Kesadaran tingkat ketiga adalah 'Kesadaran Spiritual'. Kesadaran tingkat ini mulai menggeser tumpuan pemahamannya, dari rasionalitas di kesadaran tingkat kedua, menjadi bertumpu pada kefahaman yang lebih mendalam. Dia mulai melihat adanya realitas yang tidak teramati oleh ilmu pengetahuan empirik dan pendekatan rasional.
Ada realitas di balik batas-batas panca indera dan kemampuan rasionalitasnya. Dan juga, dia melihat keterbatasan pemahaman empirik tertentu yang menjadi landasan ilmu pengetahuan. Dia mulai menggeser rasionalitas menjadi bertumpu pada ‘Rasa’.
Biasanya, mengarah pada rasa kekaguman yang mendalam terhadap realitas yang dulu tidak pernah diduganya. Tiba-tiba dia 'melihat' dan 'merasakan' berada di balik realitas yang sedang dieksplorasinya. Dan kemudian, dia menemui 'tembok pembatas' yang sangat kokoh yang membentur rasionalitasnya. Menghadang pemikiran empiriknya. Dia bertemu dengan 'Sebuah Kekuasaan' yang tiada terperikan. Yang 'Mengatur' dan 'Mengendalikan' alam semesta dengan 'Kecerdasan' yang luar biasa.
Tiba-tiba, banyak hal yang tidak memenuhi hukum rasionalitas dan tidak bisa dibuktikan mengikuti metode-metode empirik yang selama ini dikenalnya.
Sebagai contoh, adalah ketika kita mencoba memahami realitas alam semesta. Pada kesadaran tingkat pertama. Kesadaran Inderawi manusia berusaha memahami benda-benda langit sekadar dengan mata dan telinganya.
Hasilnya: manusia mengenal berbagai macam bintang di langit, matahari, bulan, dan sejumlah meteor yang jatuh ke Bumi. Banyak manfaat yang telah diambil manusia lewat kesadaran inderawi ini.
Di antaranya, manusia pada abad-abad yang lalu bisa menentukan arah perjalanannya dengan berpedoman pada rasi bintang yang dikenalnya. Ia tahu arah utara, barat, selatan dan timur, berdasar posisi bintang-bintang itu. Manfaat lainnya lagi, mereka bisa menentukan pergerakan waktu dalam skala yang sederhana, berdasar posisi matahari dan bulan yang terlihat dari bumi. Dan lain sebagainya.
Namun, Kesadaran Inderawi ini lantas menjebak manusia untuk memahami kenyataan hanya berdasar apa yang dilihatnya. Misalnya, mereka menganggap matahari berkeliling bumi. Sebagaimana juga bulan mengelilingi bumi. Kenapa demikian? Karena begitulah memang yang kelihatan dari permukaan planet bumi. Padahal, kelak terbukti, ternyata matahari bukan mengelilingi bumi sebagaimana kita lihat, melainkan justru bumilah yang mengelilingi matahari.
Kefahaman dan kesadaran bahwa bumi mengelilingi matahari itulah yang lebih mendekati kenyataan. Dan, untuk memperoleh kefahaman bahwa bumi mengelilingi matahari, manusia tidak bisa hanya mengandalkan panca inderanya, melainkan dengan menggunakan berbagai pengamatan tidak langsung yang melibatkan berbagai rumus matematika. Manusia telah melakukan pemahamannya dengan menggunakan fungsi akal yang lebih tinggi, lewat analisa perhitungan, dan imajinasi yang lebih abstrak.
Coba bayangkan, mata kita jelas-jelas melihat bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi, setiap hari dari Timur ke Barat. Tapi akal kita justru membantahnya, dan mengatakan bahwa yang berputar berkeliling justru adalah bumi terhadap matahari. Hasilnya, bisa bertolak belakang sama sekali!
Demikian pula, ketika kita mencoba memahami hamparan permukaan bumi. Orang zaman dahulu meyakini bahwa bumi ini datar. Karena memang begitulah yang tampak oleh mata kita. Tetapi, perjalanan Columbus berkeliling Dunia menggunakan kapal lautnya telah merubah pemahaman itu.
Ternyata Bumi kita ini bulat. Manusia hewan, tumbuhan dan berbagai isi bumi sekadar . 'hinggap' di permukaannya. Bukti itu, kini tidak bisa dibantah lagi ketika manusia bisa memotret planet bumi dari satelit. Bumi memang berbentuk bola, yang mengambang dan melesat di awang-awang.
Sekali lagi manusia dihadapkan pada dua pemahaman yang sangat berbeda, ketika menggunakan tingkat kesadaran yang berbeda. Yang pertama sekadar menggunakan indera mata, dan yang kedua menggunakan rasio secara empirik. Hasilnya, radikal berbeda.
