Friday, March 2, 2007

Memahami Langit



Banyak di antara kita yang memiliki persepsi berbeda tentang langit. Ada yang berpendapat bahwa langit adalah sebuah 'atap' alias bidang pembatas ruang angkasa. Artinya, mereka mengira bahwa ruang di atas kita ada pembatasnya, semacam atap. Kelompok pertama ini, biasanya adalah mereka yang awam tentang ilmu Astronomi. Atau para orang tua yang tidak terlalu mengikuti film-film fiksi ilmiah tentang kehidupan angkasa luar yang banyak digemari anak-anak muda dan dewasa ini.

Kelompok kedua adalah mereka yang mengikuti berbagai macam informasi tentang angkasa luar dari berbagai film-film fiksi ilmiah, ataupun berbagai macam media massa. Pada umumnya mereka mengerti bahwa yang dimaksud langit adalah sebuah ruang raksasa yang berisi triliunan benda-benda langit, seperti matahari, planet-planet (termasuk Bumi), bulan, bintang, galaksi, dan lain sebagainya. Mereka memperoleh pemahaman yang lebih baik bahwa langit bukanlah sebuah bidang batas, melainkan seluruh ruang angkasa di atas kita.

Kelompok yang ketiga adalah mereka yang mempelajari informasi Astronomi lebih banyak dan lebih detil. Lebih jauh, mereka mencoba memahami berbagai hal yang berkait dengan struktur langit lewat berbagai teori-teori Astronomi. Mereka terus-menerus mengikuti berbagai informasi dan mencoba melakukan rekonstruksi terhadap struktur langit, yang secara umum dipahami sebagai alam semesta atau Universe.

Nah, dari ketiga kelompok pemahaman itu saya ingin mengambil kesimpulan yang bersifat global saja, sebagai pijakan awal pemahaman kiia tentang langit. Bahwa yang disebut langit sebenarnya bukanlah sebuah bidang batas di angkasa sana, melainkan sebuah ruang tak berhingga besar yang memuat triliunan benda-benda angkasa. Mulai dari batuan angkasa yang berukuran kecil, satelit semacam bulan, planet-planet, matahari dan bintang, galaksi hingga superkluster.

Karena itu, jika kita bergerak ke langit naik pesawat angkasa luar, misalnya, maka kita akan bergerak menuju ruang angkasa yang tidak pernah ada batasnya. Sehari, seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya kita bergerak ke angkasa, maka yang kita temui hanya ruang angkasa gelap yang berisi berbagai benda langit saja. Sampai mati pun, kita tidak akan pernah menemukan pembatasnya. Ya, langit adalah ruang angkasa yang luar biasa besarnya. Bahkan, tidak diketahui dimana tepinya.

Nah, pemahaman tentang langit ini penting untuk menyamakan persepsi kita tentang perjalanan Mi'raj Rasulullah saw. Sebab, dalam pemahaman tradisional selama ini, kita memperoleh kesan betapa langit itu digambarkan sebagai atap alias 'langit-langit'. Bahkan digambarkan pula sebagai atap yang ada pintu-pintunya, yang kemudian mesti dibuka sebagaimana pintu rumah, ketika Rasulullah saw mau memasuki langit yang lebih tinggi.

Istilah langit dalam bahasa Inggris, barangkali memberikan gambaran yang lebih jelas: Sky. Dalam bahasa Indonesia lebih pas disebut sebagai 'Angkasa'. Istilah lainnya adalah space. Sehingga, angkasa di luar Bumi disebut sebagai Outer Space. Jadi langit adalah Ruang Angkasa.

Pemahaman tentang langit adalah pemahaman yang cukup rumit. Apalagi jika dikaitkan dengan struktur langit yang tujuh. Untuk langit pertama saja, tidaklah mudah. Bahkan sampai sekarang ilmu Astronomi masih menemui berbagai kendala yang agak rumit dalam mempersepsi struktur alam tersebut. Akan tetapi, Insya Allah semuanya berangsur-angsur bisa dijelaskan.

Di dalam Al-Qur'an, Allah secara jelas dan berulangkali menginformasikan bahwa langit yang Dia ciptakan itu memang bukan hanya satu, melainkan 7 lapis, sebagaimana diinformasikan dalam ayat berikut ini.

QS. At Thalaq (65): 12
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula Bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu Nya benar-benar meliputi segala sesuatu."

QS. Al Mulk (67): 3
"Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?"

Dan masih ada beberapa ayat lagi yang bercerita tentang langit yang tujuh. Cuma, kita mesti mencermati penggunaan kata langit (assamaa' dan assamaawaat - tunggal dan jamak). Kata-kata ini ternyata digunakan oleh Allah untuk menggambarkan ruang di atas Bumi, baik yang berarti atmosfer, maupun yang berarti angkasa luar.

Penggunaan kata langit yang bermaksud untuk angkasa luar, misalnya adalah yang terdapat dalam ayat-ayat di atas. Dan juga ayat berikut ini.

