Sunday, March 11, 2007

Berpayung Dzikir

Seberapa besar energi dzikir di bawah sengatan matahari ...?


Hari itu, cuaca begitu panas. Sehingga sekitar jam sepuluh saja matahari sudah menyengat kulit tubuh. Kami yang berada di maktab sangat merasakan hal itu. Tetapi saat itu, aku tak tahu mengapa ada semacam keinginan yang kuat dalam hatiku untuk datang ke masjid.

Aku menyadari, bahwa jarak dari maktab ke masjid cukup jauh. Sekitar satu setengah kilometer. Tetapi aku tetap saja ingin pergi ke masjid. Beberapa teman yang ada di maktab menyarankan untuk tidak pergi ke masjid karena hari sedang panas-panasnya. Tetapi dengan berbagai alasan, akhirnya aku berangkat juga ke masjid?

Ada seorang teman yang juga ikut pergi ke masjid untuk shalat dhuhur. Meskipun nampaknya ia agak ragu-ragu. Tetapi entah apa alasannya, akhirnya temanku ikut juga bersamaku, pergi ke masjid Nabawi. Kami berdua masing-masing membawa sebuah payung untuk melindungi diri dari sengatan sinar matahari. Dalam perjalanan menuju masjid itulah bagian dari cerita ini aku tuliskan.

Alhamdulillah, sebenarnya sudah sejak dahulu, bahkan jauh sebelum aku berangkat menunaikan ibadah haji, dalam hati aku sudah berniat. Aku akan memanfaatkan kesempatan yang telah diberikan oleh Allah ke tanah haram ini dengan sebaik-baiknya. Mungkin itulah salah satu energi besar yang kumiliki. Sehingga dalam kesempatan apa pun, dan dalam kondisi bagaima pun aku tetap ingin melakukan ibadah dengan seoptimal mungkin. Demikian juga dengan kondisiku ketika berangkat ke masjid di hari yang sangat panas itu.

Saat itu sedang panas-panasnya matahari menyinari bumi Madinah. Apabila kami sedang berjalan, dan saat itu ada angin yang berhembus menerpa tubuh, wah, angin itu rasanya seperti berasal dari cerobong knalpot mobil. Begitu panas dan begitu kering.

Hal itulah yang membuat orang-orang banyak yang tidak berani keluar dari rumah atau hotel. Kondisi alam yang cukup membuat banyak orang menjadi khawatir bahkan cenderung timbul rasa takut. Namun entah kenapa, tidak demikian denganku. Dalam hatiku tak terlintas sedikit pun rasa khawatir. Justru dengan adanya cuaca yang tidak bersahabat itu, membuat hatiku bertambah ingin pergi ke masjid untuk mendekatkan diri kepada Ilahi. Bersama-sama dengan orang-orang yang rindu untuk selalu bertemu dengan Tuhannya. Dalam kondisi apapun, termasuk juga kondisi saat itu.

Aku sendiri menjadi heran. Apa yang membuatku bisa menikmati dan mempunyai ketetapan hati seperti itu. Setelah kupikir-pikir mungkin karena niat yang sudah tertanam di hati sejak mulai berangkat dari tanah air menuju tanah haram. Inilah yang mungkin saja membuatku -insya Allah- tetap punya komitmen untuk terus beribadah di sepanjang waktu. Dan aku pun teringat akan ayat Al-qur'an tentang niat dan keikhlasan hati

QS. Ali-Imran (3) : 29
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

QS. Al-Bayyinah (98) : 5
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Bahkan begitu jelasnya hadits yang disampaikan rasulullah saw.
Umar bin Khatab ra. Berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal, bergantung pada niatnya. Dan yang teranggap bagi tiap orang adalah apa yang diniatkan....”
( HR. Bukhari, Muslim )

Menyembah kepada Allah dengan ikhlas. Itulah kunci dari semua aktivitas hidup ini. Hidup adalah mengabdi kepada Allah. Hidup adalah beribadah, kepada Allah. Hidup adalah menghamba kepada Allah dengan memanfaatkan karunia yang telah diberikan olehNya kepada kita semua. Rupanya apa yang terjadi pada saat itu membuktikan kebenaran ayat Allah Swt. Paling tidak, telah menambah keyakinanku akan hal tersebut.