Terbukti bahwa penggunaan rasio jauh lebih unggul dibandingkan kefahaman inderawi yang demikian terbatas. Ada potensi 'imajinasi' dan ‘analisa’ yang tidak dimiliki oleh kesadaran tingkat pertama. Dengan potensi imajinasi serta analisa itulah manusia memiliki 'mata imajiner' yang memiliki ketajaman dan sudut pandang yang jauh lebih luas ketimbang mata kepala.
Kalau kita lanjutkan, maka Kesadaran Spiritual bakal memberikan hasil yang lebih hebat lagi dalam memahami kenyataan. Dalam hal mengamati alam semesta, manusia yang menggunakan 'Kesadaran Spiritualnya' bakal menemukan rahasia besar yang selama ini tidak terlihat oleh orang-orang yang sekadar menggunakan 'mata imajinernya'.
'Mata imajiner' alias Kesadaran Rasional sangat bermanfaat untuk melihat realitas yang bersifat fisik, dalam skala yang lebih luas, yang berada di luar jangkauan panca indera. Tiba-tiba seseorang bisa melihat sesuatu yang berada di balik penglihatan matanya, saat menggunakan Kesadaran Rasionalnya.
Tapi, mata imajiner memiliki keterbatasannya ketika digunakan untuk menangkap 'Makna' yang tersimpan di dalamnya. Makna yang terkandung di dalam pesan penciptaan. Makna yang menjurus kepada adanya Dzat yang Tiada Berhingga, yang menampilkan Kecerdasan Tiada Terkira.
Dalam konteks pemahaman alam semesta, kita telah melihat bahwa segala yang tercipta itu tidak ada yang kebetulan, melainkan dicipta dengan sengaja. Lewat sebuah rancangan yang sempurna.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan mutakhir, dua aliran 'Kesadaran' tersebut telah melakukan pertarungan panjang untuk memahami realitas. Kelompok yang pertama diwakili oleh ilmuwan materialis. Sedangkan kelompok kedua diwakili oleh ilmuwan-ilmuwan agamis.
Kelompok yang pertama berpendapat bahwa alam semesta yang demikian dahsyat ini terbentuk dengan sendirinya, tanpa melibatkan Tuhan sebagai sang Pencipta. Sedangkan kelompok kedua, justru 'melihat' adanya 'Kecerdasan Super' yang terlibat secara aktif dalam munculnya segala realitas yang mempesona.
Kelompok materialis menggunakan 'mata imajinernya' untuk memahami alam semesta. Dan mereka hanya memperoleh 'kenyataan' tentang struktur alam semesta yang tertata dengan keseimbangan sempurna.
Sedangkan kelompok agamis menggunakan ‘mata spiritualnya’ untuk memahami kenyataan alam semesta. Selain memahami betapa sempurnanya struktur alam semesta ini, mereka juga bisa merasakan betapa hebatnya 'Kecerdasan' yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta dalam keseimbangan yang tiada cacat sedikit pun.
Allah berfirman di dalam Al-Qur’an, bahwa seluruh ciptaannya di alam semesta dan diri manusia dibangun berdasar keseimbangan yang sempurna.
QS. Al Mulk (67) : 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
QS. Al Infithaar (82) : 7
Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang,
Ada dua perbedaan yang sangat mencolok yang diperoleh kedua kelompok itu. Padahal, mereka sama-sama ingin memahami kenyataan yang sama. Akan tetapi, ternyata 'kenyataan' yang mereka sadari itu berbeda. Dan perdebatan itu pun. berlangsung sengit selama berpuluh tahun terakhir.
Kelompok materialistik bersikukuh dengan pendapatnya bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya secara evolutif. Berproses 'secara kebetulan' membentuk kehidupan. Alam memang memiliki kecenderungan untuk beproses seperti yang kita lihat sekarang dalam keseimbangannya yang azali.
Pada hakikatnya, mereka tidak mau dan tidak bisa melihat adanya 'Sesuatu' dibalik mekanisme yang demikian 'Aneh dan Cerdas' itu. Bahwa semua proses berjalan demikian teratur dan seimbang dengan tujuan yang sama: membentuk dan memfasilitasi adanya kehidupan.
'Mata imajiner' alias ‘Kesadaran Rasional' ternyata tidak sanggup melihat semua itu. Ia hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat materialistik belaka. Kenapa demikian?
Karena sebenarnya, 'mata imajiner' alias Kesadaran Rasional adalah sekadar kepanjangan fungsi dari mata kepala, yang dilengkapi dengan analisa-analisa empiris. Dilengkapi dengan berbagai peralatan bantu. Tapi, substansinya masih sama ia 'melihat' dengan 'mata fisiknya' Maka, tentu saja, ia hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat fisik juga.
Ada realitas di balik batas-batas panca indera dan kemampuan rasionalitasnya. Dan juga, dia melihat keterbatasan pemahaman empirik tertentu yang menjadi landasan ilmu pengetahuan. Dia mulai menggeser rasionalitas menjadi bertumpu pada ‘Rasa’.
