Sebagaimana saya sampaikan di depan, bahwa otak memiliki dua sisi yang berbeda dalam eksistensinya. Sisi yang pertama adalah struktur otak. Ia diwakili oleh partikel-partikel materi yang membentuk atom, kemudian atom-atom itu membentuk molekul, lantas molekul-molekul membentuk unit terkecil penyusun makhluk hidup yang disebut sel.
Di dalam sel itulah kompleksitas sistem kehidupan mulai muncul. Di dalamnya ada inti sel yang memuat kode-kode perintah kehidupan, yang terangkai dalam untaian genetika. Di luar sel ada fasilitas-fasilitas pendukung kehidupan sel.
Mulai dari zat RNA yang berfungsi sebagai kurir penyampai pesan kehidupan dalam bentuk kode-kode biokimia. Mitokondria berfungsi sebagai pabrik penghasil energi untuk kebutuhan sel. Di dalamnya terdapat berbagai macam enzim yang dibutuhkan untuk proses produksi tersebut.
Seluruh sel terisi oleh cairan yang disebut sitoplosma, di mana ia berfungsi sebagai media lalu lintas berbagai enzim yang menjaga kelangsungan kehidupan sel tersebut. Jalur komunikasi atas seluruh bagian sel dikendalikan oleh pusat komunikasi bernama retikulum endoplasma. Dan kemudian, hasil-hasil prosesnya berupa protein tertentu akan dikemas di suatu bagian yang disebut kompleks golgi. Dari sinilah kebutuhan zat-zat di dalam sel tesebut maupun yang ada di sel lain, dipasok.
Sel-sel yang sejenis, lantas membentuk suatu jaringan. Dalam konteks otak, sel-sel itu lantas membentuk jaringan saraf otak menjadi semacam chip integrated circuit (IC), dan sejumlah sel pendukung yang disebut glia. Perbandingan jumlah antara keduanya adalah 1 : 2, yaitu 100 miliar sel saraf otak dan 200 sel glia.
Sel-sel saraf itulah yang membentuk dan membangun organ otak, dengan struktur yang telah kita bahas di depan. Kehebatan otak bukan terletak pada masing-masing komponennya, melainkan pada koordinasi fungsi secara menyeluruh.
Meskipun, secara struktural kita melihat peran-peran menonjol dari beberapa bagian otak. Misalnya, kulit otak, sistem limbik, batang otak dan otak kecil. Atau, lebih spesifik lagi ada bagian otak yang kita kenal sebagai Thalamus, Hypothalamus, Hippocampus, amygdala, dan lain sebagainya. Namun semua itu ternyata memiliki saling ketergantungan yang sangat besar. Dan tidak bisa berdiri sendiri.
Tadinya, saya menduga bahwa di otak itu ada suatu bagian yang menjadi 'komandan'. Mengendalikan seluruh aktivitas untuk menerima rangsang, memahami, menganalisa, dan merespon. Tapi setelah menelusuri lebih jauh, saya memperoleh kesimpulan yang berbeda, bahwa komandan fungsi otak secara struktural itu bukan terdapat pada organ tertentu, melainkan pada keserasian fungsinya.
Ini memang menjadikan kita lebih sulit memahami fungsi otak berkaitan dengan Jiwa. Akan lebih mudah bagi kita, jika ternyata seluruh kendali otak itu diperintah oleh bagian tertentu. Maka dengan gampang kita lantas mengatakan : "Oo, berarti bagian itulah yang menjadi representasi Jiwa."
Di kalangan agama Hindu, Misalnya, percaya bahwa kelenjar hipofise adalah ‘mata ketiga’, tempat lepas dan masuknya Jiwa. Namun, kalau kita tilik fungsi struktural. (organik)nya, ternyata kelenjar ini bekerja atas perintah Hypothalamus sebagai kelenjar yang menghasilkan hormon. Sedangkan hormon, juga bukanlah satu-satunya aktor dalam mekanisme pengaturan hidup manusia. Ia mesti bekerjasama dengan sinyal-sinyal listrik dan neurotransmiter, sebagaimana telah kita bahas di depan.
Jadi, kayaknya, ia tidak layak disebut sebagai komandan mekanisme otak. Mestinya, malah lebih layak Hypothalamus. Karena, organ inilah yang memerintah kan hipofise untuk mengeluarkan hormon sesuai kebutuhan tubuh. Ada hormon pengatur pertumbuhan, hormon penentu sifat laki-laki dan perempuan, hormon yang mengatur mekanisme menstruasi, sampai pada pengaturan kegiatan-kegiatan seksual.
