Kematian adalah misteri kedua, yang terkait dengan Jiwa dan Ruh. Misteri yang pertama adalah kehidupan itu sendiri. Pertanyaan. tentang 'Bagaimana terjadinya kematian' tidak kalah misteriusnya dengan pertanyaan tentang: 'bagaimana terjadinya kehidupan'.
Ya, munculnya kematian dan kehidupan adalah misteri yang tiada pernah berakhir diperbincangkan oleh manusia sepanjang sejarah kehidupan itu sendiri. Munculnya kehidupan masih menjadi teka-teki yang belum terjawab dengan memuaskan. Apalagi periode sebelum munculnya kehidupan. Tapi, insya Allah, saya akan membahasnya dalam diskusi terpisah tentang munculnya kehidupan di alam semesta.
Sedangkan yang terkait dengan kematian akan kita bahas dalam diskusi kali ini. Di antaranya saat-saat kematian, periode sesudah kematian, dan kondisi Jiwa serta Ruh terkait dengan kematian tersebut.
Bagaimanakah sebenarnya proses kematian terjadi pada manusia? Kita bisa meninjaunya dari dua sisi yang berbeda. Yang pertama adalah sisi medis, dan yang kedua dari sisi agama.
Saya kira secara medis kita bisa dengan mudah mendefinisikan yang disebut dengan kematian. Jika seseorang sudah tidak bernafas, denyut jantung berhenti, dan otak sudah tidak beraktivitas lagi, maka dikatakan orang tersebut telah mengalami kematian.
Sebab, jika nafas dan jantung sudah tidak berfungsi, seluruh sel dalam tubuh kita juga akan mengalami kematiannya. Pasokan oksigen dan zat-zat gizi semuanya bakal berhenti dan tidak lagi menghidupi sel. Maka, tidak lama kemudian, miliaran sel di tubuh kita akan mengalami kehancuran secara dramatis dan kemudian membusuk. Itulah akhir dari sebuah kematian.
Dalam metode yang berbeda, saat-saat kematian diketahui dengan cara mendeteksi aktivitas otak seseorang. Cara ini lebih akurat dibandingkan dengan mengukur denyut jantung dan nafas.
Bisa jadi denyut jantung dan nafas seseorang sudah berhenti, tapi pada saat itu aktivitas otaknya belum mati. Maka, orang yang mengalami kondisi demikian itu sebenarnya masih bisa ditolong agar tidak mati. Misalnya dengan cara mengaktifkan kembali denyut jantungnya lewat kejutan listrik.
Demikian pula jika nafasnya terhenti. Boleh jadi itu hanya karena tersumbatnya saluran nafas oleh suatu benda. Maka orang yang nafasnya terhenti karena hal demikian, masih bisa ditolong dengan cara tertentu, termasuk bantuan nafas buatan.
Namun jika yang berhenti beraktivitas secara keseluruhan adalah otaknya, dipastikan orang tersebut telah meninggal dunia. Karena otak adalah pengendali dari berbagai aktivitas organ-organ tubuh lainnya.
Secara umum aktivitas otak ini dibagi menjadi dua wilayah besar, yaitu aktivitas otak besar dan aktivitas batang otak. Jika yang 'berhenti' beraktivitas adalah otak besar, tapi batang otaknya masih bekerja, maka orang tersebut dikatakan mati suri alias koma.
Otak besar dibantu otak kecil berfungsi untuk mengkoordinasi-kan seluruh aktivitas tubuh. Mulai dari berkehendak sampai pada respon gerakan. Sedangkan batang otak lebih mengatur pada fungsi dasar kehidupan seperti bernafas dan denyut jantung.
Sehingga, meskipun kesadaran dan respon motoriknya sudah sangat rendah, kalau batang otak seseorang masih berfungsi, orang itu masih bisa bernafas dan memiliki denyut jantung. Sebab, kontrol terhadap fungsi nafas dan jantung memang berada di batang otak tersebut.
