Friday, March 2, 2007

Tujuh Alam Hidup Berdampingan



Bagaimana memahami bahwa alam semesta ini memiliki 7 buah langit. Sejauh ini, kita selalu memahami bahwa langit ini ya hanya satu saja : yang terbentang di atas kita. Dan begitulah memang yang juga dipahami oleh ilmu Astronomi.

Dalam pemahaman Astronomi, langit adalah seluruh ruang yang terbentang di atas kita. Atau, terbentang di luar Bumi. Artinya, bukan hanya yang terbentang di atas Indonesia, melainkan juga yang terbentang di balik Bumi Indonesia, yaitu benua Amerika. Atau pun di seluruh benua-benua yang lain. Ya, langit adalah seluruh ruang angkasa semesta, yang di dalamnya ada berbagai benda langit termasuk Matahari, Bumi, planet-planet, galaksi-galaksi: supercluster, dan sebagainya. Hal ini dikemukakan oleh Allah di dalam firmanNya.

QS. Al Mulk (67): 5
"Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat (langit Dunia) dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa Neraka yang menyala-nyala."

Jadi dalam konteks informasi Al-Qur'an, langit yang berisi bintang-bintang itu memang disebut sebagai langit Dunia. Itulah langit yang kita kenal selama ini. Dan itu pula yang dipelajari oleh ilmu Astronomi selama ini, yang diduga diameternya sekitar 30 miliar tahun cahaya. Dan mengandung bertriliun-triliun benda langit dalam skala tak berhingga.

Namun demikian, ternyata Allah menyebut langit yang demikian besar dan dahsyat itu baru sebagai langit Dunia alias langit pertama. Maka dimanakah letak langit kedua sampai ke tujuh?

Ketika masih kecil dulu, saya. mendapat cerita dari guru ngaji, bahwa langit ini memang ada tujuh lapis. Lantas beliau menambahkan bahwa setiap langit memiliki tangga-tangga tempat naik. Jika kita naik lewat tangga itu maka kita akan bertemu dengan pintu-pintu langit, yang akan mengantarkan kita sampai di langit yang kedua, ketiga, dan seterusnya sampai langit yang ke tujuh.

Saya lantas membayangkan betapa langit itu bagaikan kue lapis Antara langit satu dan langit lainnya bertumpuk-tumpuk ke atas. Dan di setiap perbatasannya ada pintu-pintu, yang bisa dimasuki, plus ada penjaganya. Setelah dewasa, saya merasa lucu sendiri terhadap persepsi yang saya miliki waktu itu, karena sangat berbeda dengan kenyataan yang kita temui lewat astronomi.

Dari segi penafsiran, pemahaman itu sebenarnya memang ada dasarnya. Di antaranya adalah ayat-ayat berikut ini. Akan tetapi, agaknya pemahaman tersebut perlu didiskusikan ulang. Setidak-tidaknya ditinjau agar lebih komprehensif.

QS. Al An'aam (6): 35
"Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lubang di Bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil"

QS. At Thuur (52): 38
"Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata."

QS. Jin (72): 8
“dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah panah api”

QS. An Naba' (78): 18 - 19
"yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu,"

Kalau kita baca beberapa ayat di atas, maka kita memang menemukan informasi tentang 'tangga' menuju ke langit, 'penjagaan' yang kuat dan 'pintu pintu'. Namun, marilah kita cermati.

Informasi tentang tangga-tangga menuju langit itu sebenarnya berupa 'pertanyaan' dan 'pengandaian' : "Jika kamu dapat membuat lubang di Bumi dan tangga ke langit. . . " "Ataukah mereka mempunyai tangga ke langit... ". Jadi bukan sebagai sebuah informasi bahwa Allah menyebutkan ada tangga-tangga menuju langit.

Namun, jika pun ada yang menafsirkan itu sebagai sebuah informasi, tentu janganlah dibayangkan sebagaimana tangga yang kita kenal selama ini. Tapi fahamilah bahwa tangga adalah 'jalan' atau lintasan untuk naik ketempat yang lebih tinggi.

Bayangkanlah sebuah pesawat angkasa luar yang akan lepas landas dari Bumi menuju bulan. Maka pesawat tersebut tidak bisa 'seenaknya' melepaskan diri dari muka bumi bergerak lurus menuju Bulan. la harus melewati lintasan, berputar, sebelum lepas dari permukaan Bumi. Nah, lintasan naik ke arah bulan itu bisa diinterpretasikan sebagai 'tangga' menuju langit. Selain itu, ada tangga kenaikan yang bersifat, dimensional, yang akan saya jelaskan pada bagian berikutnya, ketika bercerita tentang perjalanan mi'raj.

Demikian pula informasi tentang 'pintu-pintu'. Janganlah kita membayangkan sebagaimana pintu gerbang atau pintu rumah. Kata 'beberapa pintu' yang digambarkan pada QS. An Naba' : 18 - 19, lebih menggambarkan adanya sebuah 'jalan tembus' antar langit, mulai dari langit pertama yang berdimensi 1 sampai langit ke tujuh yang berdimensi 9. Dan lebih khusus lagi, ayat tersebut menggambarkan dibukanya batas-batas langit pada hari Kiamat.

