Friday, March 2, 2007

PROSESI SHALAT DALAM ISRA'MI'RAJ

Meskipun, perintah shalat tidak diinformasikan secara eksplisit dalam firman-firman Allah yang terkait dengan peristiwa tersebut, tetapi perjalanan Isra' Mi'raj itu sendiri memberikan pelajaran tentang cara mencapai shalat yang khusyu'.

Dengan kata lain, jika anda ingin shalat yang khusyu' tirulah proses yang terjadi pada Rasulullah saw saat mengalami Isra' Mi'raj. Apa sajakah yang terjadi pada Rasulullah saw yang terkait dengan kekhusyu'an shalat? Di antaranya adalah beberapa hal berikut ini.

1. Dicabutnya 3 Ta

Sebagaimana kita ketahui bahwa menjelang peristiwa yang sangat fenomenal itu Rasulullah saw mengalami tahun yang sangat memprihatinkan. Dalam tahun-tahun itu Rasulullah saw mendapatkan tekanan batin yang sangat berat.

Yang pertama, umat Islam pada waktu itu mendapatkan tekanan dari kaum Quraisy secara ekonomi. Perdagangan dipersulit, hubungan dan komunikasi dengan pihak-pihak lain sangat dibatasi, bahkan untuk mencari kebutuhan sehari-hari pun mereka sangat kesulitan. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah saw tentu sangatlah prihatin. Itulah masa-masa terberat dalam perjuangan beliau menegakkan ajaran Islam yang dibawanya.

Yang kedua, beliau ditinggal wafat istri yang sangat dicintainya. Siti Khadijah adalah istri yang setia mendampingi suami dalam kondisi suka maupun duka. Bahkan sejak beliau belum menjadi Rasul sampai beliau diberi tugas untuk menyampaikan risalah dan mengalami tekanan-tekanan yang semakin besar dari kaumnya. Siti Khadijah selalu memberikan dukungan, baik yang bersifat material maupun moral.

Dan yang ketiga, keprihatinan Nabi semakin besar tatkala Allah juga memanggil wafat paman beliau, Abu Thalib. Dialah paman Nabi yang selalu membela keselamatan Nabi terhadap tekanan dan serangan serangan kaum Ouraisy Beliau adalah benteng yang selalu siap mengamankan Nabi dalam situasi apa pun. Maka, kaum Quraisy merasa segan karenanya. Nah, orang yang demikian dekat dengan beliau itu pun meninggal.

Bahkan yang sangat memprihatinkan Rasulullah saw, Abu Thalib meninggal tidak dalam keadaan muslim. Beliau meninggal dalam keadaan 'diperebutkan' antara kaum Quraisy yang menjadi teman-teman Abu Thalib dalam kemusyrikan dengan Nabi yang ingin mengislamkan beliau.

Maka, ketika pamannya belum sempat membaca syahadat sampai di akhir sakaratul mautnya, dan malaikat lzrail lebih dulu mencabut jiwanya, menangislah Nabi dalam kesedihan. Beliau sangat terpukul, karena orang yang sangat dekat dan menjadi pembela beliau temyata tidak mati dalam keadaan muslim.

Sungguh bertumpuk tumpuk kesedihan Rasulullah saw. Tekanan kehidupan ekonomi sedemikian beratnya, ditambah kematian istri dan pamannya yang sangat dicintainya, membuat Nabi sering termenung mengevaluasi perjalanan hidup dan perjuangannya menegakkan agama Allah.

Pada saat seperti itulah Allah mengutus malaikat Jibril untuk menemui Rasulullah saw dan mengajaknya melakukan perjalanan Isra' Mi'raj yang sangat bersejarah itu. Nah, tiga hal itulah yang ingin saya sampaikan kepada pembaca, bahwa di dalamnya terkandung pelajaran yang sangat berharga.