Biasanya, mengarah pada rasa kekaguman yang mendalam terhadap realitas yang dulu tidak pernah diduganya. Tiba-tiba dia 'melihat' dan 'merasakan' berada di balik realitas yang sedang dieksplorasinya. Dan kemudian, dia menemui 'tembok pembatas' yang sangat kokoh yang membentur rasionalitasnya. Menghadang pemikiran empiriknya. Dia bertemu dengan 'Sebuah Kekuasaan' yang tiada terperikan. Yang 'Mengatur' dan 'Mengendalikan' alam semesta dengan 'Kecerdasan' yang luar biasa.
Tiba-tiba, banyak hal yang tidak memenuhi hukum rasionalitas dan tidak bisa dibuktikan mengikuti metode-metode empirik yang selama ini dikenalnya.
Sebagai contoh, adalah ketika kita mencoba memahami realitas alam semesta. Pada kesadaran tingkat pertama. Kesadaran Inderawi manusia berusaha memahami benda-benda langit sekadar dengan mata dan telinganya.
Hasilnya: manusia mengenal berbagai macam bintang di langit, matahari, bulan, dan sejumlah meteor yang jatuh ke Bumi. Banyak manfaat yang telah diambil manusia lewat kesadaran inderawi ini.
Di antaranya, manusia pada abad-abad yang lalu bisa menentukan arah perjalanannya dengan berpedoman pada rasi bintang yang dikenalnya. Ia tahu arah utara, barat, selatan dan timur, berdasar posisi bintang-bintang itu. Manfaat lainnya lagi, mereka bisa menentukan pergerakan waktu dalam skala yang sederhana, berdasar posisi matahari dan bulan yang terlihat dari bumi. Dan lain sebagainya.
Namun, Kesadaran Inderawi ini lantas menjebak manusia untuk memahami kenyataan hanya berdasar apa yang dilihatnya. Misalnya, mereka menganggap matahari berkeliling bumi. Sebagaimana juga bulan mengelilingi bumi. Kenapa demikian? Karena begitulah memang yang kelihatan dari permukaan planet bumi. Padahal, kelak terbukti, ternyata matahari bukan mengelilingi bumi sebagaimana kita lihat, melainkan justru bumilah yang mengelilingi matahari.
Kefahaman dan kesadaran bahwa bumi mengelilingi matahari itulah yang lebih mendekati kenyataan. Dan, untuk memperoleh kefahaman bahwa bumi mengelilingi matahari, manusia tidak bisa hanya mengandalkan panca inderanya, melainkan dengan menggunakan berbagai pengamatan tidak langsung yang melibatkan berbagai rumus matematika. Manusia telah melakukan pemahamannya dengan menggunakan fungsi akal yang lebih tinggi, lewat analisa perhitungan, dan imajinasi yang lebih abstrak.
Coba bayangkan, mata kita jelas-jelas melihat bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi, setiap hari dari Timur ke Barat. Tapi akal kita justru membantahnya, dan mengatakan bahwa yang berputar berkeliling justru adalah bumi terhadap matahari. Hasilnya, bisa bertolak belakang sama sekali!
Demikian pula, ketika kita mencoba memahami hamparan permukaan bumi. Orang zaman dahulu meyakini bahwa bumi ini datar. Karena memang begitulah yang tampak oleh mata kita. Tetapi, perjalanan Columbus berkeliling Dunia menggunakan kapal lautnya telah merubah pemahaman itu.
Ternyata Bumi kita ini bulat. Manusia hewan, tumbuhan dan berbagai isi bumi sekadar . 'hinggap' di permukaannya. Bukti itu, kini tidak bisa dibantah lagi ketika manusia bisa memotret planet bumi dari satelit. Bumi memang berbentuk bola, yang mengambang dan melesat di awang-awang.
Sekali lagi manusia dihadapkan pada dua pemahaman yang sangat berbeda, ketika menggunakan tingkat kesadaran yang berbeda. Yang pertama sekadar menggunakan indera mata, dan yang kedua menggunakan rasio secara empirik. Hasilnya, radikal berbeda.
Terbukti bahwa penggunaan rasio jauh lebih unggul dibandingkan kefahaman inderawi yang demikian terbatas. Ada potensi 'imajinasi' dan ‘analisa’ yang tidak dimiliki oleh kesadaran tingkat pertama. Dengan potensi imajinasi serta analisa itulah manusia memiliki 'mata imajiner' yang memiliki ketajaman dan sudut pandang yang jauh lebih luas ketimbang mata kepala.
Kalau kita lanjutkan, maka Kesadaran Spiritual bakal memberikan hasil yang lebih hebat lagi dalam memahami kenyataan. Dalam hal mengamati alam semesta, manusia yang menggunakan 'Kesadaran Spiritualnya' bakal menemukan rahasia besar yang selama ini tidak terlihat oleh orang-orang yang sekadar menggunakan 'mata imajinernya'.
