Delapan orang anak
ia tak ikut memelihara
Modalnya hanya suka memberi
Hidupnya pun berlimpah rezeki
Tak pernah ia menyakiti
meski kepada anak sendiri
Allah berikan Hadiah kepadanya
berangkat haji
ia tak ikut memelihara
Modalnya hanya suka memberi
Hidupnya pun berlimpah rezeki
Tak pernah ia menyakiti
meski kepada anak sendiri
Allah berikan Hadiah kepadanya
berangkat haji
Inilah sebuah kisah sukses yang menawan hati. tentang diri seorang penjual orem-orem. Makanan khas kota malang yang bertempat di pinggiran jalan.
Kisah ini sangat menarik. Apalagi saya mendengar sendiri cerita itu. Beberapa kali saya pergi ke warung tersebut, untuk mendengarkan cerita demi cerita, sebagai kelanjutannya. Sehingga, akhirnya, saya memutuskan untuk menulisnya dalam diskusi ini.
Ketika itu, rasanya sudah cukup lama kami tidak makan orem-orem langganan saya. Maka, seperti biasanya, pada Minggu pagi saya pergi ke tempat pak Tik. Begitulah panggilan akrab penjualnya.
Sambil menikmati orem-orem kesukaan, saya menyempatkan diri untuk bertanya beberapa hal di seputar keberhasilannya menjual orem-orem. Ternyata ceritanya cukup mengasyikkan. Dan membuat saya menjadi kagum.
Dengan bermodalkan kemauan yang kuat, optimis, kejujuran, dan tekad yang bulat, pak Tik pergi ke kota Malang untuk berjualan. Tempat tinggalnya di dusun pakisaji. Kota kecil di Kabupaten malang. Ia mengadu nasibnya di kota. Uang di sakunya berjumlah Rp.335,- Itulah hasil dari penjualan kambingnya, seharga Rp.200,- dan baju serta sepatu yang dijual dengan harga Rp. 135,-
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1967. Ketika pak Tik muda harus mengambil sebuah keputusan untuk pergi ke kota. Jadi, sampai dengan saat ini peristiwa itu sudah berjalan sekitar 38 tahun yang lalu. Tentu 38 tahun merupakan waktu yang sangat lama kalau ditunggu, "...tetapi waktu 38 tahun itu seperti kemarin sore saja..." kenang pak Tik.
Dengan bahasa yang sederhana, pak Tik mengungkapkan rahasia waktu yang dijalaninya kepada saya.
Waktu, berapapun lamanya jika sudah terlewatkan, akan terasa pendek. Sebaliknya, jika waktu kita tunggu-tunggu tanpa beraktifitas, ia akan terasa lama dan membosankan.
Sebagai seorang pemuda yang berkemauan keras untuk sukses di kota, kini impian Pak Tik benar-benar menjadi kenyataan. Dagangannya semakin besar, peminatnya semakin banyak, dan ia nampak bahagia dengan anak-anaknya yang insya Allah shalih & shalihah.
Apa rahasia suksesnya ?
Seperti yang saya duga sebelumnya, suksesnya pak Tik bukan muncul begitu saja. Sukses itu dirintis dari kondisi ‘nol’ dengan modal dasar yang sangat kuat yaitu : niat baik, jujut; dan optimis.
Rupanya apa yang diucapkan dan diceritakannya kepada saya itu bukanlah hal yang dibuat-buat. Terbukti, modal dasar itu sampai dengan kini masih tetap kuat melekat pada dirinya.
Niat baiknya tampak dari perilakunya yang agak 'aneh'. Dia selalu memberi kuah tambahan kepada semua pembeli yang sedang makan, manakala orem-orem yang dimakan tersebut sudah berkurang kuahnya.
Perlakuan 'suka memberi' ini kadang-kadang mengejutkan para pembeli baru. Pokoknya, siapa saja yang kuahnya nampak habis, pak Tik langsung mengambil kuah dan langsung pula ditumpahkan ke piring pembelinya yang sedang makan.
Selain kebiasaan suka memberi kuah, kejujuran dan keikhlasannya juga tampak dari raut wajahnya yang selalu berseri. Ia tidak pernah bermuka masam. Selalu gembira dalam melayani para pembelinya.
Tentang kesabarannya, tak perlu diragukan lagi. Dalam kurun waktu 38 tahun, ia tetap setia berusaha hanya satu jenis makanan saja. Sudah cukup membuktikan, bagaimana keuletan dan kesabarannya. Demikian pula keta'atannya dalam menjalankan ibadah. Shalatnya, insya Allah selalu terjaga.
