Sunday, March 4, 2007

Asal Usul dan Tujuan Kehidupan



Bagian terakhir dari pembahasan kita kali ini adalah menjawab pertanyaan : Untuk apa kita mempelajari Ruh dan Jiwa? Kenapa nggak cuek aja? Toh, dipelajari atau tidak, Ruh dan Jiwa itu sudah ada di dalam tubuh dan terlibat dalam kehidupan kita?

Orang Jawa mengatakan untuk mengetahui: 'sangkan paraning dumadi' alias asal usul dan tujuan kehidupan. Darimanakah kehidupan ini muncul dan akan kemanakah kita sesudah itu? Hal yang sama telah dilakukan oleh para ilmuwan, filsuf, dan orang-orang bijak sepanjang sejarah kemanusiaan.

Inti dari semua itu adalah untuk mengetahui untuk apakah kita ada? Apakah sebenarnya misi utama kehidupan kita? Apakah sekadar 'mengalir' begitu saja? Ataukah, memiliki tujuan tertentu?

Jawaban atas pertanyaan itu mulai tergambar lebih jelas ketika kita memasuki wilayah 'dunia Jiwa dan Ruh' ' Hal inilah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-firman Nya yang baru kita bahas di bagian sebelum ini. Bahwa, semua itu menjadi pelajaran dan mengandung hikmah bagi orang-orang yang mau berpikir dengan akalnya.

Pelajaran apa? Bahwa Allah adalah Sang Maha Pencipta yang Maha Sempurna. Bahwa, manusia diciptakan Allah dengan mengikuti FitrahNya. Yang dengan Fitrah itu manusia akan mencapai kualitas tertingginya sebagai seorang manusia makhluk paling sempurna dari yang pernah diciptakan Allah.

Bahwa, untuk mencapai kesempurnaan itu seorang manusia harus paham caranya, yaitu dengan mengikuti petunjukNya dalam sebuah agama Fitrah, yang termaktub dalam Al-Qur’an al karim.

Itulah agama yang diciptakan berdasarkan keseimbangan, sebagaimana keseimbangan alam semesta dan keseimbangan diri serta kehidupan manusia. Barangsiapa mengikuti keseimbangan penciptaan itu maka selamatlah kehidupannya. Dan barangsiapa menabrak keseimbangan itu, maka celakalah dia. Dunia dan Akhirat.

Bahwa, manusia memiliki kebebasan melakukan apa saja untuk kebahagiaan dirinya. Ia dihadapkan pada dua pilihan dalam kehidupannya: kebajikan ataukah kejahatan. Kebajikan adalah jalan hidup yang sesuai dengan konsep kesimbangan tersebut. Sedangkan kejahatan adalah segala sesuatu yang menabrak keseimbangan ciptaan Allah di alam semesta.

Kebebasan atas pilihan itu oleh Allah telah dimasukkan ke dalam Jiwa manusia berupa kecenderungan untuk memilih jalan kefasikan atau jalan kebajikan. Caranya ada 2: membersihkan Jiwa atau mengotorinya.

Maka berbahagialah orang-orang yang memilih membersihkan Jiwanya, dan menderitalah, orang-orang yang mengotorinya. Orang yang bersih Jiwanya, bakal jernih dalam memandang kehidupan, dan kemudian memperoleh kebahagiaan karena bisa bersikap dan bertindak sesuai dengan Sunnatullah yang berprinsip pada keseimbangan.

Sebaliknya, orang yang hatinya kotor, bagaikan orang buta yang tidak tahu jalan kemana dia harus melangkah. Ia seperti orang buta yang menabrak segala sesuatu di hadapannya. Hidupnya penuh dengan masalah, karena ia tidak tahu bagaimana harus berlaku dalam keseimbangan Sunnatullah itu.

Maka, setiap kita akan menuai hasil perbuatan kita sendiri. Segala kebaikan akan kembali kepada kita, sebagaimana kejahatan yang juga kembali pada diri kita masing-masing.

Allah telah memberikan sebagian Ruh Nya kepada badan kita. Maka, dalam diri kita selalu ada bisikan-bisikan malaikat yang menuntun kita kepada kualitas sifat-sifat Ilahiah. la menuntun kita pada ‘Kebajikan Universal’, yang menghasilkan kondisi rahmatan lil 'aalamin (Kebahagiaan Semesta) sebagai tujuan final diciptakan kehidupan.

