Monday, March 5, 2007

Nikmatnya Tidur di Atas Becak

Ranjang mewah, atau tikar kasar, keduanya adalah sama. Mobil mewah, atau becak, keduanya juga sama. Rumah mewah di tengah kota, atau gubuk reyot dipinggir sawah, keduanya juga sama....

Saya membeli kursi makan satu set. Ketika kursi itu didatangkan ke rumah, ada tetangga sebelah rumah yang mengetahuinya. Beberapa hari kemudian ia 'bertamu' ke rumah saya, sambil menyengajakan diri untuk duduk di kursi makan yang baru kami beli itu. Duduk di kursi baru itu, ia bercanda dengan menggoyang-ngoyangkan tubuhnya.

Waduh, enaknya kursi ini. Empuk, nyaman, membuat orang kerasan saja ya. Wah, pasti dengan duduk dikursi ini makanan menjadi enak, makan tempe akan terasa sate ya...he he he,."

Pada waktu itu, di daerah saya, makanan sate dianggap sangat bergengsi. Sedangkan tempe sebagai makanan sehari-hari dianggap bermartabat jauh dibawah sate.

Demikianlah kata-kata yang secara spontan muncul dari ucapannya. Kata-kata itu tanpa sengaja tertanam begitu kuat di hati saya. Sehingga pada saat-saat tertentu, kata-kata itu sering muncul lagi. Bahkan kadang-kadang sebagai kata-kata yang memiliki makna.

Memang dalam waktu satu atau dua hari, ketika kami menikmati kursi baru tersebut, rasanya setiap makanan menjadi lebih enak dan lebih nikmat. Tetapi rupanya itu hanya berlaku sekitar tiga hari saja. Setelah terjalanani hari-hari berikutnya, perasaan kami kembali seperti semula. Lauk tempe, ya tetap seperti tempe! Tidak seperti sate lagi...

Keberadaan 'lauk tempe terasa sate' paling-paling hanya berlaku 3 hari. Setelah itu tidak lagi Apalagi ketika perasaan sedang nggak enak. Lagi sedih. Lagi ada persoalan. Wah, wah,.. keadaan bisa terbalik. Makan sate jadi terasa tempe. Atau 'gula menjadi pahit rasanya'.

Artinya, 'hebat'nya dunia materi, seindah dan sebagus apapun, posisinya masih kalah, dan masih sangat jauh dibawah dunia non materi kita. Misalkan saja kita yang baru saja membeli baju bagus. Betapa senangnya hati. Apalagi kalau warna dan ukurannya cocok. Begitu 'PD'nya kita. Ke mana pun kita pergi, hati selalu gembira dan senang.

Kalau kita baru membeli mobil bagus, betapa nikmatnya duduk menyetir mobil itu. Hati berbunga-bunga. Mengemudikan mobil kemana saja tiada capek. Gembira dan bahagia.

Kalau kita baru membeli ranjang yang bagus, mungkin yang sedikit mewah dibanding milik kita sebelumnya, wah, betapa nikmatnya tidur di atasnya..

Beberapa hal tersebut di atas, sekedar contoh betapa saat-saat kita baru memiliki harta benda yang sebelumnya kita inginkan, begitu senangnya hati. Begitu gembira.

Tetapi setelah waktu berjalan 'sedikit' saja, ternyata telah terjadi perubahan rasa pada diri kita. Setelah apa yang kita inginkan sudah menjadi milik kita, ternyata hanya dalam hitungan hari saja, semua itu menjadi 'biasa' kembali tidak memberikan kontribusi perasaan bahagia lagi.

Kalau melihat dari beberapa hal tersebut, maka ada sebuah kesimpulan yang cukup menarik. Yaitu bahwa perasaan senang atau bahagia, ternyata letaknya hanya berada di angan-angan kita. Atau bahkan berada pada 'permainan' perasaan kita.

Apa saja yang kita miliki, akan menjadikan kita bahagia, jika kita bisa 'noto ati' dalam menyikapinya. Baju baru, mobil baru, ranjang baru, rumah baru, semua benda itu sekedar memberi kontribusi sesaat saja. Setelah itu tidak sama sekali. Dan kembali bergantung pada bagaimana kita bisa menata hati. Disinilah nampak bagaimana ajaibnya sang waktu.

Dengan berjalanannya sang waktu, maka perasaan bisa berubah. Sikap marah, bisa berubah menjadi sabar, perasaan gembira bisa berubah menjadi sedih. Semua berada pada kisaran sang waktu.

Saya teringat ketika dulu masih duduk di bangku SMP, banyak di antara teman-teman saya yang sekolah membawa sepeda pancal. Begitu keren dan bahagianya mereka. Begitu perasaan saya.

Ingin rasanya bisa sekolah membawa sepeda seperti mereka. Ketika saya sudah duduk di SMA, banyak sekali teman-teman yang ke sekolah membawa sepeda motor. Ah, begitu senang dan bahagianya hati ini jika bisa sekolah membawa sepeda motor seperti mereka...

Dan ketika saya berada di Perguruan Tinggi, ada diantara teman saya yang membawa mobil ketika kuliah. Betapa hebatnya. Mereka bisa membawa mobil ketika kuliah. Sementara saya tetap jalan kaki seperti dulu, ketika duduk di bangku Sekolah Dasar...

Tetapi setelah saya sedikit demi sedikit bisa membeli beberapa hal yang saya inginkan itu, ternyata perasaan bahagia seperti yang saya bayangkan waktu itu, tidak ada lagi. Kalaupun ada nilainya sudah merosot jauh dari bayangan semula. Jadi nilai bahagia pada sebuah material, begitu cepatnya terkikis oleh `waktu'.

