Seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiri bapak gurunya. Ia bertanya pada gurunya : “saya sekarang ini membawa seekor anak ayam, yang saya taruh dibelakang punggung saya.. tahukah bapak, apakah anak ayam yang saya pegang hidup atau mati?”
Demikian sebuah pertanyaan yang tiba-tiba diajukan oleh seorang anak kecil yang ditujukan kepada gurunya. Bapak guru senior itu terdiam sejenak dengan pertanyaan yang tiba-tiba tersebut. Apa maksud muridnya, sehingga begitu datang ia bertanya akan sesuatu yang aneh tersebut?
Guru tersebut berfikir, apakah muridnya itu sekedar bertanya, ataukah ada sesuatu yang melatar belakanginya? Namun setelah berdiam beberapa saat, sang guru menjawab dengan jawaban yang cukup bijak.
Guru : "Nak, apa maksud pertanyaanmu? Wah, begitu cerdasnya engkau nak! kalau aku jawab anak ayam itu hidup, pastilah engkau akan membunuhnya dengan genggamanmu yang kuat itu. Tetapi apabila aku jawab bahwa anak ayam itu mati, tentulah akan engkau biarkan hidup anak ayam itu...."
Murid: "...maaf guru, jadi apa yang saya tanyakan ini tidak ada jawabannya?"
Guru: "oh, tentu ada jawabnya anakku! sebenarnya apa yang kamu tanyakan itu, adalah sebuah nasehat buat dirimu sendiri. Ketahuilah bahwa hidup dan matimu dalam berkarir, sukses dan gagalmu dalam meniti kehidupan ini sepenuhnya ada di tanganmu. Engkaulah yang menghendakinya... Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka mau mengubah apa yang ada pada dirinya...."
Itulah sekedar dialog 'kebetulan' dari seorang murid dan seorang guru yang bijaksana. Sebuah gambaran betapa seorang tua haruslah selalu bijaksana dalam berdialog dengan anak-anaknya. Zaman sekarang ini, rupanya telah memberikan dampak yang cukup positif bagi intelektual anak-anak kita.
Saya masih teringat ketika masih kecil, pertanyaan yang kita ajukan kepada orang tua kita, sungguh sangat biasa.Tidak ada muatan intelektualnya. Tidak ada nilai kritisnya. Tetapi sekarang ini para orang tua akan menghadapi anak-anaknya yang sangat kritis dalam bertanya maupun menjawab persoalan.
Karenanya, sebagai orang tua kita harus memiliki nilai lebih. Baik dalam hal kesabaran, kearifan maupun ketawadhu'an. Agar di hadapan anak-anaknya orang tua akan tetap mempunyai kewibawaan. Baik kewibawaan akhlak atau budi pekerti mau pun kewibawaan dalam hal menjalankan perintah-perintah agama yang akan dianut oleh anak-anaknya.
Sehingga, orang tua akan menjadi primadona atau menjadi idola bagi sang anak. Dan insya Allah anak-anak pun akan selalu menghargai jerih payah orang tuanya sampai kapan pun.
Beberapa bulan yang lalu, ketika saya naik bus ke Surabaya, di sebelah saya duduk seorang ibu yang sudah berumur enam puluh tahun. Badannya masih tampak sehat. Raut mukanya selalu berseri. Sehingga beliau kelihatan lebih muda dibanding usianya.
Setelah agak lama kami duduk bersebelahan, rasanya tidak enak juga kalau tidak saling bertegur sapa. Akhirnya setelah berbasa-basi, kami terlibat dalam perbincangan yang menarik. Sebagai seorang tua beliau banyak bercerita tentang kehidupannya yang cukup sukses dalam mendidik anak-anaknya.
Saya menjadi semakin tertarik, sehingga cerita dan pengalaman tentang mendidik anak, sungguh akan sangat mengesankan.
Dari perbincangan sana-sini itu ada beberapa point yang benar-benar merasuk dalam hati saya, sehingga selalu saya ingat untuk seterusnya.
Kata beliau : "Seorang anak itu, setinggi apapun Ilmunya, apakah sudah lulus Sl, ataukah lulus S2, atau bahkan sudah selesai S3, ia tetap kalah dengan orang tua yang telah mendidiknya sejak ia kecil..."
Lanjut beliau: "Jika seorang anak mengantongi ijazah S1, maka sebenarnya orang tuanya telah mengantongi ijazah S2. Kalau sang anak sudah S2, orang tuanya minimal sudah pada tingkatan S3. Demikian pula jika sang anak bisa selesai program S3 nya, sebenarnya orang tuanya telah mencapai 'Guru besar'.." Saya cukup terkesima dengan pendapatnya yang sangat brilian itu.
Sungguh sangat masuk di akal. Tetapi memang agak aneh juga pendapat itu. Katanya seterusnya, Orang tua selalu lebih pintar dan lebih tinggi ilmunya dari pada anaknya. Kalau ada orang tua yang berhasil menyekolahkan anaknya, maka sebenarnya itulah 'ijazah' dari kepintarannya..."