Allah mengarahkan kita agar tidak terjebak pada kehidupan Duniawi yang mengikat kebahagiaan kita hanya sekadar sekualitas materi. Karena, di dalam diri kita memang selalu ada bisikan Iblis yang mempengaruhi agar kita hanya mengorientasikan kehidupan pada pemenuhan kebutuhan badan semata. Tak peduli pada Keseimbangan Universal, yang mengarah pada ‘Kebahagiaan Semesta’.

Bahwa drama kehidupan manusia digelar melewati tahapan-tahapan kehidupan yang bertingkat-tingkat. Awalnya tidak ada, kemudian menjadi ada, dan akhirnya tidak ada kembali. Asalnya dari Allah, kemudian diciptakan oleh Allah, dan akhirnya kembali lagi kepada Allah. Begitulah drama kehidupan seluruh makhluk di alam semesta ini. Tak terkecuali manusia.

Manusia bukanlah makhluk abadi. Manusia bukanlah makhluk yang ada selama-lamanya. Sebab, manusia dulu memang pernah tidak ada. Dan suatu ketika nanti bakal 'lenyap' kembali.

Memang banyak di antara kita yang tidak rela bakal lenyap. Mereka ingin hidup kekal, selama-lamanya. Tidak pernah hilang lagi. Lho, memangnya kita ini siapa? Kok ingin menyamai Dzat Allah Yang Maha Kekal?

Dalam diskusi yang sering saya hadiri seringkali menemui pendapat-pendapat seperti itu. Banyak di antara kita yang tidak rela alam akhirat bakal lenyap. Sebab, kalau Akhirat lenyap, lantas (kita) manusia berada dimana?' Jadi, pada intinya, sebenarnya mereka bukan tidak rela Akhirat bakal lenyap, melainkan 'tidak rela dirinya lenyap’!

Manusia, pada hakikatnya, ingin hidup abadi, selama-lamanya. Kenapa demikian? Karena Ruh yang bersemayam di dalam diri kita memang mengimbaskan sifat-sifat Ketuhanan. Di antaranya, ingin Hidup Terus, ingin Berkuasa Terus, Berkehendak sebebas-bebasnya terus, dan segala macam sifat keabadian lainnya.

Kita lupa bahwa kita bukan Tuhan. Kita hanyalah manusia biasa yang diciptakanNya, berupa perpaduan badan material, Jiwa energial dan Ruh. Itu pun, Ruh yang ditiupkan kepada kita hanyalah sebagian saja dari Ruh Nya. Maka, jangan berharap kita akan menyamai Allah,

Kita ada karena Ruh masih bersemayam dalam diri kita. Begitu Ruh itu dicabut kembali oleh Allah, maka eksistensi kita sebagai manusia ikut lenyap. Jangankan, pada waktu Ruh dicabut, saat kita tidur saja kita sudah tidak merasakan apa-apa. Eksistensi kita sudah hilang, seiring kesadaran yang juga hilang. (Masihkah anda merasa ada ketika anda tertidur lelap?!!)

Bayangkan kalau seandainya kita tidak bangun lagi, maka kita sebenarnya sudah ‘lenyap’. Kita tidak lagi merasakan apa-apa. Eksistensi kehidupan kita sudah tidak ada artinya lagi. Bagaimana menurut Anda?

Itulah yang telah kita diskusikan di depan, bahwa Jiwa dan Ruh kita ada dalam genggaman Allah. DIA memegang Jiwa seseorang pada saat matinya dan pada saat tidurnya. Lantas, Allah mengembalikan Jiwa itu kepada badan yang masih diizinkanNya untuk bangun kembali dari tidurnya.

Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar kita berdoa menjelang tidur dan sesudah tidur, seperti sedang mengalami kematian. Sebab, antara tidur dan mati hampir tidak ada bedanya.

'Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut' (Dengan Nama Mu ya Allah aku hidup, dan dengan Nama Mu aku mati). Begitulah beliau mengajarkan kepada kita untuk berdoa menjelang tidur. Karena kita tidak tahu apakah kita bisa bangun kembali ataukah tidak. Kita berserah diri saja kepada Allah yang menguasai Jiwa kita.