'Mata imajiner' alias Kesadaran Rasional sangat bermanfaat untuk melihat realitas yang bersifat fisik, dalam skala yang lebih luas, yang berada di luar jangkauan panca indera. Tiba-tiba seseorang bisa melihat sesuatu yang berada di balik penglihatan matanya, saat menggunakan Kesadaran Rasionalnya.
Tapi, mata imajiner memiliki keterbatasannya ketika digunakan untuk menangkap 'Makna' yang tersimpan di dalamnya. Makna yang terkandung di dalam pesan penciptaan. Makna yang menjurus kepada adanya Dzat yang Tiada Berhingga, yang menampilkan Kecerdasan Tiada Terkira.
Dalam konteks pemahaman alam semesta, kita telah melihat bahwa segala yang tercipta itu tidak ada yang kebetulan, melainkan dicipta dengan sengaja. Lewat sebuah rancangan yang sempurna.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan mutakhir, dua aliran 'Kesadaran' tersebut telah melakukan pertarungan panjang untuk memahami realitas. Kelompok yang pertama diwakili oleh ilmuwan materialis. Sedangkan kelompok kedua diwakili oleh ilmuwan-ilmuwan agamis.
Kelompok yang pertama berpendapat bahwa alam semesta yang demikian dahsyat ini terbentuk dengan sendirinya, tanpa melibatkan Tuhan sebagai sang Pencipta. Sedangkan kelompok kedua, justru 'melihat' adanya 'Kecerdasan Super' yang terlibat secara aktif dalam munculnya segala realitas yang mempesona.
Kelompok materialis menggunakan 'mata imajinernya' untuk memahami alam semesta. Dan mereka hanya memperoleh 'kenyataan' tentang struktur alam semesta yang tertata dengan keseimbangan sempurna.
Sedangkan kelompok agamis menggunakan ‘mata spiritualnya’ untuk memahami kenyataan alam semesta. Selain memahami betapa sempurnanya struktur alam semesta ini, mereka juga bisa merasakan betapa hebatnya 'Kecerdasan' yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta dalam keseimbangan yang tiada cacat sedikit pun.
Allah berfirman di dalam Al-Qur’an, bahwa seluruh ciptaannya di alam semesta dan diri manusia dibangun berdasar keseimbangan yang sempurna.
QS. Al Mulk (67) : 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
QS. Al Infithaar (82) : 7
Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang,
Ada dua perbedaan yang sangat mencolok yang diperoleh kedua kelompok itu. Padahal, mereka sama-sama ingin memahami kenyataan yang sama. Akan tetapi, ternyata 'kenyataan' yang mereka sadari itu berbeda. Dan perdebatan itu pun. berlangsung sengit selama berpuluh tahun terakhir.
Kelompok materialistik bersikukuh dengan pendapatnya bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya secara evolutif. Berproses 'secara kebetulan' membentuk kehidupan. Alam memang memiliki kecenderungan untuk beproses seperti yang kita lihat sekarang dalam keseimbangannya yang azali.
Pada hakikatnya, mereka tidak mau dan tidak bisa melihat adanya 'Sesuatu' dibalik mekanisme yang demikian 'Aneh dan Cerdas' itu. Bahwa semua proses berjalan demikian teratur dan seimbang dengan tujuan yang sama: membentuk dan memfasilitasi adanya kehidupan.
'Mata imajiner' alias ‘Kesadaran Rasional' ternyata tidak sanggup melihat semua itu. Ia hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat materialistik belaka. Kenapa demikian?
Karena sebenarnya, 'mata imajiner' alias Kesadaran Rasional adalah sekadar kepanjangan fungsi dari mata kepala, yang dilengkapi dengan analisa-analisa empiris. Dilengkapi dengan berbagai peralatan bantu. Tapi, substansinya masih sama ia 'melihat' dengan 'mata fisiknya' Maka, tentu saja, ia hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat fisik juga.
Padahal, makna yang terkandung di balik realitas itu bersifat non fisik. Yaitu, sebuah 'kefahaman' yang sangat abstrak. Yang lebih dekat kepada 'rasa'. Dan ini adalah objek dari indera ke enam yang disebut hati. Inilah yang difirmankan Allah dalam berbagai ayatNya.
QS. An Nahl (16) : 12
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),
QS. Al Hajj (22) : 46
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
QS. Al Ankabut (29) : 63
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya).
QS. Al Mukmin (40) : 67
Dia lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).
Jadi, pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi manusia hanya bisa memperoleh makna itu ketika ia menggunakan hatinya sebagai sensor. Bukan lagi mata fisik. Berkali-kali Allah mengatakan itu. Bahwa untuk bisa memahami mesti menggunakan hati. Bahwa yang namanya hati itu ada di dalam dada. Bahwa, pada kasus tertentu, bukan mata kepala yang buta melainkan mata hatinya.
