justru hawa nafsu kita ini. Manakala kita tidak bisa melihat Allah di balik jagad semesta ini, berarti mata hati kita sedang dikaburkan untuk melihat nurullah (cahaya Allah). Sebab itu, kita harus melihat Allah di mana-mana, kapan saja tiada batas waktu terhingga.

Nurullah adalah awal dari muroqobah kita dan muraqobah adalah awal dan musyahadah (penyaksian Allah dalam jiwa), dan kelak baru mengenal Allah dalam arti yang sesungguhnya. Inilah ma'rifatullah.

Pohon Kegelapan

"Dan ketika Kami katakan kepada Para malaikat, "Sujudlah kepada Adam!" Maka mereka pun bersujud, kecuali iblis. Ia membangkang dan merasa besar diri dan ia tergolong orang-orang yang kafir." (Qs Al Baqarah : 34)

Bahwa perintah sujud kepada Adam bukan bentuk penyembahan malaikat kepada Adam. Tetapi sebagai bentuk penghormatan karena kedudukan Adam lebih tinggi dibanding semua makhluk itu. Para malaikat taat dan tunduk kepada Adam.

Sementara iblis yang memiliki potensi keraguan dan kesangsian mengabaikan perintah Allah itu. Iblis mengabaikan perintah itu karena dia terhijab dari pemahaman hakikat Adam. Hijab itu adalah bentuk wujud Adam saja yang dilihat oleh iblis. Wujud formal dan tekstualnya sehingga iblis kehilangan hakikat Adam.

Padahal kalau iblis tahu akan makna-makna hikmah samawiyah pada diri Adam, pasti ia akan tetap dalam mahabbah menuju ridho Allah ta'ala.

Iblis sendiri termasuk kalangan jin, yaitu kelompok makhluk dari alam malakut paling bawah yang sudah berbaur dengan potensi-potensi kebumian. Ia tumbuh dan terdidik antara fenomena malaikat-malaikat langit untuk memahami makna-makna yang bersifat parsial. Kemudian ia dinaikkan sampai pada ufuk rasional. Karena itu tidaklah aneh jika ada sejumlah binatang yang memiliki "kecerdasan" mendekati manusia.

Iblis menolak terhadap perintah Allah justru karena iblis mengabaikan akal budi dan hikmah yang ada pada dirinya. Sehingga memunculkan sifat takabur terhadap format Adam yang terbuat dari tanah itu.

Iblis terhijab dari memandang hakikat-hakikat Adam dari balik gumpalan tanah itu. Sehingga ia tergolong orang yang kafir sejak azali yang terhijab dari cahaya-cahaya akal budi dan cahaya "perpaduan" ciptaan. Apalagi dan cahaya-cahaya kesatuan.

Maka dari itu, Allah ta'ala selanjutnya berfirman: Dan Kami katakan; "Wahai Adam, hunilah surga, dirimu dan isterimu, dan makanlah kalian berdua, makanan semau kalian. Dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini (Pohon khuldi), yang menyebabkan kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim." (Al Baqarah 35)

Siapakah hakikat isteri Adam itu? Ia adalah nafsu yang namanya Hawa. Karena berinteraksi dengan jasad yang bersifat gelap. Hidup itu sendiri jika dimetaformakan pada warna adalah warna hitam. Sebagaimana hati disebut Adam, karena kata Adam itu berkaitan dengan fisik, tetapi tidak bersifat lazim pada karakter. Karena kata adamah berarti kelabu, yaitu warna yang diarahkan menuju warna hitam.

Sedangkan surga tempat ia diperintah untuk menghuninya itu adalah langit alam arwah yang menjadi raudhatul quds (taman suci). Di sanalah keduanya diperintahkan untuk mengkonsumi apa saja. Dari segala makna, hikmah, dan ma'rifah yang sesungguhnya merupakan konsumsi kalbu itu sendiri. Sekaligus menjadi hidangan ruhani dan segala maqam, martabat, derajat, dan tingkat-tingkat spiritual selamanya tanpa ada batas.

Pohon larangan yang secara hakiki tidak boleh didekati oleh Adam dan Hawa' merupakan pohon dzulmah (kegelapan). Karena seluruh elemen duniawi ada di dalam pohon tersebut.

Orang Bodoh dan Orang Pandai

Orang pandai adalah orang yang tidak pernah merasa pandai. Orang bodoh adalah orang yang tak pernah merasa bodoh. Orang pandai, akan menjadi bodoh ketika kejernihan pikirannya diracuni oleh ide-ide bodoh.

Dan orang bodoh manakah yang disebut bodoh ketika orang ini tidak pernah mengikuti hawa nafsunya? Seorang Sufi besar Ibnu Athaillah mengatakan; “Mana ada orang pandai kalau ia mengikuti nafsunya dan mana ada orang bodoh kalau ia mengekang nafsunya?”