Dan ketika terbangun dari tidur, Rasulullah saw mengajarkan untuk membaca: 'Alhamdulillaahilladzii ahyana ba’da maa amaatana wa ilaihi nusyur' (Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali sesudah kematianku, dan kepadaNya lah aku kembali).

Begitu tipisnya antara hidup dan mati. Setiap hari kita ditidurkan oleh Allah beberapa jam. Saat itulah kita telah mencicipi kematian. Itulah saat-saat Jiwa kita ditahan oleh Allah. Kita tidak bisa merasakan, mengendalikan, atau apalagi melawan.

Ketika kantuk datang menyerang, itulah saat-saat menjelang 'Kematian Sementara' kita. Cobalah rasakan, pada saat-saat itulah Allah mulai berangsur-angsur menahan Jiwa kita entah akan dikembalikan lagi ataukah ditahan seterusnya.

Setiap hari, kita telah 'berlatih' untuk menemui kematian yang sesungguhnya. Tapi seringkali, kita merasa betapa kematian kita masih begitu jauhnya. Padahal, kematian demikian dekat dengan kehidupan kita. Karena, kehidupan dan kematian selalu bersama-sama, di mana pun mereka berada. Dan bisa berganti posisi kapan pun Allah mau.

Kematian hanyalah berpisahnya badan dengan Jiwa & Ruh untuk sementara waktu. Tapi bukan untuk 1-2 jam, melainkan berjuta tahun sampai kita bangun dari kematian itu di Hari Kebangkitan. Kejadiannya persis seperti saat kita terbangun dari tidur kita sehari-hari.

QS. Yasin (36) : 52
Mereka berkata: "Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?" Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya).

Akankah kita termasuk orang-orang yang menyesal saat 'dibangunkan' kembali kelak? Ataukah kita temasuk hamba-hamba yang berbahagia? Semua itu bergantung kepada bagaimana saat-saat sebelum kita berangkat tidur itu.

Kalau kita termasuk orang-orang yang sudah terlatih untuk memasuki tidur dengan baik, maka Insya Allah kita akan bangun kembali dalam keadaan yang baik dan segar. Tapi kalau kita memasuki saat-saat tidur itu dengan penuh masalah yang membelit kehidupan kita, maka sungguh tidur kita akan menjadi 'Mimpi Buruk' bagi kita. Dan tiba-tiba kita terbangun dengan kondisi yang sakit dan menyesakkan dada.

Dan, yang lebih menakutkan, mimpi buruk itu ternyata menjadi kenyataan saat kita terbangun dari 'tidur panjang' itu. Jiwa kita yang terlanjur kotor selama kehidupan sebelum ‘tidur panjang’, tidak sempat lagi kita bersihkan. Dan ternyata, harus dibersihkan di dalam Api yang meyala-nyala di Neraka Jahannam

Berbeda dengan mereka yang telah melatih dan membiasakan dirinya untuk hidup bersih penuh kedamaian dan cinta kasih. ‘Tidur’ mereka sungguh adalah tidur yang nikmat. Tidurnya para Jiwa yang Penuh Kedamaian - Nafs al Muthmainnah. Mereka bermimpi indah sepanjang tidurnya yang pulas. Dan di 'Esok Harinya', mereka terbangun dalam kebahagiaan Jiwa yang Fitri, di surga Jannatun Nalm...

(QS Fajr 27 - 30)
Hai Jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba Ku, dan masuklah ke dalam surga Ku.



aku beranikan diri
menyelam ke samudera misteri
untuk apa ? entahlah !

aku hanya ingin bertemu denganMu
wahai Sang Penuh Misteri

Barangkali tak lebih
seperti Musa di Gunung Sinai
yang kemudian pingsan
saat ingin bertemu denganMu

Atau mungkin
seperti Ibrahim yang mencariMu
di gugusan bintang, bulan dan matahari
dan menemukan kepasrahannya
yang begitu dalam

atau bagaikan Muhammad
yang terpesona di Sidratul Muntaha
saat kerinduannya tumpah
di haribaan Mu

atau barangkali,
semua ini tak bermakna apa-apa
karena aku memang bukan siapa siapa


Walaahu Alam bishshowab