Agar terjadi pembahasan yang terfokus tentang akal dan kesadaran, maka saya kira kita perlu terlebih dahulu memberikan batasan alias definisi kepada yang disebut akal dan kesadaran.
Apakah sebenarnya yang disebut ‘Akal’? kalau kita 'rasakan' dan mencermati dalam diri kita masing-masing, saya kira kita akan bersepakat kalau mendefinisikan 'Akal' sebagai : 'seluruh pontensi kecerdasan' yang dimiliki oleh seseorang.
Tidak peduli, seseorang itu berusia berapa, latar belakang pendidikannya apa, laki-laki atau perempuan, cacat atau tidak, dan lain sebagainya. Bahwa 'akal' seseorang ditunjukkan oleh seluruh potensi kecerdasan yang dia miliki. Semakin cerdas dia, semakin tinggi potensi akalnya. Dan semakin tidak cerdas dia, maka semakin rendah potensi akalnya.
Kini, persepsi tentang kecerdasan seseorang bukan hanya terkait dengan kecerdasan intelektual. Melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Bagaimana cara seseorang menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, bisa menunjukkan seberapa kuat akalnya. Atau dengan kata lain, menunjukkan seberapa besar 'potensi kecerdasan' yang dia miliki.
Potensi kecerdasan meliputi : kemampuan memahami, kemampuan menganalisa, kemampuan membuat keputusan, sampai pada kemampuan untuk menjalankan (mengeksekusi). Dalam proses itu, yang terlibat bukan hanya kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan emosional dan spiritual.
Pada dua poin pertama kemampuan memahami dan menganalisa barangkali sangat dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual. Seseorang bisa memahami sesuatu permasalahan dengan baik, hanya jika kecerdasan intelektualnya cukup baik. Jika tidak, dia akan mengalami penyimpangan pemahaman dari yang semestinya.
Karena itu, malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu Allah kepada para rasul, memiliki akal yang kuat dan kecerdasan sangat tinggi. Hal itu dikemukakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Jika tidak, maka apa yang diperintahkan Allah untuk disampaikan kepada manusia bakal mengalami distorsi pemahaman.
QS. An Najm (53) : 6
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.
Begitulah potensi akal dan kecerdasan intelektual berperan pada pemahaman permasalahan. Sedangkan 'kecerdasan emosional' dan 'spiritual' akan sangat menentukan pada langkah berikutnya poin ketiga dan keempat yaitu pengambilan keputusan dan menjalankannya.
Sebuah keputusan yang baik bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual, melainkan juga oleh kematangan emosional dan spiritual seseorang. Meskipun, pintar, kalau tidak matang secara emosional dan spiritual, maka keputusan yang dibuat akan berpotensi menyulut masalah.
Misalnya, keputusan yang diambil dalam kondisi marah. Atau keputusan yang diambil dalam kondisi sedang stress tinggi, tergesa-gesa, hanya beorientasi pada kepentingan diri sendiri, dan lain sebagainya.
Apalagi, untuk mengeksekusi keputusan itu, dan kemudian menjalankannya. Betul-betul tidak cukup hanya kecerdasan intelektual. Karena, biasanya kita lantas berhubungan dengan berbagai variabel di luar diri kita. Di situlah dibutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi. Jika tidak, maka interaksi yang terjadi bakal berpotensi menyulut persoalan yang berkelanjutan. Disebabkan oleh kurang bijaksana dalam menjalankan keputusan tersebut.
Maka, pada tahap ini saya kira kita mulai bisa menarik kesimpulan, bahwa yang disebut 'Akal' adalah seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Baik melibatkan kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritualnya.
Selain itu, kita menangkap kefahaman bahwa potensi kecerdasan bisa berubah-ubah kualitasnya semakin cerdas atau sebaliknya. Dan, saya kira kita juga sepakat bahwa potensi kecerdasan masing-masing orang berbeda-beda. Semua itu berjalan seiring dengan proses pembelajaran dan pengalaman hidup yang telah dijalaninya.
