Sunday, March 11, 2007

Bersama Allah di Kota Mekkah

Baca..., Bersama Allah di kota Mekkah
Mengapa tidak boleh berbicara...?
Ada apa...?



Mekah adalah kota yang begitu istimewa dalam pandangan Allah dan juga dalam pandangan manusia. Kota ini merupakan kota sejarah, yang penuh dengan berbagai hal yang berkaitan dengan ibadah manusia sejak nabi Adam as diciptakan oleh Allah Swt.

Inilah Kota yang di dalamnya pertama-tama didirikan rumah tempat ibadah kepada Allah. Dan inilah kota yang selalu mendapat berkahNya.

QS.Ali-Imran (3) : 96
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.



JANGAN BICARA


Sore itu, aku lebih awal dari biasanya sampai di depan ka'bah. Setelah melakukan thawaf, aku mengambil shaf yang tidak jauh dari ka'bah. Aku kebetulan dapat tempat duduk di dekat maqam Ibrahim.

Tidak berapa lama kemudian datang seorang jama'ah dari Indonesia. "Assalaamu'alaikum, bapak dari embarkasi mana? tanyaku. Ia pun menjawab, bahwa ia dari Jakarta. Barusan datang kemarin pagi. Maka kami pun berbincang-bincang tentang keberadaan kami para jama'ah dari Indonesia.

Tidak terasa kami begitu asyik berbincang kesana-kemari. Tiba-tiba pandangan kami tertuju pada benda-benda hitam yang bergerak di sekeliling ka'bah. Setelah kami perhatikan dengan seksama ternyata itu adalah gerakan burung-burung yang berterbangan di sekitar ka'bah. Seolah-olah burung-burung kecil itu sedang melakukan thawaf dengan caranya sendiri.

Ketika itu kami melihat ada sedikit keanehan. Burung-burung itu tidak ada yang berterbangan di atas ka'bah. Mereka sekedar berterbangan mengitari ka'bah. Menyaksikan keanehan burung-burung yang sedang terbang mengitari ka'bah itu, kami berdua pun membicarakannya.

Ketika kami terlibat dalam pembicaraan itulah, tiba-tiba terdengar suara adzan maghrib. Tetapi karena asyiknya materi pembicaraan kami itu, sampai-sampai suara adzan itu tidak kami hiraukan. Bahkan terus saja kami berbincang dengan agak berbisik-bisik tentang keanehan burung-burung yang ikut thawaf di sore itu.

Bilal Masjidil Haram mengumandangkan kalimat syahadat yang kedua dalam adzannya "...asyhaduan laa ilaaha illallaah...", saat itulah kami yang masih berbisik-bisik itu ditegur dan diingatkan oleh seorang jama'ah yang sudah tua, yang duduk di sebelah kanan kami.

Dengan memberikan isyarat dengan tangan kanannya, Jama'ah tua itu melarang kami untuk berbicara sendiri meskipun dilakukan hanya dengan berbisik-bisik. Wajah tua itu begitu berwibawa. Dengan spontan kami langsung terdiam. Dan kami memperhatikan suara adzan bilal yang masih terus berkumandang dengan merdunya.

Tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba aku merasa malu, merasa salah, merasa tidak menghargai kalimat Allah, bahkan saat itu aku merasa telah berbuat dosa yang besar. Aku merasa betapa kalimat tauhid yang diperjuangkan Rasulullah itu aku abaikan begitu saja.

Padahal Rasulullah menegakkan kalimat itu di kota Mekah saja tidak kurang dari dua belas tahun. Yaitu pada saat periode Mekah.

Bertambah aku merasa bersalah, bertambah deras air mataku membasahi kelopak mataku. Tujuan aku datang ke tanah Haram adalah selain ingin bertamu di rumah Allah, aku pun ingin mendekat kepada Rasulullah sebagai ungkapan rasa rindu kepadanya. Tetapi kenapa aku tidak menghargai kalimat tauhid yang dikumandangkan oleh Bilal tadi? Kenapa aku terus saja berbincang-bincang?

Ah, betapa tak tahu dirinya aku ini. Bertambah aku menyesali diri, bertambah pula deras air mata jatuh ke pipi. Dan hal itu terus berlanjut. Bahkan sampai shalat maghrib dimulai pun aku tetap tak kuasa menahan rasa penyesalanku. Ketika imam membaca surat Al-Fatihah (1) : 6-7 dalam raka'at pertama.

Semakin menjadi-jadi penyesalanku atas kelalaianku tadi. Sebab arti dari ayat tersebut adalah kita mohon jalan yang lurus kepada Allah. Yaitu jalannya orang-orang yang mendapat nikmat, bukan jalan orang-orang yang sesat...

Sementara saat itu aku sedang berada dalam kelalaian. Begitu sangat terasa kesalahanku saat itu. Sungguh aku terus dibayangi oleh kesalahanku sendiri. Ditambah lagi imam shalat ketika melagukan bacaannya begitu merdu, dan mempesona kalbu. Sehingga derasnya air mata tak kuasa kubendung lagi. Bahkan air mata itu terus mengalir sepanjang shalat maghrib.

Akh, Begitu cengengkah aku?
Sampai-sampai suara adzan ‘saja' menjadikan aku menangis sepanjang shalat maghrib?

Setelah aku keluar dari suasana itu, lebih-lebih setelah aku berada di tanah air kembali, aku bertambah heran. Mengapa hanya perkara tidak menghiraukan adzan beberapa saat saja aku sudah seperti itu? apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi?

Sementara ketika kita semua berada di lingkungan kita masing-masing, apakah di rumah, apakah di tempat perkerjaan, apakah di pasar, atau di tempat umum lainnya, hal semacam itu tidak terjadi...

Betapa seringnya kita mendengar suara adzan dari televisi atau di radio. Atau suara adzan dari musholla di kampung kita. Tetapi sedikit pun kita tidak pernah tersentuh oleh kalimat itu. Padahal 'ilmu' yang terkandung di dalam kalimat adzan itu begitu hebatnya. Setiap hari, lima kali! Seolah bilal selalu berkata :
"...wahai manusia, kalau kamu sekalian menginginkan kemenangan dalam hidupmu, atau kalau kamu menginginkan kebahagiaan dalam perjalanan hidup ini, dirikanlah shalat...Kamu sekalian tidak akan mungkin mencapai kemenangan tanpa melalui shalat..."

Betapa mesranya panggilan itu, dan betapa hebatnya ilmu yang terkandung di dalamnya. Tetapi tetap saja kita semua tidak pernah menghiraukan panggilan itu. Hati kita tidak tergerak oleh panggilan itu. Padahal kita semua ingin bahagia... ingin menang, dan ingin sukses dalam hidup ini....

Mungkin Itulah salah satu perbedaan suasana di tanah haram dan di tanah air. Di tanah haram begitu sensitifnya nurani kita, sementara di luar tanah haram begitu tebalnya tabir yang menutupi hati kita.

QS. Al-Baqarah (2) :
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang istikaaf, yang ruku' dan yang sujud”.

Sesederhana apa pun yang ada di tanah haram, akan selalu mengingatkan kepada diri kita. Bahwa di dalam perjalanan haji sungguh terkandung banyak sekali pelajaran bagi kita semua. Dengan selalu memohon kepada Allah Swt, kita berdoa dan berharap semoga kita bisa menjalani hidup di tanah air tercinta dengan lebih baik, lebih indah, dan lebih bermakna. insyaAllah...