Mempelajari aktivitas otak, berarti juga mempelajari aktivitas Jiwa. Kenapa demikian? Karena seperti telah kita bahas di depan, Jiwa adalah program-program istimewa yang dimasukkan ke dalam sel-sel otak oleh Allah. Dan program-program itu lantas berkolaborasi membentuk suatu sistem di dalam organ otak. Karena itu, setiap apa yang dihasilkan otak adalah pancaran dari aktivitas Jiwa kita.
Bagaimana memahaminya? Banyak cara. Di antaranya dengan memahami produk-produk otak sebagai organ pemikir. Kalau kita membaca karya seseorang, baik berupa karya tulis, musik, pidato, atau karya-karya seni dan ilmu pengetahuan lainnya, kita sedang memahami pancaran jiwa seseorang.
Di dalam karya itu terkandung energi, yang tersimpan di dalam maknanya. Untuk bisa merasakan energi tersebut tentu kita harus menggunakan Jiwa untuk memahaminya.
Jika kita sekadar menggunakan panca indera terhadap suatu karya, tapi hati atau Jiwa kita tidak ikut dalam proses pemahaman itu, tentu kita tidak bisa merasakan besarnya energi yang terpancar. Karya itu tidak lebih hanya sebagai seonggok benda mati. Tapi, begitu kita melibatkan hati dan Jiwa, tiba-tiba karya itu menjadi hidup dan bermakna.
Yang demikian itu bisa terjadi pada pemahaman apa saja. Setiap kali kita ingin menangkap makna, maka kita harus melibatkan hati dan Jiwa. Hati adalah sensor penerima getaran universal di dalam diri seseorang. Ada yang menyebutnya sebagai indera ke enam.
Kombinasi antara panca indera dan hati akan menyebabkan kita bisa melakukan pemahaman. Tapi semua sinyalnya tetap dikirim ke otak sebagai pusat pemahaman atas informasi panca indera dan hati tersebut. Di situlah Jiwa bekerja sebagai mekanisme kompleks dari seluruh rangkaian software yang ada di sel-sel otak. Itulah yang difirmankan Allah dalam berbagai ayatnya, bahwa pemahaman mesti melibatkan hati, sebagai sensornya.
QS. A'raaf (7) : 179
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
QS. Ar Ruum (30) 59
Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami.
QS. Al Hajj (22) : 46
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Jadi, otak memancarkan gelombang energi yang tersimpan di dalam maknanya. Makna itu sendiri sebenarnya bukanlah energi, meskipun ia mengandung energi. Makna juga bukan materi. Makna adalah makna alias ‘informasi’.
Selama ini, kita memahami eksistensi alam semesta hanya tersusun dari 4 variable, yaitu Ruang, Waktu, Materi dan Energi. Sebenarnya, 'Informasi' adalah variable ke 5 yang turut menyusun alam semesta.
Para pakar Fisika tidak memasukkan 'Informasi' sebagai salah satu variable penyusun alam, karena pengukuran 'Informasi' itu tidak bisa dilakukan oleh alat ukur material seperti mengukur Ruang, Waktu, Energi dan Materi. Makna atau informasi hanya bisa diukur oleh ‘perasaan’ makhluk hidup.
Tetapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi kini semakin bisa diukur secara lebih kuantitatif bukan hanya kualitatif saja. Sehingga, saya kira sudah waktunya kita memasukkan 'variable Informasi' sebagai Salah satu dari 5 variable penyusun eksistensi alam semesta.
Nah, variabel ke 5 inilah yang banyak berperan ketika kita membicarakan makhluk hidup. Khususnya yang berkaitan dengan Jiwa dan Ruh. Sebab, ukuran-ukuran yang bisa kita kenakan pada aktivitas Jiwa dan Ruh itu bukan cuma sebatas ukuran Ruang, Waktu, Energi dan Materi, melainkan ukuran 'informasi' alias 'makna'. Dan itu belum terwadahi oleh 4 varaibel tersebut.
Mungkinkah ada suatu peralatan yang bisa mengukur baik dan buruk? Atau adakah alat secanggih apapun yang bisa mengukur tingkat keindahan, kejengkelan, kebosanan, ketentraman, kebencian, kedamaian, dan kebahagiaan? Semua itu terkait dengan informasi dan makna. Sebenarnyalah ‘makna’ itu memiliki arti yang lebih mendalam dibandingkan sekedar informasi.
Meskipun, tidak bisa diukur secara langsung sebagaimana mengukur kuantitas Ruang, Waktu, Energi dan Materi, tapi informasi dan 'makna' itu bisa bermanifestasi ke dalam Ruang, Waktu, Materi dan Energi. Informasi dan Makna menjelajah ke seluruh dimensi tersebut.