Jadi, kematian seseorang dari sisi medis atau organik adalah ketika batang otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Saat itulah perintah untuk menjalankan nafas dan jantung sudah tidak keluar dari batang otaknya.
Padahal kita tahu, bahwa nafas dan jantung adalah organ yang berfungsi mendistribusikan oksigen dan zat gizi ke seluruh tubuh agar miliaran sel bisa hidup dan berfungsi dengan baik.
Maka, kalau kita telusuri proses kematian seseorang secara medis, kurang lebih demikian:
- Dicabutnya perintah kehidupan dari batang otak, berupa dihentikannya denyut jantung, gerakan paru-paru, dan perintah hilangnya kesadaran di daerah yang dinamakan formasi retikularis. Daerah ini memiliki inti-inti sel yang tersebar di batang otak dan bisa mengeluarkan perintah yang mengatur kondisi sadar manusia.
- Akibat berhentinya denyut jantung dan paru-paru, maka pasokan 'gizi kehidupan' berupa oksigen dan nutrisi pun berhenti. Maka dalam waktu beberapa menit kemudian sel-sel tubuh bakal mengalami kerusakan secara massal.
- Kerusakan itu termasuk meliputi sel-sel otak. Mulai dari kulit otak sampai mengarah ke batang otak dan seluruh sel-sel sarafnya. Saat itulah formasi retikularis mencabut perintah kesadaran seseorang.
- Ketika kesadaran seseorang sudah terhenti diiringi dengan kerusakan miliaran sel di seluruh tubuhnya, maka seseorang dikatakan telah meninggal dunia.
Tapi, mekanisme kematian seperti di atas adalah mekanisme normal. Banyak variasi mekanisme munculnya kematian itu. Yang intinya, adalah berhentinya fungsi jantung, nafas dan hilangnya kesadaran, yang kemudian diikuti oleh rusaknya sel-sel tubuh secara massal.
Ada yang rusak dari jantungnya terlebih dahulu, misalnya pada orang-orang yang terkena serangan jantung koroner. Ketika jantung tersumbat atau jantung mengalami kegagalan berdenyut, tubuh juga kehilangan pasokan nutrisi dan oksigen. Dan kemudian seseorang akan mengalami kematiannya.
Atau bisa juga berasal dari kegagalan pernafasan sehingga menyebabkan kekurangan oksigen. Misalnya pada orang yang tercekik atau tersumbat saluran nafasnya. Maka, sel-sel bakal kekurangan oksigen, dan lantas mengalami kerusakan pada sel-sel otaknya, hilang kesadaran, dan kemudian mengalami kematian.
Atau, ada juga yang berawal dari kerusakan organ-organ lain seperti liver, ginjal, pencernaan, pembuluh darah, dan sebagainya, yang pada gilirannya akan mengganggu distribusi nutrisi dan oksigen ke otak dan sel-sel tubuh lainnya.
Ujung-ujungnya, otak 'berkesimpulan' bahwa koordinasi organ-organ untuk mempertahankan kehidupan sudah tidak berjalan lagi. Maka, batang otak akan mengeluarkan perintah untuk menghentikan fungsi jantung, paru dan kesadaran seseorang. Itulah saat-saat kematian terjadi.
Setelah itu badan bakal membusuk dan hancur secara perlahan-lahan. Jiwa pun 'terlepas' dari badan seiring dengan kerusakan yang terjadi padanya. Jiwa adalah sisi energial dari badan yang bersifat material.
Sebagaimana pernah kita bahas dalam diskusi-diskusi sebelumnya, bahwa materi dan energi adalah 'eksistensi' yang selalu berimpit keberadaannya. Dimana ada materi, di situ pasti ada energi.
Kemunculan materi dan energi itu bagaikan timbangan. Jika materinya dominan, maka energinya tersimpan sebagai potensi. Sebaliknya, jika energinya yang dominan, maka materinya juga melemah tersimpan sebagai potensi.
