Sunday, March 11, 2007

Berangkat Dengan Keranda

Mengapa berangkat dengan Keranda...?


Malam itu kami semua yang berada di pondokan haji, mendapat informasi bahwa pesawat akan berangkat pukul 02.00 dini hari. Maka berbagai perasaan berkecamuk menjadi satu dalam pikiranku. Antara senang, haru, sedih, cemas. Tapi juga bersyukur. Karena, benar-benar aku akan berangkat menuju baitullah, yang sudah lama aku idam-idamkan selama puluhan tahun.

Setelah waktunya betul-betul tiba, kami semua yang tergabung dalam kloter dua, tepat pada pukul 01.30 dini hari masuk ke pesawat satu persatu.

Sungguh aku merasa ada sesuatu yang beda kalau dibandingkan dengan bepergian ke tempat lain. Meskipun sama-sama naik pesawat, jika pergi ke tempat lain suasana di dalam pesawat selalu ceria penuh sendau gurau dan tawa. Tetapi suasana di dalam pesawat kali ini sungguh berbeda. Semua jama'ah nampak serius. Di sana sini terdengar bisikan-bisikan do'a dari para jama'ah. Sehingga menambah suasana menjadi lebih ‘mencekam’.

Apalagi kondisi semacam itu terjadi pada malam hari, yang sunyi, yang jauh dari keramaian manusia pada umumnya. Kebetulan saat itu aku mendapat tempat duduk paling tepi, di dekat jendela. Sehingga aku bisa dengan leluasa melihat keluar jendela. Tak ada pemandangan lain kecuali kelap-kelipnya lampu bandara dan gelapnya langit tengah malam.

Setelah semua penumpang duduk sesuai dengan seatnya masing-masing, alhamdulillah tepat pukul 02.00 pesawat mulai bergerak. Berangkat menuju landasan pacu untuk terbang menuju tanah haram.

Satu lagi yang terasa nampak beda. Sejak pesawat bergerak pelan, berbelok arah untuk menuju landasan pacunya, semua yang ada di dalam pesawat terdiam bisu tak ada yang berbicara. Semua tertunduk dan terpaku. Masing-masing memandangi buku catatannya untuk berdo'a mohon perlindungan kepada Allah Swt. Karena Dialah Dzat Yang Maha Perkasa, yang menentukan hidup-mati manusia.

Aku melirik ke arah teman sebelahku. Aku memandang ke arah jamaah di depanku. Dan juga kucoba melihat orang-orang yang ada di belakangku. Semua membaca doa, bermunajat kepada Allah dengan begitu khusyuk.

Ketika semua orang membisu dalam kesepian, tiba-tiba terdengar suara menderu mesin pesawat. Maka pada saat yang bersamaan dengan suara menderu itu, kami rasakan pesawat mulai bergerak agak cepat dan akhirnya melesat naik ke angkasa yang gelap. Yang hitam, dan pekat.

Kembali aku melirik ke luar jendendela,..akh! Tak terlihat lagi kehidupan sekeliling kami. Semua yang ada di luar pesawat warnanya hitam. Seolah tak ada kehidupan lain. Selain kami yang ada di dalam pesawat... Betapa ngerinya...! Ternyata kami, para jamaah calon haji yang berjumlah sekitar lima ratusan orang tersebut, hidup ‘menyendiri’ diatas bumi yang tambah lama bertambah nampak kecil itu....subhaanallaah.

Tanpa terasa kupandangi keberadaan kami. Wajah setiap orang jamaah, perilaku mereka, juga semua benda dan interior yang ada di dalam pesawat. Ketika kuarahkan pandangku ke atap pesawat yang bentuknya memang agak lengkung, tiba-tiba pikiranku melayang pada sebuah benda atau kendaraan yang sering dipakai untuk mengangkut jenazah yang biasa aku saksikan di kampungku. Kendaraan istimewa yang di angkat oleh para pentakziah ketika menghantar jenazah ke pemakaman.

Kendaraan itu diangkat oleh sedikitnya empat orang. Itulah kendaraan para jenazah, yang ‘roda’nya terdiri dari manusia, yang dipakai untuk menghantarkan jasad manusia ke tempat kuburnya. Akh..! Agak merinding juga bulu kudukku. Di luar gelap sekali. Di dalam pesawat semua orang berdo'a. Deru suara pesawat, seolah suara jerit tangis anak manusia yang meraung-raung menghantarkan suatu proses pemakaman hamba Allah yang berjumlah ratusan orang yang berada di dalam sebuah keranda besar. Dan keranda itu kini melesat dengan cepat menuju ketinggian langit yang tak berujung pangkal. Membawa para calon jenazah yang berjumlah lima ratus orang lebih...