Secara menyeluruh ketiga peristiwa itu menggambarkan dicabutNya 3 Ta dari kehidupan Rasulullah saw, menjelang keberangakatan lsra'Mi'raj. Yaitu, harTa, tahTa dan waniTa. Tekanan ekonomi yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap umat Islam mengambarkan tentang hilangnya pegangan terhadap harta benda Duniawi. Meninggalnya paman Nabi, Abu Thalib menggambarkan hilangnya perlindungan dan rasa aman secara manusiawi. Dalam hal ini adalah dicabutnya kekuasaan yang melingkari Rasulullah saw. Sedangkan meninggalnya Siti Khadijah sang istri tercinta, adalah sebuah gambaran tentang dicabutnya peranan seorang wanita dalam kehidupan beliau.
Kenapakah Allah mencabut ketiga hal itu dari Rasulullah saw? Ini berkait dengan kekhusyukan yang akan diajarkan Allah kepada Rasulullah saw dalam perjalanan beliau, menghadap Sang Maha Agung.

Dengan dicabutnya ketiga hal itu, seakan-akan Allah ingin mengajarkan, jika kita ingin menghadap kepada Allah dengan khusyuk, maka singkirkanlah jauh-jauh ketiga hal itu dari benak dan kehidupan kita. Setidak-tidaknya untuk sesaat.

Dengan kondisi seperti itu, Rasulullah saw seperti tidak memiliki apa-apa lagi dalam kehidupannya kecuali Allah Sang Maha Pengasih. Tidak ada lagi kebergantungan kepada harta benda. Tidak ada lagi rasa aman yang digantungkan kepada manusia. Dan tidak ada lagi rasa kecintaan yang bersifat duniawi, meskipun kepada orang-orang yang sangat dicintai.

Yang ada di hadapan beliau hanya Allah Azza Wajalla. DIAlah yang memiliki segala kesenangan harta Duniawi. DIA juga yang memiliki Kekuasaan dan Keperkasaan, serta bisa memberikan rasa aman. Dan DlA juga yang memberikan rasa kedamaian dalam Kasih Sayang yang sejati dan abadi. Maka cukuplah Allah sebagai Tuhan yang memberikan segala-galanya. Sungguh, Rasulullah saw mencapai tingkatan kepasrahan yang luar biasa pada waktu itu.

Nah, dalam kondisi demikian, Rasulullah saw diajak Jibril untuk menghadap kepada Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Tentu kita bisa membayangkan betapa khusyuknya beliau saat itu. Inilah pelajaran yang bisa kita ambil dari persiapan Rasulullah saw ketika akan menghadap kepada Allah.

Kondisi kejiwaan seperti inilah yang mesti kita tiru ketika mau menjalankan shalat. Jika mau khusyuk, kita harus bisa menghilangkan 3 Ta dari benak kita menjelang ibadah shalat kita. Buanglah jauh-jauh beban beban pikiran yang berkaitan dengan pekerjaan dan mencari nafkah.

Toh, itu hanya dihilangkan untuk sementara waktu. Paling-paling hanya untuk sekitar 15 menit saja. Janganlah shalat kita yang hanya beberapa menit itu masih juga diganggu oleh pikiran-pikiran yang berkait dengan pekerjaan, sehingga tidak khusyuk.

Yang kedua, jauhkanlah juga pikiran-pikiran yang berkait dengan kekuasaan dan jabatan. Apa yang kita peroleh dalam jabatan itu semata mata hanya milik Allah. Jabatan itu suatu ketika pasti akan lepas dari genggaman kita. Sehingga sungguh tidak pantas bagi kita untuk membangga-banggakan jabatan itu. Apalagi menyombongkannya di hadapan Allah. Kesombongan itulah gangguan utama dalam kekhusyukan shalat kita. Kesombongan ini menyebabkan kita 'besar' di hadapan Allah. Padahal pada hakikatnya kita 'sangatlah kecil' di hadapanNya.