Demikianlah pada badan manusia. Ketika dilahirkan, ia menyimpan potensi energinya di dalam badan wadagnya, dalam sebuah keseimbangan struktur yang demiklan sempurna.
Materi adalah badan, energi adalah Jiwa. Tapi uniknya, energi yang tersimpan sebagai Jiwa itu bukan terdapat pada benda mati, melainkan tersimpan di dalam struktur tubuh manusia yang hidup. Mulai dari susunan terkecilnya secara biomolekuler, menjadi sel, menjadi organ, dan akhirnya tubuh manusia. Maka struktur material yang hidup Ini juga menghasilkan struktur energi yang hidup juga, yaitu Jiwa.
Sehingga ketika badan hidup Itu mengalami kerusakannya, maka energi yang terlepas darinya juga bukan energi yang mati, melainkan energi yang hidup.
Sudah pernah kita bahas dalam diskusi-diskusi sebelumnya, bahwa energi akan terlepas jika material mengalami kerusakan. Kalau kita merusak kayu dengan cara membakarnya, maka dari kayu itu akan terlepas energi panas. Jumlah materinya berkurang, tapi eksistensi energinya bertambah.
Demikian pula kalau kita merusak bahan-bahan peledak dengan dengan cara mereaksikannya secara kimiawi, maka bahan peledak itu akan rusak dan musnah, tapi muncul energi ledakan yang dahsyat.
Atau pada energi nuklir. Kalau kita merusak inti atom lewat reaksi berantai dengan menggunakan neutron, maka inti-inti atom Uranium atau plutonium bakal mengalami kerusakan, dan melepaskan energi yang luar biasa besar.
Jadi intinya, agar energi keluar dari 'seonggok' materi, kita harus merusak materi itu sedemikian rupa sehingga terlepaslah energi karakteristiknya. Pada benda mati, energi yang keluar adalah 'energi yang mati'. Tapi pada benda hidup energi yang keluar adalah energi yang hidup' juga. Itulah Jiwa.
Pada manusia, jiwa akan keluar dari badannya ketika badan itu mengalami kerusakan. Dalam konteks ini adalah kerusakan menyeluruh yang disebut dengan kematian. Tapi, energinya bakal keluar sebagai energi yang hidup.
Kenapa bisa demikian? Karena energi kehidupan itu sebenarnya bukan datang dari Jiwa itu sendiri melainkan datang dari Ruh yang masih bersemayam di dalam Jiwa. Ketika Jiwa masih bersatu dengan badan, kehidupan muncul pada kedua-duanya, berasal dari energi kehidupan Ruh. Hidup badannya, hidup Jiwanya.
Tapi begitu badannya rusak, maka yang hidup tinggal Jiwanya saja. Dalam bentuk apa? Dalam bentuk energi yang terlepas dari badan.
Badan dan Jiwa adalah materi dan energi. Badan memiliki struktur yang khas dari materi, sedangkan Jiwa juga memiliki struktur yang khas dari energi. Keduanya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama. Tidak bisa dipisahkan. Kalau terpisah, maka ia bukan lagi berfungsi sebagai mata uang.
Demikian pula dengan manusia. Ia bisa disebut sebagai manusia adalah ketika badan yang hidup bertemu dengan Jiwa yang hidup. Ketika badannya mati, maka ia tidak lagi disebut sebagai manusia melainkan sebagai mayat alias jenasah. Dan sisi lainnya disebut nyawa. Atau ada yang menyebutnya sebagai roh (memiliki konotasi yang agak berbeda dengan Ruh).
Perumpamaan lain tentang badan dan Jiwa itu bisa digambarkan sebagai badan seseorang dengan bayangannya dalam cermin. Meskipun ini tidak persis. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa apa yang terdapat pada badan kita, juga terdapat pada Jiwa.
Struktur badan, juga terstruktur pada Jiwa. Demikian pula seluruh sifat dan karakter yang terdapat pada badan, pun terdapat pada jiwa. Jiwa bagaikan bayangan cermin dari badan kita sendiri, dalam bentuk energi.