Bahkan Hypothalamus berfungsi pula untuk menjaga kestabilan temperatur badan kita. Ia juga mengatur rasa lapar dan haus. Dan banyak lagi peran-peran penting kehidupan. Kalau begitu, mestinya Dialah yang dimaksud oleh berberapa kalangan sebagai aktor utama dalam kaitannya dengan Jiwa.
Posisinya memang di dekat kelenjar hipofise. Organ yang lebih sedikit lebih besar dari biji kacang itu terletak di antara hipofise dan Thalamus. Kalau dilihat dari luar kepala posisinya ada dibagian depan, sekitar dahi.
Namun, status sebagai komandan otak itu juga patut dipertanyakan, karena banyak fungsi lain yang tidak diperintah oleh hypothalamus. Misalnya, perintah kepada jantung agar terus berdenyut. Tekanan darah. Atau fungsi pernafasan. Padahal ketiga fungsi itu kan sangat sentral dalam kehidupan manusia.
Ternyata perintah berkaitan dengan fungsi jantung dan pernafasan itu dilakukan oleh organ yang lain, yaitu Batang Otak. Posisinya di bagian belakang bawah. Di batang otak inilah terdapat bagian yang disebut formasi retikularis yang bertanggung jawab terhadap 'fungsi sadar' alias terjaga.
Orang yang mengalami koma atau pingsan, denyut jantung dan tekanan darah serta kestabilan sistem pernafasannya diatur dari sini. Kalau melihat fungsinya yang sangat sentral, mestinya bagian ini juga layak disebut sebagai aktor utama dalam pengendalian kehidupan seseorang. Bukan hanya Hypothalamus. Tapi kondisi yang sekadar 'terjaga' juga tidak menggambar kan fungsi Jiwa yang sempurna. Ini sekadar saklar on-off untuk menjalankan fungsi terjaga atau tidak.
Demikian pula sistem limbik. Inilah bagian yang bertanggung jawab terhadap 'kesadaran fungsional' seseorang. Bukan hanya 'terjaga' secara fisik, melainkan juga 'tersadar' dalam arti fungsi luhur keJiwaan. Di sinilah hawa nafsu dan budi pekerti bertarung untuk saling berkuasa. Di sini juga emosi dan rasio saling berebut posisi menjadi panglima dalam pikiran seseorang.
Kalau melihat fungsi yang demikian sentral itu, maka sistem limbik juga pantas disebut sebagai komandan otak dan menjadi representasi dari Jiwa. Namun, tenyata ia juga hanya mengomandani sebagian saja dari fungsi otak.
Jadi, fungsi otak sebenarnya terdapat pada sistem keseimbangan kerjasama antar bagian-bagian itu. Kesempurnaan dan ketinggian fungsi otak hanya muncul jika masing-masing bagian menunjukkan perannya secara maksimal, dan kemudian bersinergi secara harmonis. Bagaikan sebuah musik orkestra.
Namun demikian, secara samar-samar kita bisa menangkap pengelompokan fungsi tertentu. Kalau Misalnya, pengelompokan itu kita lakukan dalam dua bagian besar, maka akan terbagi menjadi: pengendali aktivitas fisik dan pengendali psikis.
Aktivitas fisik dikomandani oleh 'Batang Otak' dan Hipothalamus. Batang otak mengatur fungsi dasar kehidupan yang berkait dengah kesadaran fisik (pernafasan dan mekanisme jantung). Sedangkan Hypothalamus mengatur fungsi kehidupan lanjutannya seperti pertumbuhan, pencernaan, seksualitas, kestabilan temperatur badan, dan lain sebagainya.
Sedangkan Aktivitas psikis dikomandani oleh sistem limbik. Ia mengatur fungsi luhur kemanusiaan dengan melibatkan pusat rasio (Hippocampus) dan pusat emosi (amygdala).
Ternyata dalam dunia kedokteran di Indonesia, penanganan masalah-masalah otak juga dibagi menjadi dua bidang, yaitu, kedokteran saraf (neurologi) dan kedokteran Jiwa (psikiatri). Meskipun keduanya sebenarnya saling terkait. Dalam konteks yang lebih umum, kita lantas bisa menyebutnya sebagai 'Otak Lahir' dan 'Otak Batin'.