Yang ketiga, buanglah jauh-jauh rasa kecintaan kepada Dunia. Gantilah dengan memupuk rasa kecintaan kita kepada Allah saja. Kecintaan yang diwujudkan dengan rasa keikhlasan dan ketaatan hanya kepadaNya. Itulah yang disebut sebagai berserah diri hanya kepada Allah. Dengan bahasa yang berbeda, seluruh niatan ibadah kita adalah lillaahi Ta'ala. Maka, ketika kita memulai shalat dengan sikap hati yang demikian, Insya Allah pintu kekhusyukan sedang menanti di depan kita.

Kekhusyukan adalah suatu kondisi kejiwaan dimana kita hanya ingat kepada Allah saja. Karena shalat kita itu memang memiliki 2 tujuan utama, yaitu mengingat Allah dan berdo'a, memohon pertolongan atas segala permasalahan yang sedang kita hadapi. Hal tersebut difirmankan Allah dalam ayat berikut ini.

QS. Thahaa (20):14
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. "

QS. Al Baqarah (2): 45
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu"

Demikian pulalah kondisi kejiwaan Rasulullah saw saat melakukan Isra' Mi'raj. Seluruh jiwa raganya hanya tertumpah kepada Eksistensi dan Kebesaran Allah semata. Beliau berdzikir kepadaNya dan memohon pertolongan atas segala permasalahan dalam perjuangan yang sedang beliau hadapi. Tak ada lagi dzat yang bisa menolong beliau dari berbagai kesulitan, dan mampu menentramkan hati beliau, kecuali Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

2. Bersuci dengan Air Zam-Zam

Proses sebelum perjalanan lsra' Mi'raj itu mengajarkan kepada kita tentang kondisi kejiwaan yang seharusnya kita miliki sebelum shalat. Nah, dalam kondisi semacam itulah Rasulullah saw diajak Jibril menuju sumur Zam-zam dengan maksud mensucikan diri dan memantapkan persiapan hati untuk menghadap Allah.

Yang 'dibasuh' pada saat itu adalah 'hati' Nabi. Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa untuk bisa khusyuk saat menghadap Allah kita harus mensucikan hati kita dengan menggunakan air yang suci.

Peristiwa itu agaknya adalah pelajaran berwudlu untuk kita yang mau mengerjakan shalat. Di sanalah kita memantapkan niat dan menyengaja perbuatan kita hanya untuk Allah semata...

"Innamal a’malu biniyat (sesungguhnya amalmu tergantung pada niatmu"). Demikian sabda Rasulullah saw.

Kunci keberhasilan dan kesempurnaan kualitas shalat kita sebenarnya terletak di hati. Hati yang tidak 'siap', bakal menghasilkan shalat yang tidak khusyuk. Sedangkan hati yang siap, Insya Allah berpotensi untvk mengantarkan kita pada shalat yang khusyuk.
(Kaitan wudlu dengan kekhusyukan shalat ini akan kita bahas di bagian berikutnya)

3. Ambil Jarak dari Keseharian

Setelah 'membasuh' hati untuk mempersiapkan diri menghadap Allah, maka langkah berikutnya kita harus mencari tempat untuk membentuk kekhusyukan shalat kita.

Janganlah shalat di sembarang tempat, karena tempat yang tidak tepat bisa mengganggu kekhusyukan ibadah kita. Ambil contoh, shalat di tempat keramaian. Tentu, kita tidak bisa khusyuk. Segala keramaian itu akan mengganggu konsentrasi. Baik yang terlihat oleh mata, maupun suara-suara yang terdengar telinga.

Dalam kondisi demikian kita lantas mengeluarkan energi ekstra hanya sekedar untuk 'melawan' keramaian di sekitar kita. Bukan kekhusyukan, tetapi malah menjurus pada 'kejengkelan'. Hal ini, terutama terjadi pada orang-orang yang kefahaman tauhidnya belum cukup mendalam. Mereka yang belum dapat 'merasakan' kehadiran Allah dimana pun ia berada. Sedangkan bagi orang-orang yang sudah sangat mendalami kehadiran Allah dalam kesehariannya, ia tetap bisa bekonsentrasi dengan baik. (Pembahasan lebih mendalam tentang hal ini akan saya uraikan secara terpisah)

Maka, idealnya, shalat harus mencari tempat yang sesuai untuk menjalankan ibadah tersebut. Baik yang terkait dengan kebersihan dan kesuciannya, maupun hal-hal kondusif lainnya, agar tidak mengganggu kekhusyukan shalat.

Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw dengan Isra' Mi'rajnya. Setelah 'berwudlu' dengan air Zam-zam, maka beliau mengambil jarak dari keseharian beliau. Bersama Jibril Rasulullah saw menuju ke Palestina, dan beliau shalat di masjid al Aqsha dalam proses Mi'raj di sana.

Selain mengambil jarak dari kesehariannya, beliau juga memilih masjid sebagai tempat shalatnya. Kenapa masjid? Karena masjid adalah tempat yang menyimpan energi ibadah sangat besar, dan bisa membantu tingkat kekhusyukan kita. Masjid al Aqsha adalah masjid yang dibangun pertamakalinya oleh Nabi Ibrahim, dan kemudian dilanjutkan penggunaannya oleh para Nabi sesudahnya termasuk Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman. Sebagaimana masjid al Haram, masjid al Aqsha telah menjadi pusat pengembangan agama Islam pada jaman sebelum Rasulullah saw.

QS. Al Baqarah (2): 125
"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang I’ikaaf, yang ruku' dan yang sujud".

Sebenarnya, bukan hanya tempat yang memberikan dukungan pada kekhusyukan. Melainkan juga waktu. Karena itu, dalam perjalanan tersebut Rasulullah saw melakukannya pada malam hari. Yaitu sekitar sepertiga malam terakhir. Inilah waktu-waktu yang diajarkan oleh Allah agar kita bisa melakukan shalat dengan khusyuk. Pilihan tempat dan waktu yang tepat sungguh akan memberikan ketenangan yang sangat membantu kekhusyukan shalat kita.

QS. Al Muzammil (73): 6
"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan."

4. Bergerak Lintas Dimensi dalam Shalat

Shalat bagaikan sebuah perjalanan melintasi dimensi-dimensi langit. Sejak awal kita melakukan takbiratul ihram di langit pertama, dan kemudian secara berturut-turut kita melakukan prosesi shalat sampai mencapai tasyahud di langit ke tujuh. Dan, kemudian mengucapkan salam untuk kembali ke langit Dunia.

Bagaimanakah gambaran perjalanan lintas dimensi itu dialami oleh Rasulullah saw? Secara fisik telah saya uraikan, di bagian depan, ketika Rasulullah saw dibawa oleh Jibril melintasi dimensi 3 di langit pertama sampai dimensi 9 di langit ke tujuh. Akan tetapi sambil melakukan perjalanan fisik, Rasulullah saw juga mengalami perjalanan kejiwaan ketika melintasi dimensi langit yang semakin tinggi.

Dalam peristiwa Mi'raj itu diceritakan, bahwa Rasulullah saw dipertemukan dengan arwah para Nabi, yaitu Nabi Adam di perbatasan langit pertama dan kedua, Nabi Isa di perbatasan langit kedua dan ke tiga, Nabi Yusuf di perbatasan langit ke tiga dan ke empat, Nabi Nuh di perbatasan langit ke empat dan ke lima, Nabi Harun dan Nabi Musa di perbatasan langit ke lima dan ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit yang ke tujuh.

Pertemuan Rasulullah saw dengan para Nabi itu memberikan gambaran kepada kita tentang karakter dimensi-dimensi langit yang semakin tinggi. Dan hal itu juga menggambarkan meningkatnya kekhusyukan shalat kita. Dari dimensi yang bersifat Duniawi meningkat sampai ke dimensi yang semakin Ukhrawi.

Hal itu kita lakukan sejak 'berangkat' shalat, kemudian dimantapkan pada saat wudlu, dan akhirnya kita 'perjuangkan' selama proses shalat, sejak takbiratul ihram sampai mengucapkan salam.