QS Fushilat (41): 12
"Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui."

Di ayat tersebut tergambar jelas sekali bahwa Allah menggunakan kata as samaawaat untuk menggambarkan angkasa luar. Kenapa ada kesimpulan begitu? Karena Dia menggambarkan bahwa langit yang dekat dihiasi dengan bintang-bintang. Dan kita tahu semua bahwa bintang-bintang itu bukan terdapat di atmosfer, melainkan di ruang angkasa.

Maka, ketika Allah bercerita tentang langit yang tujuh di ayat tersebut, langit yang dimaksudkan adalah langit alam semesta yang jumlahnya 7 tingkat.

Akan tetapi, di ayat-ayat yang lain Allah menggunakan kata-kata assamaa' dan assamawaat untuk menggambarkan atmosfer Bumi. Hal itu, misalnya, terdapat pada ayat-ayat berikut ini.

QS. Al Baqarah (2): 29
"Dia lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."

Di situ digambarkan betapa Allah menciptakan segala, sesuatu di Bumi untuk manusia. Kemudian Dia memproses langit yang tujuh. Di ayat ini Allah menggunakan kata 'langit', untuk atmosfer. Kenapa demikian, karena langit tersebut ternyata diproses setelah Bumi terbentuk.

Jika yang dimaksudkan adalah langit alam semesta, hal itu menjadi tidak cocok. Karena sesungguhnya proses terbentuknya langit semesta lebih dulu dibandingkan dengan Bumi. Planet Bumi adalah bagian dari langit semesta, disamping miliaran matahari dan triliunan planet yang ada.

Ayat lain yang menunjukkan 'langit' sebagai atmosfer terdapat pada ayat-ayat berikut ini.

QS. Ruum (30): 48
"Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan ke luar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba Nya yang dikehendaki Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira."

Karena 'langit' di sini dikaitkan dengan hujan, kita lantas bisa mendapatkan gambaran bahwa yang dimaksudkan adalah atmosfer. Maka, ketika Allah menyebutkan bahwa langit tersebut ada tujuh, orientasi pemahaman kita menuju kepada lapisan-lapisan atmosfer yang memang ada tujuh lapis, yaitu: Troposfer, stratosfer, ozonosfer, mesosfer, ionosfer, eksosfer, dan magnetosfer.

Pemakaian kata 'langit' untuk dua hal yang berbeda ini seringkali membingungkan mereka yang kurang akrab dengan masalah astronomi. Mereka rancu menyamakan antara atmosfer dengan langit ruang angkasa.

Hal itu, misalnya, terlihat dari pemahaman mereka terhadap ayat ayat berikut ini.

QS. Al Baqarah (2): 22
Dialah Yang menjadikan Bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui."

QS. Al anbiyaa (21): 32
"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya."

Ayat-ayat di atas menceritakan bahwa langit berfungsi sebagai atap. Hal ini memang cocok dengan fungsi atmosfer sebagai pelindung Bumi. Keberadaan atmosfer telah melindungi Bumi dari 'serangan' batu
batu langit yang setiap hari berjatuhan ke arah Bumi. Batu-batu yang masuk ke atmosfer Bumi telah dihadang olehnya, untuk kemudian dibakar oleh gesekan udara yang memiliki kecepatan putar lebih dari 1600 km per jam. Jadi dalam hal ini, atmosfer telah berfungsi sebagai atap yang melindungi Bumi.

Persoalannya menjadi lain ketika kita berbicara tentang langit yang bukan atmosfer. Karena langit angkasa luar tersebut berupa ruang yang sangat besar, berisi triliunan benda langit. Bukan berupa lapisan-lapisan udara seperti yang terdapat dalam atmosfer kita.

Maka, ketika Allah menyebutnya sebagai berlapis tujuh, cara pemahamannya berbeda dengan memahami atmosfer Bumi. Disinilah banyak yang terjebak pada pemahaman yang rancu antara keduanya.

Kerancuan itu, misalnya, terlihat dari pemahaman langit sebagai atap. Banyak beredar pemahaman di kalangan umat Islam, katanya, langit alam semesta ini berbentuk atap, sebagaimana dijelaskan pada ayat-ayat di atas. Padahal penjelasan itu terkait ke langit atmosfer. Bukan langit semesta.
Sehingga, tafsir yang muncul terhadap langit berlapis tujuh itu menjadi begitu sederhana dan naif. Bahwa, langit alam semesta dipersepsi bertumpuk-tumpuk seperti kue lapis. Lapis pertama adalah langit pertama, lapis kedua adalah langit kedua dan seterusnya sampai langit yang ke tujuh.

Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan bisa menjadi bahan olok-olok yang tidak mengenakkan hati dari orang-orang yang tidak suka kepada Islam. Tentu, kita harus memberikan penafsiran yang lebih proporsional, sesuai kenyataan ilmiah.