Inilah tingkat Kesadaran Spiritual. Sebuah Kesadaran yang dibangun berdasarkan penglihatan mata hati alias mata spiritual. Orang yang menggunakan mata hatinya bakal bisa 'melihat' Allah di balik segala kenyataan fisik, yang dilihatnya. Atau dengan kalimat lain dikatakan, ia telah bisa 'merasakan kehadiran Allah' di seluruh benda dan kejadian yang berinteraksi dengannya.
Ketajaman 'mata spiritual' alias Kesadaran Spiritual ini semakin sempurna jika seseorang mencapainya secara bertahap, mulai dari Kesadaran Inderawi, Kesadaran Rasional dan kemudian Kesadaran Spiritual.
Sebab, munculnya Kesadaran pada tingkat yang lebih tinggi itu selalu dipicu oleh memuncaknya Kesadaran yang lebih rendah.
Sebagai contoh, munculnya Kesadaran Rasional adalah ketika pemahaman inderawi sudah mentok, tidak mampu lagi. Ketika, mata sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi di pusat matahari, maka di situlah terjadi stimulasi terhadap Kesadaran Rasional untuk berkembang. Maka, manusia lantas menggunakan potensi rasionalitasnya untuk mengungkapkan rahasia yang ada di pusat matahari itu. Bahwa di sana ada proses pembangkitan energi panas yang luar biasa dahsyat yang disebut sebagai reaksi Termonuklir.
Demikian pula, ketika mata fisik sudah tidak mampu lagi melihat sebab-musabab terjadinya keseimbangan yang mengikat dan menggerakkan benda-benda raksasa di alam semesta, maka Kesadaran Rasional terpicu untuk mengambil alih peran indera yang terbatas itu. Dan muncullah kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang menjelaskan terjadinya keseimbangan gravitasi di seluruh penjuru langit. Kita, lantas berada dalam Kesadaran Rasional tentang kenyataan tersebut.
Begitu pula dengan Kesadaran Spiritual, ia baru akan muncul ketika terpicu oleh ketidak mampuan Kesadaran Rasional dalam memahami kenyataan yang terhampar di hadapannya. Selama seseorang masih merasa bisa memahami kenyataan ini dengan Kesadaran yang lebih rendah maka ia akan menyombongkan diri tentang kemampuan itu. Pada saat yang bersamaan ia tidak akan pernah beranjak dari kesadaran rendahnya menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Perkembangan ilmu pengetahuan empirik yang semakin memuncak di abad-abad terakhir ini, sebenarnya telah menstimulasi munculnya Kesadaran Spiritual. Kemampuan mata imajiner manusia mulai menemukan batasnya. Yang di balik batas itu, manusia mulai merasa tidak tahu apa-apa. Ada suatu rahasia besar yang 'menakutkan', yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak ke segala arah kehidupan telah menemukan ketidak terbatasan yang mengerikan. Baik yang berkait dengan pemahaman alam makro, alam mikro, maupun yang terkait dengan proses-proses kehidupan.
Pada skala makrokosmos, Misalnya, manusia kini dihadapkan pada "Kebesaran Misterius' yang tiada bandingnya. Dulu, manusia hanya mengenal dunia sebagai lingkungan dimana ia menjalani hidup. la menganggap dunia hanya sebesar daerah tempat tinggalnya.
Seiring dengan perjalanan hidupnya, manusia lantas memahami tentang pulau dan benua yang ditempatinya. Semakin meluas, manusia memahami bahwa bumi ini bulat. Dan akhirnya, manusia memperoleh kefahaman bahwa bumi hanyalah sebuah planet kecil dari triliunan benda langit yang terhampar di seluruh penjuru alam semesta.
Tiba-tiba manusia memperoleh kesadaran, tentang keberadaan nya yang demikian kecil di hamparan 'padang pasir' semesta raya. Dimana bumi hanya bagaikan sebutir ‘debu’. Dan di atas debu itulah 5 miliar manusia hidup dengan segala kesombongannya.
Kita tiba-tiba merasa ngeri sendiri. Demikian raksasanya jagad semesta raya. Sementara, bumi adalah satu-satunya planet yang dihuni oleh kehidupan. Selebihnya, belum diketemukan adanya kehidupan di planet-planet lain. Ya, 5 miliar manusia hidup dalam kesendirian di jagad raya semesta, yang sampai sekarang tidak diketahui batasnya.
Seluruh ilmuwan astronomi di muka bumi kini sedang terpaku memandang ke langit. Menatap penuh ngeri sekaligus kekaguman. Ngeri karena manusia begitu kecilnya dibandingkan dengan alam semesta yang berisi triliunan benda-benda angkasa seperti planet bumi atau bahkan banyak yang lebih besar dari bumi.