Tanpa kusadari aku teringat pada proses pemakaman salah satu tetanggaku. Ia meninggal sekitar satu bulan yang lalu. Seorang ibu yang meninggalkan tiga orang anaknya.

Masih teringat dalam benakku, ketika keranda sudah sampai di tepi liang kuburnya, masuklah tiga orang ke liang lahat untuk melakukan proses penguburan. Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah anak kandung dari sang ibu yang meninggal tersebut.

Dengan wajah yang nampak sedih, sang anak pun mengubur jenazah ibunda dengan timbunan tanah dengan penuh hati-hati. Melihat ekspresi sang anak tersebut, seorang tetanggaku yang kebetulan berdiri di dekatku secara spontan berkata dengan setengah berbisik. Sebuah kalimat yang ditujukan pada dirinya sendiri. Dan kata-kata itu selalu kuingat dengan kuat.

Katanya :
"...ternyata beginilah akhir dari sebuah cerita hidup seseorang..." Aku tertegun dengan kata-kata yang bernada filosofis itu. Sebuah kalimat yang diucapkan secara spontan oleh orang-orang kampung, orang biasa yang notabene bukan seorang ulama, bukan pula seorang ustadz.

Tapi aku sungguh terpesona dengan kalimat itu. Setelah aku renungkan kata-kata itu, sungguh benar adanya...! Hidup adalah sebuah cerita yang unik, sejak manusia dalam buaian ibundanya, sampai kembalinya ia kepada pangkuan Sang Pencipta. Seluruh perjalanan hidupnya sangat menarik untuk direnungkan. Kalau kita cemati, ternyata semua persoalan yang terjadi dalam hidup ini hanyalah bunga-bunga hidup belaka. Dibalik semua persoalan dan kisah kehidupan itulah, tersimpan nilai mahal yang perlu kita renungkan makna hakikinya.

Ketika kita menyaksikan sebuah pemakaman, sebagai akhir dari perjalanan seseorang di dunia, akankah terpikir oleh kita...?
Mengapa kemarin kita kikir ?
Padahal yang kita kikirkan tidak lebih adalah harta yang tidak pernah dibawa pulang ke kampung keabadian. Ketika kita menyaksikan sebuah jenazah yang sudah tak berdaya semacam itu, kita pun akan merenung...

Mengapa ketika masih hidup kita pernah sombong kepada saudara kita lainnya? Padahal manusia tak memiliki apa-apa kecuali hanya sebuah tubuh terbujur kaku yang minta tolong bantuan orang lain untuk masuk ke peristirahatan terakhirnya...

Ketika kita menyaksikan proses pemakaman seperti itu, Mengapa pula kadang kita masih menyandarkan amal kebajikan kita pada orang lain?
Padahal ketika jenazah masuk ke liang kuburnya, banyak manusia di atas tanah pekuburan yang tak ambil peduli terhadap si fulan yang menghadap Sang Pencipta...

Tinggallah si fulan yang mempertanggungjawabkan segala perbuatannya secara sendiri. Tanpa bantuan orang lain lagi..

Akh...! Inilah akhir dari sebuah cerita kehidupan yang perlu untuk direnungkan...Sungguh tak pantas kita kikir, sungguh tak pantas kita sombong, sungguh tidak pada tempatnya kita merasa paling kuat, paling berkuasa, atau merasa banyak temannya... Karena di tanah itu, di rumah itu, di tempat itu, seseorang tidur sendiri, merana sendiri, menyesal sendiri, dan ia akan menanggung akibat dari perbuatannya ketika hidup di dunia. Penyesalan yang hebat pun tak ada gunanya lagi...

Di bagian akhir dari surat Yaasiin diceritakan betapa orang-orang kafir masih belum percaya bahwa nantinya mereka akan dibangkitkan, dan mereka akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.

QS. Yasin (36) : 78-82
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu." Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.

Dan merekapun menyesal luar biasa, setelah mengetahui sendiri akibat dari perbuatannya, yang ternyata mereka akan memetik hasilnya. Penyesalan itu tergambar dengan jelas dalam surat al-mukminuun berikut ini.