Apakah sebenarnya yang disebut ‘Akal’? kalau kita 'rasakan' dan mencermati dalam diri kita masing-masing, saya kira kita akan bersepakat kalau mendefinisikan 'Akal' sebagai : 'seluruh pontensi kecerdasan' yang dimiliki oleh seseorang.
Tidak peduli, seseorang itu berusia berapa, latar belakang pendidikannya apa, laki-laki atau perempuan, cacat atau tidak, dan lain sebagainya. Bahwa 'akal' seseorang ditunjukkan oleh seluruh potensi kecerdasan yang dia miliki. Semakin cerdas dia, semakin tinggi potensi akalnya. Dan semakin tidak cerdas dia, maka semakin rendah potensi akalnya.
Kini, persepsi tentang kecerdasan seseorang bukan hanya terkait dengan kecerdasan intelektual. Melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Bagaimana cara seseorang menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, bisa menunjukkan seberapa kuat akalnya. Atau dengan kata lain, menunjukkan seberapa besar 'potensi kecerdasan' yang dia miliki.
Potensi kecerdasan meliputi : kemampuan memahami, kemampuan menganalisa, kemampuan membuat keputusan, sampai pada kemampuan untuk menjalankan (mengeksekusi). Dalam proses itu, yang terlibat bukan hanya kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan emosional dan spiritual.
Pada dua poin pertama kemampuan memahami dan menganalisa barangkali sangat dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual. Seseorang bisa memahami sesuatu permasalahan dengan baik, hanya jika kecerdasan intelektualnya cukup baik. Jika tidak, dia akan mengalami penyimpangan pemahaman dari yang semestinya.
Karena itu, malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu Allah kepada para rasul, memiliki akal yang kuat dan kecerdasan sangat tinggi. Hal itu dikemukakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Jika tidak, maka apa yang diperintahkan Allah untuk disampaikan kepada manusia bakal mengalami distorsi pemahaman.
QS. An Najm (53) : 6
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.
Begitulah potensi akal dan kecerdasan intelektual berperan pada pemahaman permasalahan. Sedangkan 'kecerdasan emosional' dan 'spiritual' akan sangat menentukan pada langkah berikutnya poin ketiga dan keempat yaitu pengambilan keputusan dan menjalankannya.
Sebuah keputusan yang baik bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual, melainkan juga oleh kematangan emosional dan spiritual seseorang. Meskipun, pintar, kalau tidak matang secara emosional dan spiritual, maka keputusan yang dibuat akan berpotensi menyulut masalah.
Misalnya, keputusan yang diambil dalam kondisi marah. Atau keputusan yang diambil dalam kondisi sedang stress tinggi, tergesa-gesa, hanya beorientasi pada kepentingan diri sendiri, dan lain sebagainya.
Apalagi, untuk mengeksekusi keputusan itu, dan kemudian menjalankannya. Betul-betul tidak cukup hanya kecerdasan intelektual. Karena, biasanya kita lantas berhubungan dengan berbagai variabel di luar diri kita. Di situlah dibutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi. Jika tidak, maka interaksi yang terjadi bakal berpotensi menyulut persoalan yang berkelanjutan. Disebabkan oleh kurang bijaksana dalam menjalankan keputusan tersebut.
Maka, pada tahap ini saya kira kita mulai bisa menarik kesimpulan, bahwa yang disebut 'Akal' adalah seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Baik melibatkan kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritualnya.
Selain itu, kita menangkap kefahaman bahwa potensi kecerdasan bisa berubah-ubah kualitasnya semakin cerdas atau sebaliknya. Dan, saya kira kita juga sepakat bahwa potensi kecerdasan masing-masing orang berbeda-beda. Semua itu berjalan seiring dengan proses pembelajaran dan pengalaman hidup yang telah dijalaninya.