Sebagai contoh, rasa bahagia bisa terpancar di wajah seseorang (dalam bentuk materi dan energi), dalam kurun waktu tertentu di suatu tempat (menempati Ruang dan Waktu).
Informasi tersebut juga bisa ditransfer kepada orang lain, sehingga memunculkan energi tertentu. Jika anda sedang merasa gembira, kemudian menceritakan kegembiraan itu kepada orang dekat anda, maka orang itu akan merasa ikut bergembira. Dan ketika dia ikut merasa gembira, dia sebenarnya telah menerima energi kegembiraan itu dari anda. Dia tiba-tiba terdorong untuk tertawa, atau bahkan menangis gembira.
Dalam bentuk apakah energi kegembiraan itu terpancar ke orang dekat anda? Apakah suara anda yang keras dan menggetarkan gendang telinganya itu yang menyebabkan dia tertawa? Pasti bukan. Apakah juga karena suara anda yang mengalun merdu, sehingga ia ikut gembira. Juga bukan. Yang menyebabkan dia ikut gembira adalah karena 'isi' alias 'makna' cerita anda itu.
Dan uniknya, energi yang tersimpan di dalam makna itu tidak bisa diukur besarnya secara statis, seperti mengukur waktu, atau energi panas. Energi 'informasi' itu besarnya bisa berubah-ubah bergantung kepada penerimanya.
Kalau si penerima berita demikian antusias dalam menanggapi berita gembira itu, maka dia akan menerima energi yang lebih besar lagi. Mungkin dia bisa tertawa sambil berurai air mata gembira, berjingkrak-jingkrak, dan seterusnya. Padahal, bagi orang lain, berita yang sama tidak menimbulkan energi sehebat itu.
Dimana kunci kehebatan transfer energi informasi itu berada? Terletak pada dua hal, yang pertama adalah makna yang terkandung di dalamnya, sejak dari informasi itu berasal. Dan yang kedua, sikap hati si penerima informasi. Keduanya bisa saling memberikan efek perlipatan kepada energi yang dihasilkan.
Jadi kekuatan energi informasi terletak pada 'kualitas interaksi' antara sumber informasi, penerima, dan makna yang terkandung di dalamnya. Dan, semua itu berlangsung dengan sangat dinamis. Itulah yang terjadi dalam mekanisme pancaran gelombang otak kita, sebagai representasi Jiwa.
Memang dalam kadar tertentu, otak memancarkan gelombang dengan frekuensi yang bisa ditangkap dengan mengunakan alat-alat perekam elektromagnetik tertentu. Katakanlah electric Encephalograph atau Magneto Encephalograph. Tapi yang terukur di sana hanyalah amplitudo dan frekuensinya saja. Atau, mungkin ditambah dengan pola gelombangnya. Sama sekali tidak bisa diukur berapa besar energi 'makna' yang tersimpan di dalamnya. Misalnya, apakah orang yang diukur gelombang otaknya itu sedang gembira atau bersedih. Atau, lebih rumit lagi, apakah dia sedang berpikir jahat atau berpikir baik.
Energi makna itu baru bisa diketahui ketika dipersepsi lewat sebuah interaksi dengan orang lain. Artinya, sampai sejauh ini alat ukur yang digunakan haruslah makhluk hidup, yang memiliki 'hati' dan Jiwa sederajat dengan sumber informasi.
Namun demikian, secara umum, kita bisa mengetahui kondisi Jiwa seseorang lewat jenis gelombang otak dan frekuensi yang dipancarkannya. Misalnya, kalau otak seseorang memancarkan gelombang dengan frekuensi 13 Hertz atau lebih, dia sedang keadaan sadar penuh alias terjaga.
Kalau pancaran gelombang antara 8 - 13 hertz, maka dia sedang terjaga tapi dalam suasana yang rileks alias santai. Jika otaknya memancarkan gelombang di bawah 8 hertz, maka orang itu mulai tertidur. Dan jika memancarkan frekuensi lebih rendah lagi, di bawah 4 Hz, ia berarti tertidur pulas. Dan ketika bermimpi, dia kembali akan memancarkan frekuensi gelombang yang meningkat, meskipun dia tidak terjaga.
Jadi, secara umum kita melihat bahwa 'aktivitas' otak seiring dengan aktivitas Jiwa. Aktivitas Jiwa bakal memancarkan energi Makna. Energi makna itu lantas memicu munculnya energi elektromagnetik di sel-sel otak. Dan berikutnya, energi elektromagnetik tersebut memunculkan jenis-jenis neurotranmister dan hormon tertentu yang terkait dengan kualitas aktivitas Jiwa itu. Misalnya neurotransmiter untuk kemarahan berbeda dengan gembira, berbeda dengan sedih, malas, dan lain sebagainya seperti telah kita bahas di depan.