QS. Al-Mukminuun (23) : 99 -100
(Demikianlah orang-orang kafir itu) hingga apabila telah datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata :"Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal saleh yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding (barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan."

Ketika teman sebelahku menawarkan makanan ringan untukku, aku agak terkejut. Dan aku pun terbangun dari lamunanku yang cukup panjang tentang kematian.

Perjalanan di atas awan menuju tanah haram yang memakan waktu cukup lama itu, semakin menarik. Dalam perjalanan yang cukup melelahkan aku mendapat banyak pelajaran tentang hidup. Aku pun semakin bisa mengambil kesimpulan, bahwa semua yang dimiliki manusia ternyata menjadi tak ada artinya.

Harta, jabatan, ilmu, umur, anak, istri/suami, semua seperti tak ada nilainya lagi. Dan semua itu insya Allah akan menjadi bernilai dengan indah, hanya jika dikaitkan dengan Sang Maha Pengasih, Allah Swt.

Seorang hamba dalam perjalanan hidupnya, jika semakin bertambah mendekat kepada Allah Swt, semakin nampak betapa semua menjadi kecil. Yang besar hanya Dia. Yang nampak hanya Dia. Yang dekat hanya Dia...

Pesawat bergerak semakin meninggi. Semakin menjauhi kota Surabaya. Kulihat lampu-lampu bandara semakin tak kelihatan lagi. Bahkan lampu-lampu kota Surabaya yang begitu terang, yang jumlahnya sangat banyak itu semakin lama semakin sedikit, dan nampak semakin kecil, yang akhirnya hilang. Tak nampak lagi....
Allaahu akbar..!

Aku semakin tenggelam dalam pikiranku. Sekian ratus orang yang berada di dalam pesawat seolah kumpulan debu atau bahkan lebih kecil lagi. Dan kini sedang melayang di angkasa raya yang luasnya tak berbatas, dalam kegelapan malam... Akh, betapa kecilnya, dan betapa lemahnya diri manusia.

Arti dan keberadaan manusia terasa menjadi semakin kecil, ketika para jamaah melantunkan dzikirnya secara berulang-ulang. "...subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha ilallaahu, allaahu akbar..., " "...subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha ilallaahu, allaahu akbar..., " "...subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha ilallaahu, allaahu akbar..., "

Sebuah alunan yang terasa begitu indah. Merdu sekali. Menyentuh kalbu. Suasana ini tidak pernah kurasakan sebelumnya. Meskipun aku sering melakukan dzikir semacam itu. Keindahan alunan melodi itu terjadi dan tercipta secara harmoni. Walaupun secara spontanitas.

Hal itu dikarenakan penghayatan dan penjiwaan yang luar biasa dari hati para jamaah yang pasrah. Yang semakin merasa tak berdaya. Sungguh benar kata Rasulullah, bahwa orang yang paling pintar dalam hidupnya bukanlah orang yang punya ilmu pengetahuan yang tinggi, atau orang yang menguasai berbagai macam ilmu yang tak tertandingi. Tetapi orang yang paling pintar, kata Rasulullah adalah siapa saja di antara kalian yang sering ingat akan mati, dan selalu berusaha untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya. Agar bisa bertemu dengan Dzat Yang Maha Tinggi dalam keadaan ridha dan diridhai.

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw,:"...Ya Rasul, siapakah orang yang paling pintar itu?..." Rasul tercinta menjawab :
" ...Aktsaruhum dzikran lil mauti wa asyad duhumusti' daadu lahu, ulaa ika humul akyaasu, dzahabuu bi syarafiddunya wa karaa matil aakhirah"
yaitu siapa saja di antaramu yang terbanyak mengingati mati, dan yang lebih keras mengadakan persediaan baginya. Mereka itulah orang-orang pintar. Yang pergi dengan kemuliaan dunia, dan sekaligus kehormatan akhirat.
(HR. Ibnu Majah)

Sungguh sangat masuk akal, apa yang disampaikan Rasulullah itu. Dalam kondisi semacam itu, manusia tak punya pegangan lain kecuali berpegang pada tali Allah, sebagai satu-satunya Dzat Penentu hidup dan mati.