Hari ini kebodohan tampak di mana-mana. Bahkan di ketiak setiap orang yang mengaku dirinya cendekia hanya karena ada satu virus hawa nafsu ketika menyelinap di urat nadi mereka. Lalu rakyat semakin bodoh ketika mereka terhempas dalam kepiluan putus asanya. Karena lapisan-lapisan kekecewaan telah menghimpit mereka.

Apalagi mereka terlalu trauma dengan senjata. Bahkan apa yang disebut dengan pendidikan bangsa ternyata mundur sekian puluh tahun dibanding pendidikan tetangga.

Tapi betapa sombongnya mereka yang di atas pundak-pundak mereka itu ada kewajiban yang harus dipenuhi. Kesombongan yang membuat telinga dalam dada dan mata yang ada di balik dada, bahkan sentuhan dari kedalaman dada tersumpal semua oleh perasaan sombongnya. Kesombongan yang menuding orang lain bodoh dengan kacamata kebodohannya.

Tentu kita tidak ingin ada limbah kebodohan nasional ini membanjiri generasi berikutnva. Kalau kita jujur, man kita akui saja kebodohan itu. Kita akui pula kezaliman itu. Kita akui juga pula kelemahan itu. Semuanya agar kita bisa memasuki sebuah proses "pabrikan kecerdasan" bangsa. Yaitu tazkiyatun nafs atau pembersihan jiwa agar kita bisa meraih tathirul qulub (penyucian hati).

Mereka yang melakukan pembersihan jiwa berarti telah menyiapkan diri untuk menerima cahaya-Nya. Mereka yang membeningkan hati berarti akan siap menerima anugerah-anugerah-Nya. Mereka yang mengakui ketololan dan kebodohannya berarti siap menerima pencerahan-Nya. Mereka yang mengakui kezaliman dirinya berarti akan meraih ampunan-Nya.

Tapi siapakah yang mau mengakui semua itu di tengah-tengah arogansi psikologis yang membebal seperti saat ini? Siapakah yang berani mengakui kesalahannya di tengah-tengah tabir tebal dosa-dosanya yang menyelimuti ampunan-ampunan Tuhan? Siapakah yang mau mengakui kekotoran hatinya di saat kotoran menjadi makanan sehari-harinya. Masya Allah!

Melihat Allah di Gang Dolly

Gang Dolly di Surabaya sudah lama telah jadi ideologi besar dunia. Penganutnya telah ikut menebar virus di seantero nusantara. Karena Gang Dolly jadi ideologi syahwatisme, kultur, dan sebagian dijadikan sebagai "agama" para petualang syahwat.

Dan dari gang inilah, seorang mahasiswa peserta pengajian di tempat saya bertanya;
"Apakah seseorang bisa bertemu Allah dan menyaksikan Allah di Dolly atau di pusat perjudian Las Vegas?"


Tentu ini pertanyaan berani. Wajar, karena baru saja saya menjelaskan tentang bagaimana menyaksikan Allah itu. Bagaimana pula penampilan Allah dalam kehidupan jagad semesta ini, termasuk jagad baik dan jagad maksiat?

Jagad peradaban maupun jagad kriminal? Jagad ekstase Ilahiyah dan jagad eksotisme paha-dada koran seks?

"Bisa!" Saya katakan demikian.

Karena siapa pun harus bisa menyaksikan Allah di mana-mana. Termasuk di tempat tumpahnya sperma hina yang haram itu. Dolly misalnya atau sejenisnya. Di tingkat lokal, pinggir jalan, rel kereta, sampai di hotel berbintang, Dollisme sama sekali tidak bisa menghapus pandangan hati seseorang kepada Allah. Hanya saja, ketika kita menyaksikan Allah di masjid, di tempat ibadah, atau di tempat mana kebaikan ditaburkan, rasanya kita begitu jelas melihat Allah dengan keagungan-Nya. Maka di sanalah sesungguhnya penampilan Allah dengan baju nama-Nya: Yang Maha Kasih, Maha Melindungi, Maha Merahmati, Maha Mengampuni, Maha Lembut, dan Maha Mengangkat derajat hamba-Nya.

Tapi apakah Allah itu juga ada di Gang Dolly atau di perjudian Las Vegas? Sama saja! Tetap ada. Hanya saja nama Allah yang tampil di sana adalah nama-Nya Yang Maha Menghina, Maha Menyiksa, Maha Membalas atas perbuatan hamba-Nya, dan nama-nama-Nya yang memaksa.