Jadi, secara umum, pengertian kita tentang perjalanan Rasulullah saw menuju langit yang ke tujuh itu jangan dibayangkan seperti seseorang yang naik tangga ke atas, kemudian bertemu pintu-pintu di batas langit, dan dibukakan oleh penjaganya. Saya kira sebaiknya kita memahami tentang kondisi langit yang sesungguhnya, yang terbentang dalam totalitas kehidupan kita.

Saya kira, sebagaimana telah kita bahas di depan, kita telah memahami gambaran langit pertama. Jika kita bepergian ke angkasa luar, sampai kapan pun kita tidak akan pernah menemukan batas langit. Kita tidak akan menemui ada 'langit-langit' atau atap yang membatasinya. Apalagi menemukan pintu-pintu yang ada penjaganya.

Seandainya kita diberi umur panjang oleh Allah, katakanlah 1 miliar tahun, maka usia yang demikian fantastis itu tidak cukup untuk kita gunakan mengarungi alam semesta. Dan sungguh kita tidak akan pernah menemui batas angkasa. Bahkan seandainya usia kita ditambah 1 miliar tahun lagi, dan bisa bergerak dengan kecepatan cahaya, itu juga masih tidak berarti apa-apa untuk mengarungi alam semesta. Diameter atau garis tengah alam semesta (langit pertama) ini diperkirakan sekitar 283 dikalikan 10 pangkat 21 kilometer. Alias, 283 dengan nol sebanyak 21. Dan cahaya untuk waktu 30 miliar tahun untuk mengarunginya.

Akan tetapi, penggambaran alam semesta di atas menjurus kepada bentuk bola. Padahal penggambaran sebagai sebuah bola itu sebenarnya adalah penggambaran yang tidak tepat. Karena, bentuk alam semesta ini memang tidak seperti bola. Ternyata ruang alam semesta ini melengkung. Kalau bola, ruang di dalamnya kan tidak melengkung, tapi bulat.

Ruang melengkung itu, misalnya, ruang yang terbentuk di dalam sebuah balon udara yang berbentuk donat. Jika kita bergerak ke arah lengkungan donat, maka suatu ketika kita akan sampai di tempat semula. Akan tetapi, alam semesta ini juga tidak berbentuk donat. Sebab donat hanya memiliki ruang melengkung ke satu arah saja. Yaitu, seperti sebuah terowongan yang berputar. Alam semesta ini, melengkungnya bukan satu arah, melainkan ke segala penjuru! Sulit juga ya membayangkannya.

Untuk mempermudah pemahaman kita, maka bayangkanlah sebuah balon udara. Lantas, anggaplah permukaan balon udara itu sebagai Dunia kita. Ambillah spidol, kemudian gambarlah bulatan kecil kecil di permukaan balon itu. Dan, kemudian bayangkanlah bulatan bulatan itu sebagai benda-benda langit, seperti matahari, Bumi, bulan, planet, galaksi dan lain sebagainya.

Jadi, kita sedang membuat perumpamaan: ruangan alam semesta yang berdimensi 3 ini, menjadi sebuah permukaan balon udara yang berdimensi 2. Maka, bayangkanlah, kita sebagai penghuninya bagaikan titik-titik yang hidup di permukaan salah satu bulatan kecil (Bumi) tersebut.

Alam semesta diumpamakan sebagai permukaan balon udara. Bulatan-bulatan kecil di atas permukaan balon itu diumpamakan sebagai matahari, Bumi dan benda-benda langit lainnya. Manusia berada di salah satu bulatan itu.

Nah, sekarang bayangkan, manusia (yang berupa titik) melakukan perjalanan ke angkasa, lepas dari satu bulatan menuju bulatan lain. Maka tidak bisa tidak kita bergerak di permukaan balon itu. Kemudian, kita berpindah lagi ke bulatan-bulatan yang lain, untuk menggambarkan betapa kita sedang melakukan perjalanan antar planet.

Jika perjalanan itu kita teruskan ke arah depan (tidak berbelok belok), misalnya, maka suatu ketika kita akan kembali ke bulatan semula (Bumi). Kenapa bisa begitu? Ya, karena permukaan balon tersebut berbentuk lengkung.

Maka, begitulah analogi (persamaan) bentuk alam semesta ini. Langit kita ini berbentuk lengkung, bagaikan sebuah permukaan balon. Hanya bedanya, permukaan balon adalah 'ruang' berdimensi 2 alias luasan, sedangkan langit kita yang sesungguhnya adalah ruang berdimensi 3 alias volume.

Langit berbentuk lengkung, maka ketika kita melakukan perjalanan ke angkasa luar menuju ke depan, tidak berbelok-belok, suatu ketika kita akan sampai kembali ke Bumi. Itu, kalau usia kita mencukupi. Sayangnya usia kita tidak mencukupi untuk melakukan perjalanan super hebat itu .

Hal ini mirip dengan kalau kita naik sebuah kapal laut atau pesawat terbang untuk mengelilingi Bumi. Misalnya, ambil ke arah matahari terbenam, maka setelah sekian lama kita akan kembali tempat semula.