Bagaimana memahaminya? Banyak cara. Di antaranya dengan memahami produk-produk otak sebagai organ pemikir. Kalau kita membaca karya seseorang, baik berupa karya tulis, musik, pidato, atau karya-karya seni dan ilmu pengetahuan lainnya, kita sedang memahami pancaran jiwa seseorang.
Di dalam karya itu terkandung energi, yang tersimpan di dalam maknanya. Untuk bisa merasakan energi tersebut tentu kita harus menggunakan Jiwa untuk memahaminya.
Jika kita sekadar menggunakan panca indera terhadap suatu karya, tapi hati atau Jiwa kita tidak ikut dalam proses pemahaman itu, tentu kita tidak bisa merasakan besarnya energi yang terpancar. Karya itu tidak lebih hanya sebagai seonggok benda mati. Tapi, begitu kita melibatkan hati dan Jiwa, tiba-tiba karya itu menjadi hidup dan bermakna.
Yang demikian itu bisa terjadi pada pemahaman apa saja. Setiap kali kita ingin menangkap makna, maka kita harus melibatkan hati dan Jiwa. Hati adalah sensor penerima getaran universal di dalam diri seseorang. Ada yang menyebutnya sebagai indera ke enam.
Kombinasi antara panca indera dan hati akan menyebabkan kita bisa melakukan pemahaman. Tapi semua sinyalnya tetap dikirim ke otak sebagai pusat pemahaman atas informasi panca indera dan hati tersebut. Di situlah Jiwa bekerja sebagai mekanisme kompleks dari seluruh rangkaian software yang ada di sel-sel otak. Itulah yang difirmankan Allah dalam berbagai ayatnya, bahwa pemahaman mesti melibatkan hati, sebagai sensornya.
QS. A'raaf (7) : 179
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
QS. Ar Ruum (30) 59
Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami.
QS. Al Hajj (22) : 46
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Jadi, otak memancarkan gelombang energi yang tersimpan di dalam maknanya. Makna itu sendiri sebenarnya bukanlah energi, meskipun ia mengandung energi. Makna juga bukan materi. Makna adalah makna alias ‘informasi’.
Selama ini, kita memahami eksistensi alam semesta hanya tersusun dari 4 variable, yaitu Ruang, Waktu, Materi dan Energi. Sebenarnya, 'Informasi' adalah variable ke 5 yang turut menyusun alam semesta.
Para pakar Fisika tidak memasukkan 'Informasi' sebagai salah satu variable penyusun alam, karena pengukuran 'Informasi' itu tidak bisa dilakukan oleh alat ukur material seperti mengukur Ruang, Waktu, Energi dan Materi. Makna atau informasi hanya bisa diukur oleh ‘perasaan’ makhluk hidup.
Tetapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi kini semakin bisa diukur secara lebih kuantitatif bukan hanya kualitatif saja. Sehingga, saya kira sudah waktunya kita memasukkan 'variable Informasi' sebagai Salah satu dari 5 variable penyusun eksistensi alam semesta.
Nah, variabel ke 5 inilah yang banyak berperan ketika kita membicarakan makhluk hidup. Khususnya yang berkaitan dengan Jiwa dan Ruh. Sebab, ukuran-ukuran yang bisa kita kenakan pada aktivitas Jiwa dan Ruh itu bukan cuma sebatas ukuran Ruang, Waktu, Energi dan Materi, melainkan ukuran 'informasi' alias 'makna'. Dan itu belum terwadahi oleh 4 varaibel tersebut.
Mungkinkah ada suatu peralatan yang bisa mengukur baik dan buruk? Atau adakah alat secanggih apapun yang bisa mengukur tingkat keindahan, kejengkelan, kebosanan, ketentraman, kebencian, kedamaian, dan kebahagiaan? Semua itu terkait dengan informasi dan makna. Sebenarnyalah ‘makna’ itu memiliki arti yang lebih mendalam dibandingkan sekedar informasi.
Meskipun, tidak bisa diukur secara langsung sebagaimana mengukur kuantitas Ruang, Waktu, Energi dan Materi, tapi informasi dan 'makna' itu bisa bermanifestasi ke dalam Ruang, Waktu, Materi dan Energi. Informasi dan Makna menjelajah ke seluruh dimensi tersebut.
Sebagai contoh, rasa bahagia bisa terpancar di wajah seseorang (dalam bentuk materi dan energi), dalam kurun waktu tertentu di suatu tempat (menempati Ruang dan Waktu).