Seluruh aktifitas shalat kita memiliki makna dan tujuan untuk menggiring kita menuju pada kekhusyukan. Tentu saja kalau kita paham maksud gerakan dan bacaannya. Kalau tidak shalat kita tak lebih hanya sekedar 'komat-kamit' dan ‘jengkulat-jengkulit’ saja. Maka, kita harus terus berupaya menggali makna yang tersimpan di dalam ibadah shalat itu.

5. Terpesona Di Sidratul Muntaha

Jika kita berhasil mempertahankan suasana khusyuk menyelimuti shalat kita, maka suatu ketika di puncak kekhusyukan itu, kita akan merasakan suatu kondisi yang sangat misterius, yang saya menyebutnya sebagai 'terpesona'.

Suasana hati, yang kita capai pada waktu itu sangat sulit untuk digambarkan dengan kalimat. Akan tetapi, kira-kira merupakan perpaduan antara rasa tentram, rasa damai, ikhlas, sabar, cinta, indah, puas, dan kagum, tapi sekaligus ada rasa misterius dan ingin tahu lebih jauh. Saya menyebutnya sebagai rasa 'terpesona'.

Terpesona adalah suatu kondisi kejiwaan dimana kita sangat kagum kepada sesuatu akan tetapi tidak bisa menjelaskan 'kenapa' dan 'bagaimana'. Tiba-tiba saja perasaan itu muncul 'menyergap' kita ketika berhadapan dengan sesuatu yang 'kehebatannya' di luar perkiraan kita selama ini.

Tentu saja rasa kagum tidak bisa muncul begitu saja. Kekaguman akan muncul disebabkan oleh adanya interaksi antara kita dengan sesuatu yang sangat hebat. Dalam hal shalat, rasa terpesona itu baru bisa muncul ketika kita melakukan interaksi dengan Allah.
Ya, bagaimana mungkin bisa terpesona jika kita tidak melakukan interaksi dengan Allah dalam shalat kita. Misalnya orang-orang yang shalatnya tidak paham tentang apa yang dia lakukan. Karena, interaksi baru bisa terjadi jika kita paham apa yang kita ucapkan. Itulah yang dianjurkan Allah kepada kita. Hal ini akan kita perdalam di bagian-bagian berikutnya

Rasa itulah yang muncul pada Nabi Muhammad ketika beliau berada di puncak kekhusyukannya di langit yang ke tujuh. Di Sidratul Muntaha. Beliau betul-betul tidak menyangka, bahwa tanda-tanda Kebesaran dan Keagungan Allah akan ditampakkan kepada beliau dalam 'bentuk' sedemikian rupa. Yang ada, pada waktu itu, hanyalah rasa terkagum-kagum atas 'kedahsyatan' alam semesta yang beliau lihat. Namun, sebenarnya terselip rasa ingin tahu lebih banyak lagi di hati beliau tentang segala sesuatu yang berada di balik Sidratul Muntaha. Akan tetapi mata batin beliau tidak mampu menembusnya. Ya itulah batas pengetahuan tertinggi dari makhluk manusia untuk mengetahui rahasia ilmu Allah.

Akan tetapi, apa yang beliau lihat itu adalah pengetahuan tertinggi yang dimiliki manusia. Barangkali hanya Nabi Ibrahim yang diberi kesempatan semacam itu oleh Allah. Karena itu, Nabi Ibrahim digambarkan berada di langit ke tujuh ketika Rasulullah saw mengalami Mi'raj tersebut. Di dalam sebuah firmanNya Allah mengatakan bahwa apa yang dilihat oleh Rasulullah saw itu bukan kejadian 'bohongan' atau sekedar mimpi. Namun sebuah kejadian yang sesungguhnya.

QS. An Najm (53): 11
"Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya."

QS. Al Israa' (17): 60
Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan, Kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami perlihatkan, kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Quran. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.