Seluruh pengalaman hidup kita tersimpan dalam struktur tubuh kita secara material, tapi juga sekaligus tersimpan dalam struktur Jiwa secara energial.
Jadi meskipun badan sudah rusak karena kematian, segala amal dan perbuatan seseorang masih tersimpan dalam bentuk energial di dalam struktur Jiwanya. jiwa masih tetap hidup sesuai dengan alamnya. Itulah yang dikatakan Allah dalam firman berikut ini.
QS. Al Imran (3) : 169
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
QS. Al Baqarah (2) 154
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Allah menepis keraguan banyak kalangan, bahwa mereka yang sudah meninggal dunia itu tidaklah mati, melainkan masih hidup dalam alam yang berbeda. Bahkan mereka memperoleh rezeki dari Allah agar tetap bisa mempertahankan kehidupannya itu.
Akan tetapi dunia mereka memang berbeda dengan kita, sehingga kebanyakan kita tidak menyadarinya. Kalau pun ada yang bisa menyadarinya, kata Allah hanya samar-samar saja. Hal itu Dia jelaskan dalam ayat berikut.
QS. Maryam (19) : 98
Dan berapa banyak telah Kami binasakan umat-umat sebelum mereka. Adakah kamu melihat seorangpun dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar?
Bagaikan badan dengan bayangan dalam cermin, kalau kita tidak memandang secara khusus ke arah cermin, maka kita juga tidak menyadari bahwa di dalam cermin itu ada bayangan kita.
Badan dan bayangan dalam cermin eksis dalam dunia yang berbeda. ‘Badan’ kita terasa riil di dunia nyata, sedangkan 'bayangan' pun bersifat riil di dalam ‘dunia cermin’. Demikian pula badan dan Jiwa. Badan kita riil berada di Dunia Materi, tapi Jiwa kita juga riil, hidup di Dunia Energi. Bedanya, badan bersifat kuantitas, sedangkan Jiwa bersifat kualitas.
Keduanya dibatasi oleh cermin. Cermin itulah yang menjadikan adanya eksistensi yang identik antara badan dan bayangan, satunya kuantitas dan lainnya kualitas. Cermin bagaikan angka nol. Angka nol dalam deret bilangan menjadi 'cermin' atas deretan angka positif dan negatif.
Keberadaan angka-angka itu justru muncul dari angka nol. Karena ada angka nol, maka ada angka 1 dan -1, atau 2 dan -2, dan seterusnya sampai tak berhingga.
Keberadaan angka nol justru memberikan makna pada bilangan bilangan yang lain. Padahal kita semua tahu, arti dari angka nol itu adalah 'kosong' alias ‘tidak ada isinya’.
Tapi, munculnya angka 1 justru dimulai dari 'kosong' itu. Jika tidak ada nol, maka angka 1 itu pun tidak bermakna. Sebab ‘ada’ hanya bisa kita persepsi dengan baik jika kita tahu yang Tidak ada. Angka 10, 100, 1000, dan seterusnya menjadi bermakna justru ketika angka 1 digandengkan dengan sejumlah bilangan nol yang kosong itu.
Disinilah saya ingin mengatakan bahwa posisi Ruh dalam kaitannya dengan badan dan jiwa adalah seperti angka nol pada deret bilangan. Ia berada di antara badan dan Jiwa. 'Kosong' tapi memberikan makna pada Jiwa dan badan. Kita tidak tahu apa itu Ruh, tapi justru Ruh itulah yang memberikan makna.
Ruh lah yang menyebabkan badan dan Jiwa menjadi hidup. Menjadi bermakna. Bukan hanya sebagai ‘seonggok’ materi atau segumpal energi. Badan material dan Jiwa energial menjadi hidup karena Ruh.
Tapi apakah Ruh itu? Tidak ada yang tahu. Karena ia bukan materi, sekaligus bukan energi. Ia adalah sumber dari materi dan energi. Kadang muncul sebagai materi, di lain waktu tampak sebagai energi. la adalah ‘kalimat Allah’. Ia adalah 'bagian' dari Dzat dan eksistensi Allah itu sendiri. Begitulah kata Allah.