Mengapa mengingat mati lebih pintar dari yang lainnya? Sebab keadaan ketika mati mencerminkan sukses atau gagalnya seseorang dalam perjalanan hidupnya. Mati adalah ending kehidupan yang dapat dipakai sebagai ‘tanda’ apakah seseorang berhasil atau tidak dalam kehidupannya. Waktu dunia sangatlah pendek dibanding dengan waktu akhirat. Dan peristiwa mati adalah merupakan pintu masuk pada kehidupan yang sesungguhnya.

Yang aku rasakan pada saat seperti itu adalah: semua yang ada, yang selama ini kucari, ternyata bukanlah kepunyaanku. Semua yang kudapatkan selama hidup ini, ternyata bukanlah dalam kekuasaanku. Waktu yang kumiliki selama ini, ternyata begitu cepatnya berlalu.

Tiba-tiba saja aku dan juga mungkin semua orang akan merasa, bahwa waktu untuk hidup yang tersedia, hanya seperti satu hari saja. Kalau waktunya sudah tiba, umur empat puluh tahun, sungguh seperti satu hari saja. Bahkan umur tujuh puluh tahun, delapan puluh tahun atau bahkan lebih, juga hanya seperti satu hari saja....
Barulah aku mengerti mengapa Allah Swt, bersumpah Demi Waktu. Begitu pentingnya waktu yang disediakan Allah bagi manusia. Sayang, banyak sekali manusia tidak menyadarinya...

Dan keranda yang kami tumpangi pun terus melesat dengan cepat menuju tanah haram. Pesawat Boeing dengan kapasitas 540 orang itu ternyata tidak lebih dari sebuah titik yang lebih kecil dari sebutir debu yang melayang di angkasa raya yang luasnya tak terkira...
Ya Allah Ampunilah kami...

Kami baru menyadari betapa kecilnya diri manusia di alam semesta ini. Apalagi di hadapanMu Dzat Yang Maha Perkasa...
"...astaghfirullaahal adziim..., Subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha ilalaahu, allaahu akbar..."

Setiap kehidupan manusia, masing-masing kita tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana berhentinya. Karena hidup adalah bagaikan garis lurus yang suatu saat akan menjumpai titik akhir.

Hanya saja setiap titik akhir dari kehidupan manusia, tak satu pun yang mengetahuinya. Tak satu pun yang mengetahui 'jadwal' keberangkatannya. Karenanya, setiap manusia haruslah selalu berjaga-jaga atasnya.

Menurut ilmu astronomi, alam kita ini melengkung. Baik yang ada di alam kecil (mikrokosmos), maupun yang ada pada alam besar (makrokosmos). Bahkan permukaan bumi, planet-planet lain, bulan, matahari atau pun alam semesta raya. Semua melengkung, dan membentuk lintasan-lintasan yang berbentuk ellips.

Maka, kita pun kini berada di dalam keranda super raksasa yang terus mengembang, dan meninggi membawa peradaban manusia menuju titik akhir zaman. Pada titik itulah setiap manusia akan dimintai pertanggungan jawabannya atas segala perbuatan ketika hidup di dunia. Sungguh, tak ada yang bebas dari kematian. Karena kematian itu sendiri adalah bagian dari kisah perjalanan anak manusia menuju al-Khalik Yang Maha Tinggi.

Perjalanan manusia dari alam ruh, beralih masuk ke alam rahim. Dari alam rahim ibunda melalui proses kelahiran beralih masuk ke alam dunia. Dari alam dunia melalui proses maut atau proses kematian beralih masuk ke alam barzah. Dari alam barzah, melalui proses kebangkitan manusia akan beralih masuk pada kehidupan akhirat. Dan akhirnya semua makhluk akan kembali kepada Ilahi rabbi, Dzat Sang Penguasa seluruh alam di hari kemudian nanti.

QS. An-Nisaa' (4) :78
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)': Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?

Tentang mati ini, sering kali banyak orang yang lupa. Sehingga malaikat Jibril pernah berpesan kepada rasulullah saw. Dengan maksud agar disampaikan kepada kita semuanya.

Hiduplah semau-mu, tetapi ingatlah bahwa suatu saat engkau mati...
Berbuatlah semau-mu, tetapi ingatlah bahwa perbuatan apapun yang engkau lakukan akan dibalas sesuai dengan yang engkau lakukan itu...
Cintailah segala yang engkau cintai, tetapi ingatlah bahwa suatu saat engkau akan mengucapkan selamat berpisah dengannya....