Saya bertambah tertarik dengan ungkapan-ungkapannya yang sangat dalam. Saya pun trenyuh mendengar ucapannya. Sebab saya sendiri menjadi mengenang masa lalu saya ketika masih ditunggui oleh ayah dan ibunda. Begitulah masing-masing diri kita.
Kita semua mungkin menyadari, bahwa ketika selesai menjadi sarjana, baik strata satu, maupun strata dua, atau bahkan pada jenjang strata tiga, kiranya ketinggian ilmu yang kita dapatkan ternyata, 'biasa-biasa' saja. Tidak akan melebihi 'ilmu'nya orang tua kita.
Mengapa? Sebab para orang tua kita begitu hebat usahanya. Mereka berupaya tak kenal lelah sepanjang umur kita. Jika kita berumur 10 tahun selama itu pula orang tua kita berdoa dan berusaha demi kita.
Jika kita berumur 40 tahun pun beliau tak henti-hentinya tetap berdo'a dan berusaha demi keberhasilan anak-anak tercintanya.
Usaha yang dilakukan orang tua untuk membuat kita sukses, sungguh di luar dugaan. Kita sebagai anak saat itu hanya menjalani hidup dengan mengalir begitu saja. Padahal untuk itu, semua orang tua kita mengorbankan apa yang bisa dilakukannya.
Mungkin berhutang, mungkin menggadaikan barang, atau mungkin akan menjual barang meskipun terhadap barang yang dicintainya sekalipun.
Dan yang lebih hebat, usahanya adalah usaha do'a yang tak kenal waktu. Kapan saja ada waktu disitulah orang tua kita berdoa untuk kita, bahkan juga untuk anak-anak kita....
Perjuangan tak kenal waktu itulah mungkin yang dikatakan oleh ibu di dalam bus tadi sebagai usaha yang prestasinya lebih tinggi dari gelar akademik apapun.
Lalu sebagai anak. Apa yang bisa kita berikan kepada para orang tua kita itu? Merekalah guru-guru kita yang luar biasa hebatnya. Yang luar biasa cintanya. Yang luar biasa kepeduliannya. Dan yang luar biasa bijaknya...
Sekarang ini, kalaulah kita sudah menjadi orang tua yang memiliki keluarga dan anak, ingatlah bahwa diri kita juga masih tetap sebagai seorang anak, yang tetap akan didoa'kan oleh orang tua kita. Mungkin hari ini mereka sudah tua. Atau sedang menunggu kita di alam keabadian sana. Dialah idola kita yang sesungguhnya...
Kalau kita menginginkan anak-anak kita kelak akan menjadikan diri kita sebagai idolanya, mari kita berbuat sebagai anak yang shalih, yang selalu berdoa untuk kedua orang tua kita....!
QS. Al Ahqaf : 15
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Demikian sebuah pertanyaan yang tiba-tiba diajukan oleh seorang anak kecil yang ditujukan kepada gurunya. Bapak guru senior itu terdiam sejenak dengan pertanyaan yang tiba-tiba tersebut. Apa maksud muridnya, sehingga begitu datang ia bertanya akan sesuatu yang aneh tersebut?
Guru tersebut berfikir, apakah muridnya itu sekedar bertanya, ataukah ada sesuatu yang melatar belakanginya? Namun setelah berdiam beberapa saat, sang guru menjawab dengan jawaban yang cukup bijak.
Guru : "Nak, apa maksud pertanyaanmu? Wah, begitu cerdasnya engkau nak! kalau aku jawab anak ayam itu hidup, pastilah engkau akan membunuhnya dengan genggamanmu yang kuat itu. Tetapi apabila aku jawab bahwa anak ayam itu mati, tentulah akan engkau biarkan hidup anak ayam itu...."
Murid: "...maaf guru, jadi apa yang saya tanyakan ini tidak ada jawabannya?"
Guru: "oh, tentu ada jawabnya anakku! sebenarnya apa yang kamu tanyakan itu, adalah sebuah nasehat buat dirimu sendiri. Ketahuilah bahwa hidup dan matimu dalam berkarir, sukses dan gagalmu dalam meniti kehidupan ini sepenuhnya ada di tanganmu. Engkaulah yang menghendakinya... Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka mau mengubah apa yang ada pada dirinya...."
Itulah sekedar dialog 'kebetulan' dari seorang murid dan seorang guru yang bijaksana. Sebuah gambaran betapa seorang tua haruslah selalu bijaksana dalam berdialog dengan anak-anaknya. Zaman sekarang ini, rupanya telah memberikan dampak yang cukup positif bagi intelektual anak-anak kita.
Saya masih teringat ketika masih kecil, pertanyaan yang kita ajukan kepada orang tua kita, sungguh sangat biasa.Tidak ada muatan intelektualnya. Tidak ada nilai kritisnya. Tetapi sekarang ini para orang tua akan menghadapi anak-anaknya yang sangat kritis dalam bertanya maupun menjawab persoalan.
Karenanya, sebagai orang tua kita harus memiliki nilai lebih. Baik dalam hal kesabaran, kearifan maupun ketawadhu'an. Agar di hadapan anak-anaknya orang tua akan tetap mempunyai kewibawaan. Baik kewibawaan akhlak atau budi pekerti mau pun kewibawaan dalam hal menjalankan perintah-perintah agama yang akan dianut oleh anak-anaknya.