Pak Hadi yang saat itu ikut pergi ke masjid, ketika akan berangkat sudah didahului perasaan ragu-ragu. Antara pergi dan tidak. Mungkin keragu-raguan inilah yang menjadikan pak Hadi mengalami perjalanan yang cukup menyulitkan dan menyusahkan dirinya. Sepanjang perjalanan dari maktab menuju masjid tiada hentinya ia mengeluh.

Katanya hari begitu panas. Nafasnya sesak. Kakinya capek. Badannya berkeringat dingin... Dan sebagainya. Payung yang digunakan seolah tidak berfungsi lagi.

Lain pak Hadi, lain pula yang kurasakan. Meski pun, tentu saja aku tidak menyampaikan kondisiku kepadanya. Waktu itu aku benar-benar mengalami kenikmatan dalam perjalanan menuju masjid. Setiap langkah kakiku kubuat dzikir kepada Allah yang menciptakan kaki ini. Setiap gerak dan lambaian tanganku aku buat dzikir kepada yang telah menciptakan tangan ini. Setiap fikiranku aku buat dzikir kepada Allah, karena Dialah yang menjadikan manusia sehingga pandai berfikir. Setiap gerak lidahku aku buat bertasbih kepadaNya.

Saat itu hatiku tidak lalai sedikit pun mengingat nikmat Allah yang telah memberikan karunia besar kepada tubuh ini. Hati dan fikiranku, lidah dan bibirku, saat itu berdzikir mengikuti ritme langkah-langkah kecilku....

Dan tidak terasa, tiba-tiba aku telah sampai di serambi masjid Nabawi. Akh! Betapa nikmat perjalanan singkat itu. Sebuah kenikmatan yang sulit terulang lagi, dan sulit diceritakan keindahannya. Payung dari kain yang aku gunakan tentu tidaklah mampu memberi kenikmatan dalam perjalanan itu. Terbukti pak Hadi yang berjalan di sebelahku yang juga menggunakan payung dari jenis yang sama, ia tetap merasa kepanasan dan kecapaian. Sementara aku saat itu menikmati sebuah suasana hati yang indah, yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Ketika pak Hadi mengatakan bahwa kakinya sangat berat untuk melangkah, aku begitu heran karena kakiku begitu ringan untuk melangkah.

Ketika pak Hadi mengatakan bahwa pandangannya kabur, karena cuaca begitu panasnya, aku bertambah heran karena pandanganku begitu sejuknya.

Ketika pak Hadi mengatakan, betapa lamanya perjalanan menuju masjid tersebut, aku semakin heran kenapa aku justru ingin sekali perjalanan itu tidak cepat-cepat nyampe di masjid. Aku ingin berlama-lama menikmati suasana hati yang begitu mengasyikkan dalam perjalanan itu.

Sungguh aku semakin yakin akan pertolongan Allah. Buat siapa saja yang mempunyai niat ikhlas dalam melakukan pengabdian kepadaNya. Dan yang lebih penting lagi adalah, dalam setiap persoalan apa pun kita harus merasa bahwa sebenarnya Allah itu dekat dengan hambaNya.

Jika setiap saat seseorang selalu merasa dekat dengan Dzat Pemilik alam raya ini, insya Allah dimana saja dan dalam keadaan apa saja akan selalu dilidungiNya. Dan memang, Allah Swt tidak pernah jauh dari makhlukNya. Dialah yang mengendalikan semua persoalan hidup manusia.

QS. Al-Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

QS. Qaaf (50) : 16
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.
Semoga dengan semakin bertambahnya kesadaran, bahwa kita ini sesungguhnya sangat dekat dengan Sang Pencipta yaitu Allah Azza wa Jalla, hidup kita menjadi semakin terarah, dan menjadi semakin bermakna.
Insya Allah...