Saya jadi teringat pada 'ilmu puasa'. Ketika seseorang sedang berpuasa, sering kita jumpai, pada siang harinya ia kepingin segala macam makanan yang enak-enak. Misalnya : ketika seseorang pada siang hari kebetulan melihat ice juice kesukaannya, ia akan membayangkan betapa nikmatnya apabila nanti malam, ia bisa minum ice juice tersebut.

Jika pada siang ia melihat nasi gudeg kesukaannya, ia juga akan membayangkan betapa nikmatnya apabila nanti malam ia mendapatkan nasi gudeg itu.

Demikian pula dengan makanan atau minuman lainnya. Ia akan membayangkan betapa nikmat saat 'nanti' malam itu telah tiba.

Tetapi rupanya suasana hati kepingin bahagia itu 'hanya' terjadi pada waktu siang saja. Yaitu ketika seseorang bisa ber'imajinasi' tentang bahagia.

Apa yang terjadi? Setelah sampai waktunya, semua keinginan itu nilainya merosot tajam. Rasa ice juice, kalau sudah sampai waktunya, tidak 'sehebat' yang dibayangkan sebelumnya. Rasa nasi gudeg, atau makanan apa saja setelah kita dapatkan, ternyata rasanya juga biasa-biasa saja. Itulah umumnya perasaan manusia.

Apa saja yang belum berada di tangan, nampaknya sangat indah dan mempesona, seakan-akan kita pasti akan bahagia jika mendapatkannya. Tetapi setelah kita dapatkan semua itu ternyata biasa-biasa saja. Dan kembali kita kepingin lagi dengan sesuatu yang belum kita dapatkan. Demikian seterusnya. Sehingga kepuasan pun tak akan pernah kita dapatkan. Kebahagiaan yang dikejar-kejar itu, ternyata hanya terdapat dalam bayangan saja.
Kata Allah dalam Al Qur'an al Kariim
QS. Al-Alaq : 6-7
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.

Kita diingatkan oleh Allah Swt, bahwa jika manusia berada dalam keadaan serba cukup, sering tidak bisa melihat kecukupan yang ada pada dirinya. Yang nampakjustru 'milik' orang lain. Sehingga dengan berbagai cara dikejarnya sesuatu yang belum jadi miliknya itu.
Maka oleh Al-Qur'an orang-orang itu disindir sebagai orang yang melampaui batas..

Tentu, hal itu insya Allah tidak terjadi bagi orang yang beriman. Karena selalu menyandarkan semua persoalannya pada Allah Swt. Seorang yang beriman, insya Allah mampu melihat apa yang telah diperolehnya sebagai anugerah yang digunakan untuk kepentingan di jalan Allah. Sehingga akan selalu membantu manusia lainnya yang memerlukan uluran tangannya.

Sekitar sebulan yang lalu, saat hari sudah mulai malam, saya pergi ke sebuah pasar yang letaknya berada di dekat tempat tinggal saya. Ketika itu di pojok serambi sebuah toko, terlihat oleh saya seorang tua tertidur pulas di atas becaknya.... Nikmat sekali nampaknya.

Entah karena capek atau nunggu penumpang, pak tua ini tidur begitu pulas. Sampai sedikit mendengkur. Saya perhatikan, dalam tidurnya itu, bapak tua itu berselimutkan kain sarung, dan berbantalkan tangannya sendiri. Dengan posisi badan yang agak terbungkuk karena tempat duduk becak tidak bisa memuat seluruh tubuhnya.

Begitu besar kekuasaan dan keadilan Allah Swt, Dia memberikan anugerahNya kepada pengayuh becak, dengan suatu nilai yang tidak dimiliki oleh orang yang serba kecukupan.

Orang yang serba kekurangan itu, mampu meraih nikmatnya tidur di tengah keramaian orang-orang yang lagi berbelanja. Dengan begitu nyamannya. Sementara banyak orang yang ranjangnya mewah, tetapi ia tidak mendapatkan nikmatnya tidur, seperti yang dimiliki bapak tua pengayuh becak itu.....

Dengan uang, memang kita bisa membeli ranjang atau tempat tidur yang mewah beserta dengan segala aksesorisnya. Tetapi uang itu tidak bisa membeli nikmatnya tidur seperti yang diperagakan oleh pak tua pengayuh becak itu.

Andaikata nikmat tidur harus dibeli dengan uang, sungguh kasihan orang yang tiada punya kekayaan untuk membelinya....

Jika ada seseorang bisa tidur nyenyak di dalam kamar mewahnya, sementara ada seorang lain yang juga bisa tidur nyenyak di dalam gubuk reyotnya maka rumah mewah dan gubuk reyot itu pun menjadi sama.

Berarti, kamar mewah, gubuk reyot, dan becak, menjadi sama. Karena semuanya bisa menjadikan seseorang tertidur nyenyak di dalamnya...

Sungguh sifat Adil dan Kasih Sayang dari Sang Maha Pencipta, telah kita temukan pada diri tukang becak yang sedang tertidur pulas ini
Dengan menyaksikan seseorang yang bisa tidur pulas di atas becaknya, sungguh kita kembali bertemu dengan Kekuasaan Allah Swt.

QS. Al Baqarah : 115
"Timur dan barat adalah kepunyan Allah, oleh sebab itu kemana saja engkau hadapkan mukamu, disana akan bertemu dengan Allah, sesungguhnya Allah Maha Luas kekuasaanNya dan Dia Maha Mengetahui."