Sehingga, orang tua akan menjadi primadona atau menjadi idola bagi sang anak. Dan insya Allah anak-anak pun akan selalu menghargai jerih payah orang tuanya sampai kapan pun.
Beberapa bulan yang lalu, ketika saya naik bus ke Surabaya, di sebelah saya duduk seorang ibu yang sudah berumur enam puluh tahun. Badannya masih tampak sehat. Raut mukanya selalu berseri. Sehingga beliau kelihatan lebih muda dibanding usianya.
Setelah agak lama kami duduk bersebelahan, rasanya tidak enak juga kalau tidak saling bertegur sapa. Akhirnya setelah berbasa-basi, kami terlibat dalam perbincangan yang menarik. Sebagai seorang tua beliau banyak bercerita tentang kehidupannya yang cukup sukses dalam mendidik anak-anaknya.
Saya menjadi semakin tertarik, sehingga cerita dan pengalaman tentang mendidik anak, sungguh akan sangat mengesankan.
Dari perbincangan sana-sini itu ada beberapa point yang benar-benar merasuk dalam hati saya, sehingga selalu saya ingat untuk seterusnya.
Kata beliau : "Seorang anak itu, setinggi apapun Ilmunya, apakah sudah lulus Sl, ataukah lulus S2, atau bahkan sudah selesai S3, ia tetap kalah dengan orang tua yang telah mendidiknya sejak ia kecil..."
Lanjut beliau: "Jika seorang anak mengantongi ijazah S1, maka sebenarnya orang tuanya telah mengantongi ijazah S2. Kalau sang anak sudah S2, orang tuanya minimal sudah pada tingkatan S3. Demikian pula jika sang anak bisa selesai program S3 nya, sebenarnya orang tuanya telah mencapai 'Guru besar'.." Saya cukup terkesima dengan pendapatnya yang sangat brilian itu.
Sungguh sangat masuk di akal. Tetapi memang agak aneh juga pendapat itu. Katanya seterusnya, Orang tua selalu lebih pintar dan lebih tinggi ilmunya dari pada anaknya. Kalau ada orang tua yang berhasil menyekolahkan anaknya, maka sebenarnya itulah 'ijazah' dari kepintarannya..."
Saya bertambah tertarik dengan ungkapan-ungkapannya yang sangat dalam. Saya pun trenyuh mendengar ucapannya. Sebab saya sendiri menjadi mengenang masa lalu saya ketika masih ditunggui oleh ayah dan ibunda. Begitulah masing-masing diri kita.
Kita semua mungkin menyadari, bahwa ketika selesai menjadi sarjana, baik strata satu, maupun strata dua, atau bahkan pada jenjang strata tiga, kiranya ketinggian ilmu yang kita dapatkan ternyata, 'biasa-biasa' saja. Tidak akan melebihi 'ilmu'nya orang tua kita.
Mengapa? Sebab para orang tua kita begitu hebat usahanya. Mereka berupaya tak kenal lelah sepanjang umur kita. Jika kita berumur 10 tahun selama itu pula orang tua kita berdoa dan berusaha demi kita.
Jika kita berumur 40 tahun pun beliau tak henti-hentinya tetap berdo'a dan berusaha demi keberhasilan anak-anak tercintanya.
Usaha yang dilakukan orang tua untuk membuat kita sukses, sungguh di luar dugaan. Kita sebagai anak saat itu hanya menjalani hidup dengan mengalir begitu saja. Padahal untuk itu, semua orang tua kita mengorbankan apa yang bisa dilakukannya.
Mungkin berhutang, mungkin menggadaikan barang, atau mungkin akan menjual barang meskipun terhadap barang yang dicintainya sekalipun.
Dan yang lebih hebat, usahanya adalah usaha do'a yang tak kenal waktu. Kapan saja ada waktu disitulah orang tua kita berdoa untuk kita, bahkan juga untuk anak-anak kita....
Perjuangan tak kenal waktu itulah mungkin yang dikatakan oleh ibu di dalam bus tadi sebagai usaha yang prestasinya lebih tinggi dari gelar akademik apapun.
Lalu sebagai anak. Apa yang bisa kita berikan kepada para orang tua kita itu? Merekalah guru-guru kita yang luar biasa hebatnya. Yang luar biasa cintanya. Yang luar biasa kepeduliannya. Dan yang luar biasa bijaknya...
Sekarang ini, kalaulah kita sudah menjadi orang tua yang memiliki keluarga dan anak, ingatlah bahwa diri kita juga masih tetap sebagai seorang anak, yang tetap akan didoa'kan oleh orang tua kita. Mungkin hari ini mereka sudah tua. Atau sedang menunggu kita di alam keabadian sana. Dialah idola kita yang sesungguhnya...
Kalau kita menginginkan anak-anak kita kelak akan menjadikan diri kita sebagai idolanya, mari kita berbuat sebagai anak yang shalih, yang selalu berdoa untuk kedua orang tua kita....!
QS. Al Ahqaf : 15
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".