Namun, kita juga kagum melihat pemandangan yang tiada tara itu. Triliunan matahari berserakan di angkasa semesta bagaikan pelita kecil-kecil yang dihamparkan dan ditata dengan indahnya, di dalam kegelapan ruang angkasa yang demikian raksasa. Di sela-sela pelita itu benda-benda angkasa lainnya menari-nari, bergerak melesat dengan kecepatan tinggi di orbit-orbit yang terjaga selama miliaran tahun. Jauh di luar batas usia peradaban manusia yang cuma berumur ribuan tahun. Hati kita jadi tercekat menyadari kenyataan ini.
Tiba-tiba manusia merasa tidak berdaya dan merasa tidak ada apa-apanya, berhadapan dengan kedahsyatan alam semesta. Kita ini kecil. Bahkan lebih kecil dari yang bisa kita bayangkan. Disinilah manusia terbentur pada suatu kenyataan, yang mencampakkan pada ketidak berdayaan Rasionalnya.
Ia tidak tahu dimana batas alam semesta yang demikian luas ini. Dan, di luar batas itu ada apa. Ia juga tidak tahu bagaimana triliunan benda-benda langit yang semuanya bergerak dan melesat dengan kecepatan tinggi itu bisa tertata demikian rapi dan indahnya dalam keseimbangan yang sempurna.
Ia juga tidak tahu kapan terlahirnya alam semesta secara pasti, dengan cara bagaimana, berasal dari mana, serta apa pula yang akan terjadi kelak.
Dan, masih begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan memuaskan. Semuanya membuat pandangan kita menjadi nanar dan lelah. Meskipun kita telah berulang-ulang mencoba memahaminya, tetap saja tidak bisa. Sebab kita hanya menggunakan 'mata imajiner' yang terbatas. Persis seperti yang dikatakan Allah dalam firmanNya.
QS. Al Mulk (67) : 3 - 4
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah
Mata imajiner telah mencapai batas kemampuannya. Maka, sudah semestinya kita gunakan mata spiritual yang lebih mengandalkan hati. Inilah yang digambarkan Allah di dalam ayat-ayatNya yang lain.
QS. Al Hajj (22) : 46
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
QS. Al A'raaf (7) : 54
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
QS. An Nahl (16) : 12
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),
QS. Al Baqarah (2) : 255
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur Kepunyaan Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
QS. Al An'aam (6) : 75
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada lbrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.
QS. Jaatsiyah (45) : 37
Dan bagi Nyalah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
QS. Al Hasyr (59) : 23
Dia lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.
QS. Al Ankabuut (29) : 63
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya).
Ayat-ayat di atas memberikan gambaran bahwa alam semesta ini bukan tercipta dengan sendirinya. Melainkan diciptakan oleh Allah. Sebenarnya setiap manusia yang ‘mau jujur’, pasti akan bisa merasakan bahwa tidak mungkin alam semesta ini ada dengan sendirinya. Kalau mereka ditanya : siapa pencipta alam semesta dan segala isinya ini? Mereka pasti akan menjawab Allah. Namun kebanyakan mereka mengingkarinya, karena berbagai alasan dan kesombongannya.
Kesadaran Spiritual memang sangat berkait dengan kejujuran hati. Bukan sekadar kepintaran dan kecerdasan pikiran. Hati yang jujur dan hati yang mencari kebenaran. Itulah kuncinya. Sepintar apa pun, kalau hatinya 'buta', tidak akan bisa melihat kenyataan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Mereka selalu mencari alasan untuk menyatakan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya. Padahal demikian nyatanya tanda-tanda penciptaan itu. Dan mereka tahu itu. Tapi mereka berpaling darinya. Ini persis yang dikatakan Allah di dalam firmanNya.
QS. Yusuf (12) : 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan.di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.
Bukan hanya pada makrokosmos, tanda-tanda kebesaran Allah itu digelar. Pada alam mikrokosmos pun para ilmuwan menemukan batas yang tak kalah 'mengerikan'. Yang di balik batas itu manusia yang menyebut dirinya pakar, juga mulai tidak faham.
Dulu manusia mengatakan bahwa benda di alam semesta ini tersusun oleh bagian terkecil yang disebut atom. Kata atom memang berarti tidak bisa dibagi lagi. Berasal dari kata atomos bahasa yunani.
Namun kemudian, manusia mulai kecele, ketika menemukan kenyataan bahwa atom ternyata masih bisa dibagi menjadi inti atom dan elektron-elektron. Inti atom bagaikan matahari dalam tatasurya kita, sedangkan elektron bagaikan planet-planetnya. Semua benda ternyata tersusun dari inti dan elektron-elektron.
Sampai di sini sebenarnya manusia mulai merasakan adanya misteri di balik inti atom. Benarkah inti atom juga tidak bisa dibagi lagi. Penemuan energi nuklir pada abad 20 membuktikan bahwa inti pun ternyata bisa dipecah lagi menjadi partikel-partikel sub atomik seperti proton dan neutron.