Bagi manusia yang sadar, ia akan tahu ketika ia ingin meliarkan nafsunya. Maka ia akan tergugah, jangan-jangan Tuhan sedang menghina saya. Jangan-jangan Tuhan sedang menyiksa saya, lalu saya ditakdirkan mengikuti aliran Dollisme. Jangan-jangan Tuhan menyiksa dengan makian yang menjijikkan saya, ketika saya mau berjudi, mau korupsi, mau maling uang negara, atau mau menipu rakyat.

Maka, dengan kesadaran akan penampilan Allah di mana-mana, tanpa ada ikatan warna, ruang, waktu, dan bentuk, sesungguhnya Anda akan bisa mengendalikan diri Anda dalam segala hal.


Nah, belajarlah melihat Allah tidak hanya di tempat ibadah. Tetapi di balik ketiak para pelacur atau di balik tumpukan kertas setan dalam togel, bahkan di balik gambar angka yang penuh dengan api neraka, atau di balik uang korupsi.

Dan (gang) Dolly itu dalam bahasa Arab artinya orang yang tersesat. Tapi, toh pernah disebut agar kita bukan termasuk golongan orang yang tersesat. Waladh-Dholliyn.

Membersihkan Rumah Tuhan

Seluruh semesta raya ini tidak ada artinya apa-apa dibanding Allah. Berarti segala yang ada, tidak ada yang mampu menampung Allah. Segalanya tidak bisa menjadi tempat semayam Allah. Kecuali hati hamba-Nya yang beriman. Maka di sanalah Allah bersinggasana.

Hati orang yang beriman adalah rumah Allah. Dan karena itu, hati kita adalah amanah Ilahi untuk dijaga, dirawat, dan dirias agar menjadi elok. Hati kita adalah ruang di mana pertemuan dialogis (munajat) antara hamba dengan Rabb berlangsung.

Apabila hati kita tidak bersih, ruang jiwanya tidak bercahaya, sudut-sudutnya tidak aman dari ancaman syetan, tentu tidak ada lagi harapan untuk sebuah istana Ilahi dalam hati kita.

Dalam menjaga dan membangun rumah Tuhan dalam jiwa, ada dua cara yang dilahirkan oleh tradisi keagamaan kita yang agung.

Pertama tradisi tazkiyatun nafs yaitu tradisi membersihkan kejahatan jiwa yang dimulai dengan tobat. Dalam jiwa kita ada sisi gelap yang dipenuhi oleh virus-virus paling menjijikkan. Dimulai dengan virus iri-dengki, lalu berkembang menjadi virus takabbur, riya, ujub, mencintai dunia, kedzaliman, kefasikan, kemunafikan, dan kemudian akan menjurus pada kekufuran.

Semua virus itu harus dibersihkan melalui taubat dan dzikrullah. Dari sinilah muncul paradigma kedua melalui tathirul qulub. Yaitu menyucikan hati melalui riasan etika atau akhlak hamba dengan Allah ta'ala.

Penyucian hati berbeda dengan pembersihan jiwa. Kalau penyucian hati lebih menekankan pada riasan pasca pertobatan, lalu ia memasuki wilayah spiritual dengan riasan-riasan maqamat demi maqamat. Sedangan pembersihan jiwa adalah upaya untuk melakukan asketisme secara total. Baik lewat tobat, zuhud, wara', dan sebagainya.

Dua proses itu lama sekali tidak tergantung dengan lifestyle dan penampilan orang per orang. Orang yang dengan jubah dan jenggot serta tasbih di tangannya belum tentu ia orang suci atau sufi. Jangan-jangan karena ia pamer jubah dan jenggot malah muncul riya' dan takabur atas nama syiar. Siapa tahu justru mereka yang berpenampilan perlente dengan dasi dan jas dandy serta sepatu mengkilat malah lebih dekat dengan Allah ketimbang Anda yang memakai baju-baju religius?
Jangan-jangan mereka yang pakai rok mini itu memiliki keakraban asketik dengan Allah dibanding Anda yang berjilbab. Siapa tahu?

Dalam wilayah ruhani, baju dan bendera harus dibuang. Bahkan prestasi amaliyah sebagai tempat gantungan masa depan di akhirat pun harus dikubur habis-habis. Pada saat yang sama, hanya Allahlah tempat bergantung. Bukan amal, bukan prestasi, dan bukan pula hasrat-hasrat luhur. Bahwa kita memang sedang beramal bagus. Itulah indikator bahwa kita berada dalam lindungan Ilahi.

Tetapi sebaliknya ketika kita berbuat mungkar dan maksiat itu pertanda kita sedang dihina oleh Allah. Astaghfirullah!

Kelak jika dua cara pembersihan dan penyucian hati itu berlangsung, kita akan memasuki ruang zinatul asrar. Yaitu ruang rahasia yang menjadi manifestasi kemahaindahan Ilahi. Maka di sana rumah Tuhan, bukan saja bersih, tetapi telah menjadi arasy yang hakiki.