Dalam bidang kedokteran disebut sebagai 'Otak Struktural' dan 'Otak Fungsional'. Dokternya disebut sebagai dokter Saraf dan dokter Jiwa.
Jadi, kalau begitu, apakah sistem limbik bisa diartikan sebagai Jiwa itu sendiri? Nah, disinilah muncul 'titik kritis' nya.
Secara fungsional, sistem limbik ini memang merepresentasikan banyak hal tentang fungsi Jiwa. Berbagai macam perasaan 'berkecamuk' di sistem ini, dalam bentuk sinyal-sinyal listrik dan silang sengkarutnya neurotransmiter antar sel yang terlibat.
Bagi seorang dokter saraf, munculnya rasa gembira dalam diri seseorang sebenarnya tak lebih dari lepasnya neurotransmiter enkefalin. Zat inilah yang menyebabkan rasa gembira itu muncul. Demikian pula rasa cemas dan ketakutan, itu sebenarnya tak lebih dari terlepasnya adrenalin, yang menyebabkan jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin.
Atau, perasaan malas dan sulit berkonsentrasi sebenarnya 'hanyalah' meningkatnya neurotransmiter GABA dan Serotonin di saraf otak yang berpengaruh pada performa kerja otak secara keseluruhan. Dan lain sebagainya.
Jadi betapa sederhananya, apa yang disebut 'Perasaan' itu. Sekali lagi, perasaan adalah sekadar muncul dan beredarnya neurotransmiter tertentu sesuai dengan jenis perasaannya??!!
Pertamakali saya memperoleh informasi ini saya termenung cukup lama. Dan kemudian mencoba merasakan dalam diri saya. Saya tidak puas dengan kesimpulan itu, meskipun saya tidak bisa membantahnya.
Saya lantas berdiskusi panjang lebar dengan seorang kakak saya yang kebetulan dokter saraf (neurolog). Dia mengatakan memang begitulah fungsi otak dipandang dari segi neurologi. Bahwa berbagai macam perasaan itu identik dengan zat-zat biokimiawi yang disebut nerotransmiter.
Saya lantas bertanya lebih jauh, manakah yang lebih dulu muncul : 'perasaan takut ataukah adrenalin?' Ternyata jawabannya adalah perasaan takut itulah yang lebih dulu muncul, barulah kemudian otak melepaskan adrenalin yang membawa efek berantai ke seluruh organ-organ tubuh.
Demikian pula, antara rasa gembira dan enkefalin, ternyata lebih dulu rasa gembira. Barulah kemudian memicu neurotransmiter enkefalin. Dan seterusnya.
Akan tetapi, saya sebenarnya tidak terlalu puas dengan kesimpulan itu, karena ternyata muncul kenyataan berikutnya : jika neurotransminter tertentu muncul, fungsi Jiwa itu pun bisa muncul, sebagai akibatnya.
Contohnya, jika kadar adrenalin atau epinefrin kita meningkat, maka kita bakal menjadi uring-uringan, tanpa jelas ujung pangkalnya. Begitu pula jika kadar GABA kita naik, tiba-tiba timbul rasa malas dalam pikiran kita. Dan, selanjutnya, kalau serotonin lagi turun, maka tiba-tiba kewaspadaan dan konsentrasi kita pun ikut turun. Kalau begitu, mana yang lebih duluan 'perasaan' ataukah neurotransmiter? Ini jadi kayak kasus ‘ayam dan telur’, duluan mana?'.
Tapi, karena ada kasus yang menunjukkan bahwa 'perasaan' bisa memicu munculnya neuro transmiter tertentu, maka saya memilih bersikap bahwa antara perasaan dan neurotransmiter, mesti lebih substansial ‘perasaan’. Meskipun neurotransmiter itu bisa memicu munculnya ‘perasaan’.
Jika demikian, timbullah pertanyaan berikutnya: 'Bagaimanakah proses munculnya perasaan di benak kita? Bentuknya seperti apa? Posisinya dimana?'
Dan, bagaimana pula proses berubahnya ‘perasaan’ yang begitu abstrak menjadi zat kimiawi dengan efek organiknya yang begitu nyata?' Hal ini akan kita bahas dalam bagian-bagian berikutnya, secara lebih komprehensif.
Pada tahap ini, saya hanya ingin mengajak Anda untuk menegaskan pemahaman, bahwa otak kita memiliki sifat nyata (lahiriah) alias 'struktural' dan sifat abstrak (batiniah) alias 'fungsional'.