Lebih jauh, kemudian diketahui bahwa neutron juga bisa dibagi menjadi proton dan elektron. Dan seterusnya kemudian diketahui bahwa bahwa partikel-partikel sub atomik itu terdiri dari 'pilinan' energi yang disebut sebagai Quark.
Jadi sampai sekarang, para pakar atomik masih terbengong-bengong dengan kenyataan ini. Bahwa, ternyata benda di alam semesta ini bisa dibagi-bagi dalam ukuran yang tak terbatas kecilnya. Dan ketika dipecah-pecah lagi semakin kecil, tiba-tiba sifat bendanya hilang berubah menjadi energi.
Hal ini mulai tampak pada elektron. Elektron adalah Salah satu jenis partikel yang memiliki dua sifat yang membingungkan. Kadang tampak sebagai materi. Di waktu yang lain tampak sebagai bola energi.
Ini, tentu saja sangat membingungkan. Karena, materi dan energi adalah dua eksistensi yang berlawanan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang bisa memiliki sifat berlawananan sekaligus. Materi adalah kuantitas, sedangkan energi adalah kualitas. Saking bingungnya mengklasifikasikan elektron ini kuantitas ataukah kualitas, akhirnya para pakar menyebutnya sebagai sifat dualitas.
Jadi, dalam skala mikrokosmos pun manusia mengalami 'kebingungan' yang sangat substansial. Kemampuan mata imajiner dan Kesadaran Rasionalnya membentur dinding tebal yang tidak bisa ditembusnya.
Tiba-tiba ada suatu batas yang di balik batas itu mereka tidak paham. Dan 'terpaksa' mengakui adanya Kecerdasan yang mengatur semua partikel dan energi.
Di saat itulah sebenarnya 'Kesadaran Rasional' telah kalah dan memunculkan kesadaran baru, yaitu: 'Kesadaran Spiritual'. Seseorang menjadi paham, bahwa di balik kenyataan ini ada suatu 'Aktor' yang mengaturnya. DIA adalah dzat yang Suprarasional. DIA adalah Dzat yang hanya bisa dipahami dengan hati. Bukan sekadar rasio, tetapi dengan menggunakan akal secara sempurna
QS. An Nisaa' (4) : 5
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
QS. Qashash (28) : 14
Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Begitulah, ada akal yang belum sempurna, dan ada akal yang sudah sempurna. Akal yang belum sempurna adalah akal yang belum bisa menangkap hikmah, sebagaimana akal yang sudah sempurna. Musa memperoleh hikmah dan pengetahuan setelah akalnya sempurna di usia dewasa.
Akal yang sempurna adalah yang telah bisa merangkaikan seluruh komponen akal yang berkaitan dengan panca inderanya (Kesadaran Inderawi), berhubungan dengan khasanah keilmuan empirik
(Kesadaran Rasional), dan juga tersambung dengan hati sebagai sensor kefahaman (Kesadaran Spiritual).
Kefahaman 'Hati' lebih bersifat holistik. Di dalamnya terkandung makna-makna: mengobservasi dengan panca indera (yandzurun), berpikir secara rasional (yatafakkarun), dan memahami (yafqahun). Itulah yang disebut sebagai menggunakan akal (ya’qiluun).
Keterbatasan rasio manusia semakin kelihatan ketika mencoba mengobservasi proses-proses kehidupan. Darimanakah munculnya kehidupan? Bagaimana proses kehidupan itu terjadi? Sebelum dan sesudah kehidupan itu apa dan bagaimana? Dan seterusnya.
Sudah lama manusia ingin melihat nyawa. Seperi apa bentuknya. Darimana datangnya? Dan kemana perginya? Tapi sampai hari ini tidak pernah kesampaian. Sampai ada cerita tentang penguasa lalim yang mencoba membungkus hidup-hidup seorang manusia dengan kaca sampai mati, karena ingin melihat keluarnya nyawa dari badannya. Tapi, tidak berhasil juga melihat nyawa itu.
Di sisi lain, para filsuf dari zaman dulu sampai sekarang berusaha memahami keberadaan Jiwa dan Ruh sebagai penggerak kehidupan, juga tidak pernah memberikan hasil yang memuaskan.
Ya, telah berabad-abad lamanya manusia mencoba menguak rahasia terbesar dalam drama kehidupan. Tapi sampai sekarang, rahasia kehidupan tetap tersimpan dalam sebuah kotak gelap yang sangat misterius. Terutama bagi mereka yang ingin memahaminya dari pendekatan rasional semata.
Sebagaimana pemahaman terhadap makrokosmos dan mikrokosmos, manusia membentur dinding tebal yang misterius ketika mencoba menguak misteri kehidupan. Problem utamanya sebenarnya bukan pada 'bisa atau tidaknya' misteri itu dikuak, melainkan lebih pada 'sudah benarkah alat yang kita pakai untuk menguaknya'
Jika kita hanya menggunakan Kesadaran Rasional, maka sangat boleh jadi misteri itu tidak akan pernah terkuak sampai akhir zaman. Sebab, Kesadaran Rasional memang berfungsi hanya pada persoalan-persoalan empirik yang bisa diulang-ulang secara kasat mata. Padahal, misteri di balik kenyataan itu adalah wilayah yang tidak bisa dibuktikan secara empirik.