QS. An Nisa (4) : 171
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat Nya yang disampaikan Nya kepada Maryam, dan (lewat tiupan) Ruh dari Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.
QS. At Tahrim (66) : 12
Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari Ruh Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang ta'at.
Dengan sangat tegas Allah mengatakan bahwa kalimatNya lah yang menjadi sosok 'Isa, lewat tiupan Ruh yang diberikan ke dalam rahim Maryam. Ruh itu adalah 'sebagian' dari eksistensi keilahian itu sendiri.
Sebagaimana telah kita bahas di depan, bahwa energi makna yang tersimpan dalam ‘Perintah Kun’ itulah yang kemudian menjelma menjadi materi dan energi, dalam bentuk badan dan Jiwa seorang manusia. Semua perintah penciptaan seorang manusia dilewatkan hadirnya Ruh tersebut. Hal ini lebih jelas pada firman berikut ini.
QS. Maryam (19) : 17
maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus Ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
Ayat di atas menggambarkan, bahwa pada saat Allah mau menciptakan Isa di dalam tubuh Maryam, Dia 'mengutus Ruh Nya' yang menjelma dalam bentuk manusia yang sempurna.
Dalam kebanyakan tafsir dan terjemah, Ruh di sini dipersepsikan sebagai malaikat Jibril. Perlu pembahasan lain tentang kenapa malaikat Jibril disebut dan disetarakan dengan Ruh. Insya Allah saya akan membahasnya dalam diskusi tentang malaikat, di waktu mendatang.
Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa 'Ruh Nya' itu adalah 'Kalimat' yang daripadaNya bersumber dan terbentuk badan serta Jiwa manusia. Ruh itu kemudian tetap bersemayam dalam diri seorang manusia sebagai 'cetak biru' alias fitrah kehidupannya. Dari Ruh inilah energi kehidupan mengalir menghidupi badan dan Jiwa seseorang.
Karena itu keduanya bertumbuh dan hidup menuju pada kesempurnaan strukturnya. Sampai pada suatu ketika mengalami masa puncaknya, dan kemudian berangsur-angsur turun kembali menuju pada kehancuran dan kematiannya.
Akan tetapi, usia badan dan usia Jiwa memang berbeda. Sebab badan sebagai material memiliki umur yang lebih pendek dibandingkan dengan Jiwa yang bersifat energial. Karena itu ketika badan kita sudah tidak mampu bertahan lagi dan kemudian mati, Jiwa kita masih bisa bertahan sampai hari kebangkitan. Pada saat itulah Jiwa akan dikembalikan lagi ke badan.
Nah, selama perpisahannya dengan badan itu, Jiwa tidak memiliki 'alat' untuk berekspresi. Karena seluruh ekspresinya hanya bisa tersalurkan lewat badan. Rasa sakit, nikmat, sedih dan gembira hanya bisa dia rasakan ketika Jiwa bersatu dengan badan. Sebab, seluruh sistem saraf yang berkaitan dengan berbagai macam rasa itu memang ada di dalam sistem saraf badannya. Kalau sistem saraf itu tidak berfungsi, maka seluruh sistem sensoriknya juga tidak berfungsi.
Jiwa tetap hidup, tapi tidak bisa merasakan 'kehidupan' seperti di dunia nyata. Dia hanya akan bisa merasakan kehidupan dunia nyata itu jika Jiwa menempati badannya kembali. Itulah yang akan terjadi di hari kebangkitan kelak.
Allah akan mengembalikan Jiwa dan Ruhnya ke dalam badan seseorang. Barulah kemudian dia bisa merasakan balasan di Surga maupun di Neraka. Ya, kehidupan surga dan neraka akan terjadi saat Jiwa sudah bersatu kembali dengan badannya. Bukan hanya dialami oleh Jiwanya saja