Akibat dari sikapnya yang selalu suka memberi, dan selalu memperhatikan orang lain sebelum dimintanya, sekarang pak Tik menuai hasilnya. Rezekinya cukup melimpah untuk ukuran keluarganya. Keluarganya kelihatan sangat bahagia....
Pada usianya yang 67 tahun, ia telah dikaruniai delapan orang anak, empat perempuan dan empat laki-laki. Serta delapan orang cucu.
Beberapa waktu yang lalu, saya pergi ke warung pakTik untuk makan orem-orem. Kebetulan hari masih pagi, sesampai di tempatnya, kami lihat pak Tik baru saja membuka warungnya dibantu oleh anaknya. Maka, sambil menunggu persiapan itu saya sempatkan ngobrol dengannya.
Ketika menceritakan anaknya yang berjumlah delapan orang, ia memberikan sebuah keyakinan yang sangat menarik untuk di renungkan.
Katanya : "...untung, lare wolu niku kulo mboten tumut ngingoni...! "
Lha dos pundi, ngingoni awak kulo setunggal mawon kewalahen, napa malih lare wolu."
(untung saja, anak sebanyak delapan orang saya tidak ikut memelihara dan membesarkannya..., Soalnya, memelihara diri sendiri saja sudah kewalahan, apalagi delapan orang anak... )
Mendengar hal itu saya jadi agak sedikit bingung, lalu saya nyeletuk : "... Lha sinten pak Tik, ingkang ngingoni lare wolu niku... ?"
( ...lalu siapa pak Tik, yang memelihara anak delapan itu...? )
pak Tik : "(sambil sedikit ketawa)...lha inggih toh, sing ngingoni lare wolu niku nggih sampeyan, nggih ibu niko; terus pak niku, pak niku, mas niku,...
(iya..., yang memelihara dan membesarkan anak-anak saya yang berjumlah delapan orang itu bukan saya, tetapi... ya sampeyan..., juga ibu ini..., juga bapak yang itu..., juga mas yang itu,... ( sambil pak Tik menunjuk pada para pembelinya yang lagi makan orem-orem) Kalau saya sendiri tentu tidak kuat memelihara dan membesarkannya..."
Saya terperangah mendengar jawaban yang bernada filosofis itu. Saya pun tersenyum. Pikir saya, sungguh luar biasa orang ini. Dalam memelihara dan membesarkan anak-anaknya, tiada beban sama sekali. Padahal kalau dilihat usahanya hanyalah sekedar berjualan orem-orem di pinggir jalan. Tetapi pasrahnya begitu mendalam...
Yang hebat lagi menurut saya adalah kerendahan hatinya. Jawaban yang keluar dari ucapannya tidak nampak 'agamis' tetapi di dalamnya terkandung nilai religius yang sangat tinggi.
Saya menjadi bertambah tertarik dengan ucapan-ucapannya yang sangat berisi itu. Setelah kami mendapatkan orem-orem yang kami pesan, saya duduk di dekat pak Tik, yang terus melayani para pembeli. Dan sayapun terus bertanya...
"Pak Tik, sebuah kupat raksasa ini dipakai untuk berada orang. Kok, besar sekali ?"
Jawabnya : "satu kupat ini, bisa dipakai untuk orang sepuluh. Pokoknya setiap hari saya sedia dua puluh empat kupat. Apabila persediaan sudah habis, ya langsung pulang. Setiap hari sekitar jam empat sore, alhamdulillah...persediaan sudah habis..".
Dari jawabannya tentang jumlah persediaan orem-orem itu, kita bisa menghitung bahwa setiap harinya omset pak Tik dalam berjualan adalah sekitar : 24 X 10 = 240 porsi. Cukup banyak untuk ukuran pedagang orem-orem .
Untuk saat ini, setelah adanya kenaikkan, harga satu piring orem-orem adalah : tiga ribu rupiah.
Berarti omset minimalnya adalah sebesar : 240 X Rp.3000,- = Rp.720.000 / hari. Hal ini masih belum terhitung dari hasil penjualan beberapa 'aksesoris' pendamping makanan, misalnya : minuman, lauk pauk, krupuk, rokok, dsb. Itulah sekedar untuk diketahui perhitungan rezeki yang didapatkan pak Tik untuk 'ngingoni' anak delapan tadi.