Bagaimana mungkin kita bisa membuktikan keberadaan batas batas alam semesta, sementara usia peradaban manusia tidak cukup untuk membuktikannya? Bukankah alam semesta ini sudah berusia miliaran tahun, sementara peradaban manusia baru puluhan ribu tahun?
Demikian pula, diameter alam semesta itu demikian besarnya, sehingga (kalau pun ada batasnya) kita tidak pernah bisa menjangkau wilayah yang berjarak miliaran tahun cahaya itu. Meskipun hanya lewat
pandangan mata. Apalagi, ingin memahami apa-apa yang ada di luar batas alam semesta itu. Ada sesuatu yang 'Maha Besar' yang menghadang 'penglihatan' kita lebih jauh yang sekadar menggunakan mata imajiner dan rasionalitas.
Juga, agaknya kita tidak akan bisa membuktikan batas-batas mikrokosmos secara mendetil karena keterbatasan kemampuan peralatan dan 'penglihatan' manusia. Semakin kecil suatu benda, semakin sulit untuk menentukan posisinya.
Ada suatu ketidakpastian yang demikian besar ketika kita ingin sekadar menentukan posisi suatu partikel, sebagaimana telah dibuktikan oleh Werner Heisenberg, lewat teori Ketidak pastiannya. Apalagi, untuk membuktikan keberadaan benda terkecil, agaknya bakal menjadi mimpi belaka.
Sebab pada skala terkecil keberadaan benda itu telah muncul kerancuan yang membingungkan antara materi dan energi. Antara kuantitas dan kualitas. Antara 'nyata' dan 'maya'. Bahkan antara 'ada' dan 'tiada'. Manusia dihadang oleh sesuatu yang 'Maha Halus' dan misterius untuk mengeksplorasi apa-apa yang ada di balik kehalusan struktur materi dan energi.
Dan akhirnya, bagaimana mungkin manusia ingin melihat sumber kehidupan, karena 'kehidupan' itu sendiri muncul bukan sebagai materi dan energi. la muncul sebagai 'Kehendak' yang bisa 'mengatur' dan 'mengarahkan' dirinya sendiri. Mengendalikan proses-proses material dan energial yang mengiringi kehidupan itu, bahkan di luar kesadaran si pelaksana kehidupan. Manusia bukanlah pemilik kehidupan, melainkan sekadar pelaksana belaka.
Orang-orang yang hanya berkutat pada pemikiran materi dan energi belaka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan. Kita tidak pernah tahu kenapa jantung kita terus berdenyut sepanjang hayat.
Kita juga tidak pernah tahu kenapa organ-organ seperti paru-paru, liver, ginjal, sumsum tulang belakang, otot, darah, sel beserta kromosom, rantai genetika, dan lain sebagainya mesti ada.
Kita juga tidak tahu kenapa kita bisa berpikir, memahami, menganalisa, dan menyimpulkan. Dan yang lebih misterius lagi kenapa kita memiliki 'kehendak' untuk hidup, untuk beraktivitas, untuk menjalani kebaikan dan keburukan. Dan seterusnya, dan seterusnya. Dari manakah munculnya kehendak itu?
Di sini, kembali kita dihadang oleh sebuah kekuatan yang "Maha Hidup' dan 'Maha Berkehendak' yang menjadi sumber dari kehidupan itu sendiri. Mata imajiner dan rasio kita lagi-lagi tidak mampu menangkap 'Sosok' di balik kehidupan itu. Kecuali kita menggunakan mata spiritual dalam memahaminya.
Mata spiritual bekerja tidak hanya berdasarkan inderawi. Juga tidak hanya bekerja berdasarkan ilmu empirik. Tapi bersandar pada kejujuran dan rendah hati, kehendak menuju pada kebenaran, serta keyakinan spiritual yang bersumber pada informasi ilahiah.
Bagaimana mungkin kita memperoleh informasi tentang kehidupan sesudah mati, jika kita tidak membacanya dari dalam Al-Qur’an? Bagaimana mungkin kita bisa memahami tentang struktur langit yang tujuh, kalau kita tidak menggalinya dari firman Allah? Bagaimana pula kita bisa memahami Jiwa dan Ruh, kalau kita tidak bersandar kepada sang Empunya Kehidupan?
Begitulah memang cara bekerjanya Kesadaran Spiritual. Bersumber dari informasi ilahiah, kemudian dipahami oleh 'akal sempurna' lewat mekanisme inderawi, ilmu empirik rasional, dan hati. Kesimpulan dari semua itu akan menghasilkan sebuah 'Kesadaran' yang demikian tajam, luas sekaligus lembut...