Informasi tersebut juga bisa ditransfer kepada orang lain, sehingga memunculkan energi tertentu. Jika anda sedang merasa gembira, kemudian menceritakan kegembiraan itu kepada orang dekat anda, maka orang itu akan merasa ikut bergembira. Dan ketika dia ikut merasa gembira, dia sebenarnya telah menerima energi kegembiraan itu dari anda. Dia tiba-tiba terdorong untuk tertawa, atau bahkan menangis gembira.
Dalam bentuk apakah energi kegembiraan itu terpancar ke orang dekat anda? Apakah suara anda yang keras dan menggetarkan gendang telinganya itu yang menyebabkan dia tertawa? Pasti bukan. Apakah juga karena suara anda yang mengalun merdu, sehingga ia ikut gembira. Juga bukan. Yang menyebabkan dia ikut gembira adalah karena 'isi' alias 'makna' cerita anda itu.
Dan uniknya, energi yang tersimpan di dalam makna itu tidak bisa diukur besarnya secara statis, seperti mengukur waktu, atau energi panas. Energi 'informasi' itu besarnya bisa berubah-ubah bergantung kepada penerimanya.
Kalau si penerima berita demikian antusias dalam menanggapi berita gembira itu, maka dia akan menerima energi yang lebih besar lagi. Mungkin dia bisa tertawa sambil berurai air mata gembira, berjingkrak-jingkrak, dan seterusnya. Padahal, bagi orang lain, berita yang sama tidak menimbulkan energi sehebat itu.
Dimana kunci kehebatan transfer energi informasi itu berada? Terletak pada dua hal, yang pertama adalah makna yang terkandung di dalamnya, sejak dari informasi itu berasal. Dan yang kedua, sikap hati si penerima informasi. Keduanya bisa saling memberikan efek perlipatan kepada energi yang dihasilkan.
Jadi kekuatan energi informasi terletak pada 'kualitas interaksi' antara sumber informasi, penerima, dan makna yang terkandung di dalamnya. Dan, semua itu berlangsung dengan sangat dinamis. Itulah yang terjadi dalam mekanisme pancaran gelombang otak kita, sebagai representasi Jiwa.
Memang dalam kadar tertentu, otak memancarkan gelombang dengan frekuensi yang bisa ditangkap dengan mengunakan alat-alat perekam elektromagnetik tertentu. Katakanlah electric Encephalograph atau Magneto Encephalograph. Tapi yang terukur di sana hanyalah amplitudo dan frekuensinya saja. Atau, mungkin ditambah dengan pola gelombangnya. Sama sekali tidak bisa diukur berapa besar energi 'makna' yang tersimpan di dalamnya. Misalnya, apakah orang yang diukur gelombang otaknya itu sedang gembira atau bersedih. Atau, lebih rumit lagi, apakah dia sedang berpikir jahat atau berpikir baik.
Energi makna itu baru bisa diketahui ketika dipersepsi lewat sebuah interaksi dengan orang lain. Artinya, sampai sejauh ini alat ukur yang digunakan haruslah makhluk hidup, yang memiliki 'hati' dan Jiwa sederajat dengan sumber informasi.
Namun demikian, secara umum, kita bisa mengetahui kondisi Jiwa seseorang lewat jenis gelombang otak dan frekuensi yang dipancarkannya. Misalnya, kalau otak seseorang memancarkan gelombang dengan frekuensi 13 Hertz atau lebih, dia sedang keadaan sadar penuh alias terjaga.
Kalau pancaran gelombang antara 8 - 13 hertz, maka dia sedang terjaga tapi dalam suasana yang rileks alias santai. Jika otaknya memancarkan gelombang di bawah 8 hertz, maka orang itu mulai tertidur. Dan jika memancarkan frekuensi lebih rendah lagi, di bawah 4 Hz, ia berarti tertidur pulas. Dan ketika bermimpi, dia kembali akan memancarkan frekuensi gelombang yang meningkat, meskipun dia tidak terjaga.
Jadi, secara umum kita melihat bahwa 'aktivitas' otak seiring dengan aktivitas Jiwa. Aktivitas Jiwa bakal memancarkan energi Makna. Energi makna itu lantas memicu munculnya energi elektromagnetik di sel-sel otak. Dan berikutnya, energi elektromagnetik tersebut memunculkan jenis-jenis neurotranmister dan hormon tertentu yang terkait dengan kualitas aktivitas Jiwa itu. Misalnya neurotransmiter untuk kemarahan berbeda dengan gembira, berbeda dengan sedih, malas, dan lain sebagainya seperti telah kita bahas di depan.