Ketika saya menunjukkan ekspresi yang kagum kepadanya, ia memberikan kunci keberhasilannya seraya berbisik di telinga saya...
Katanya "...pokoke setunggal sing kulo jagi, mulai rumiyen..! ( ... pokoknya ada satu hal yang selalu saya jaga, sejak dahulu...)
Balas saya ...apa pak Tik?
Bisiknya ...jangan sampai saya menyakiti hati orang lain, siapa saja...! sampai terhadap anak saya sendiri selalu saya jaga hal itu..."
Kembali saya terperangah, mendengar jawabannya. Saya merasa seolah-olah sedang berada didalam suatu kelas mendengarkan seorang filosuf yang berceramah menyampaikan ilmunya yang dalam.
Ketika saya mau beranjak pulang, karena telah selesai makan orem-orem, tiba-tiba pak Tik, berbisik lagi di telinga saya, : "...kulo nyuwun agunge pangapunten nggih, ..kulo nyuwun Ikhlase penggalih sampeyan, lan nyuwun dungane sampeyan..." (...saya minta beribu-ribu maaf ya,...saya minta keikhlasan hati anda, dan minta do'anya...)
Balas saya :"oh, iya pak Tik, sama-sama, sebenarnya ada apa?
Balas pak Tik (tetap sambil berbisik): "saya mau berangkat menunaikan ibadah haji...) Alhamdulillaah, jawab saya. Kapan pak Tik?" Sekitar seminggu lagi katanya. Sekalian dengan ibunya anak-anak.
Kembali saya terperangah. Tidak salah saya. Orang ini betul-betul mendapatkan hidayah dari Allah Swt. Sehingga akhirnya ia bisa memenuhi panggilan Allah Swt untuk melakukan ibadah haji ke tanah suci .
Sungguh, kita telah menemukan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Dialah guru sebenarnya bagi orang-orang yang sedang mengejar bahagia. Rasa bahagia itu didapatkannya ketika dia bisa memberi dan menyenangkan hati orang lain sebelum orang lain memintanya.
Yang kedua, jangan sampai ia menyakiti hati orang lain, walaupun terhadap anaknya sendiri. (subhaanallah..). Sungguh luar biasa...! Meskipun pak Tik tidak pernah bersekolah, tetapi sesungguhnya ia telah banyak memberi pelajaran berharga pada kita. Pelajaran yang diterapkan, kurikulumnya begitu tinggi.
Pelajaran itu hanya terdapat pada 'fakultas Keillahian' Al Qur'anul Karim. Dalam Kitab Mulia itu dijelaskan bahwa identitas orang yang taqwa adalah :
Ali Imran 3 : 17
(yaitu) orang-orang yang sabar; yang benar; yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (dijalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.
Bahkan dalam ayat yang lain, salah satu sifat orang yang taqwa, adalah suka memberi walaupun dalam keadaan senang, maupun dalam keadaan sedang susah.
Sungguh, Allah Swt telah memberikan petunjukNya. Dia telah mempertemukan saya dengan penjual orem-orem tersebut. Sehingga terbukalah cakrawala pemikiran kita. Insya Allah pada diri orang-orang semacam pak Tik inilah Al-Quran al Karim, akan membumi....
Saya yakin masih banyak 'pak Tik' yang lain yang tidak sempat tertulis dalam diskusi ini. Semoga pelajaran yang kita temukan pada diri penjual orem-orem itu selalu mengingatkan kita bahwa sukses dan bahagia itu bisa dicapai oleh setiap orang. Sukses dan bahagia bukan milik orang berilmu saja. Atau bukan milik orang kaya saja. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk bisa mencapai bahagia seperti yang diidamkannya
Saya teringat pada kata-kata seorang filosuf besar (Wolf Gang van Gothe) :
" Raja yang kaya raya, atau petani yang miskin papa, semuanya sama! Apabila di dalam rumah tangganya terdapat kedamaian, niscaya kebahagiaan akan didapatkannya..."
Kebahagiaan adalah kedamaian hati, yang semua orang mempunyai hak untuk memperolehnya. Qad aflahal mukminuun alladziinahum fii shalaatihim khaasyiuun. Sungguh bahagia, orang-orang beriman yang khusyu' dalam menjalankan shalatnya.
Siapapun yang mukmin, yang hatinya tenang dan khusyu' dalam menjalankan pengabdiannya kepada Allah Swt, sungguh ia berhak untuk mendapatkan kebahagiaan itu....insyaAllah..