Friday, March 2, 2007

Menembus Langit



Seperti telah saya katakan di bagian depan bahwa perjalanan Rasulullah saw ke langit ke tujuh itu bukanlah perjalanan menempuh jarak berjuta atau bermiliar kilometer. Juga bukan sebuah 'pengembaraan' angkasa luar, menjelajah ruang bertabur bintang. Melainkan, sebuah perjalanan lintas dimensi menembus batas-batas langit, dari langit pertama sampai langit ke tujuh. Dan kemudian berakhir di Sidratul Muntaha. (Meskipun, nanti akan kita bahas, bahwa Rasulullah saw tetap bisa 'memandang' seluruh alam semesta yang bertaburan bintang itu dari 'sudut pandang' yang berbeda.)

Kenapa saya berkesimpulan bahwa itu bukan perjalanan luar angkasa? Sebab ada bagian-bagian mustahil yang sulit dijelaskan secara logis, baik dari sisi sunatullah maupun science. Salah satunya, adalah yang terkait dengan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak Bumi menuju langit ke tujuh tersebut.

Maksud saya begini. Kita sudah mengetahui bahwa langit adalah ruang tak berhingga yang memuat triliunan benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang, galaksi, dan lain-lain, termasuk Bumi. Dan kita juga tahu bahwa ruang langit terhampar dalam jarak yang luar biasa jauhnya. Diperkirakan diameter alam semesta ini sekitar 30 miliar tahun cahaya. Artinya, cahaya saja membutuhkan waktu 30 miliar tahun untuk menempuh jarak tersebut. Dan itu pun, menurut Al Qur'an baru langit yang pertama.

Maka, logikanya, Rasulullah saw tidak mungkin bisa menempuh jarak yang demikian jauh itu hanya dalam waktu semalam atau bahkan setengah malam. Cahaya saja, yang memiliki kecepatan tertinggi di alam semesta, membutuhkan waktu 30 miliar tahun. Apalagi manusia. Bahkan, meskipun badan Rasulullah saw telah diubah menjadi cahaya oleh malaikat Jibril, tetap tidak bisa dijelaskan bagaimana cara beliau menempuh jarak tersebut. Sekali lagi, cahaya membutuhkan waktu bermiliar-miliar tahun. Sedang Nabi hanya punya waktu setengah malam saja!

Karena itu, saya mencoba memahami dari sudut pandang yang berbeda. Bahwa Nabi tidak mengarungi angkasa raya tersebut, melainkan bergerak lintas dimensi. Apakah maksudnya?

Kita sudah membicarakan tentang dimensi langit yang berbeda-beda pada setiap tingkat. Yang paling rendah adalah langit pertama yang berdimensi 3 dan yang paling tinggi adalah langit ke tujuh berdimensi 9.

Maka, perjalanan Rasulullah saw pada saat mi'raj itu adalah sebuah perjalanan berpindah dimensi. Beliau bergerak dari dimensi 3 di langit pertama, menuju ke dimensi 4 di langit kedua, naik lagi ke dimensi 5 di langit ke tiga, diteruskan ke dimensi 6 di langit ke empat, berlanjut ke dimensi 7 di langit ke lima, menembus dimensi 8 di langit ke enam, dan akhirnya berhenti di ruang berdimensi 9 di langit ke tujuh.

Waktu itu Rasulullah saw sampai di suatu tempat ‘tertinggi’ di alam semesta yang disebut sebagai Sidratul Muntaha. Itulah puncak perjalanan beliau menembus dimensi langit.

Bagaimana menggambarkan perjalanan dimensional secara sederhana? Analogi 'makhluk bayang-bayang' mungkin bisa membantu kefahaman kita.

Anggaplah anda sedang berada di dalam ruangan yang cukup luas, yang memiliki batas tembok di sebelah kanan, kiri, muka, belakang, atas dan bawah. Selain anda, di ruangan itu hadir juga sebuah makhluk 'bayang-bayang'. Tentu saja, makhluk bayang-bayang itu tidak berada di dalam ruangan, melainkan berada di permukaan salah satu tembok. Katakanlah, di permukaan tembok di depan anda.

Nah, seperti telah saya jelaskan di depan bahwa Dunia manusia dan Dunia bayangan adalah Dunia yang berbeda dimensi, tetapi berdekatan. Dunia bayangan memiliki dimensi 2, sedangkan Dunia manusia memiliki dimensi 3.

Artinya, meskipun berdekatan, Anda dan bayang-bayang itu tidak hidup di dalam Dunia yang sama. Anda leluasa bergerak di dalam ruang: maju ke depan, mundur, ke kanan, ke kiri, ke atas dan ke bawah. Sedangkan 'bayangan' di depan anda tersebut hanya bisa bergerak di permukaan tembok saja. Ke kiri, ke kanan, ke atas dan ke bawah. Dia tidak bisa bergerak ke depan (ke arah anda) sehingga terlepas dari tembok. Ataupun, ke arah belakangnya, karena memang dia tidak punya ruang lagi di belakangnya. Jadi, tidak mungkin sosok bayangan bergerak 'lepas' dari permukaan tembok, yang menjadi Dunianya.

Keadaan yang saya ceritakan itu bisa digunakan untuk menggambarkan situasi Rasulullah saw, yang badannya 'terikat' di langit pertama. Dan kemudian beliau akan melakukan perjalanan menuju langit kedua, langit ketiga dan seterusnya sampai ke langit yang ke tujuh, yang meningkat dimensinya.

Ini sama dengan sebuah perjalanan makhluk bayang-bayang yang ingin 'lepas' dari permukaan tembok menuju ke dalam ruang yang dihuni oleh manusia. Ibaratnya, jika Dunia bayang-bayang adalah langit pertama, maka Dunia manusia adalah langit ke dua. Ibaratnya juga, makhluk yang hidup di permukaan tembok itu adalah manusia, maka makhluk yang hidup di dalam ruang adalah jin. Jadi, sebenarnya Rasulullah saw bergerak melintasi Dunia jin yang berdimensi 4, pada saat mi'raj.

Dalam kondisi biasa, tidak mungkin sebuah bayangan bisa lepas dari permukaan tembok. Lantas, bagaimana caranya agar bayangan bisa lepas dari permukaan tembok? Caranya : ‘bayangan’ tersebut harus dibantu oleh makhluk yang hidup di Dunia ruang (dimensi yang lebih tinggi).

Begini, seandainya anda yang yang berada di dalam ruang itu, maka tempelkanlah punggung anda ke tembok tempat bayangan berada. Dan kemudian katakan kepada bayang itu :"hei bayangan, menempellah ke punggungku". Maka, ketika bayangan itu sudah menempel ke punggung, anda lantas bergerak melepaskan diri dari permukaan tembok dan menuju ke tengah ruangan.

Pada saat itu, bayangan sudah terlepas dari permukaan tembok dan beralih ke punggung anda. Maka, bayangan itu telah bersama-sama anda berada di tengah ruangan. Sang bayangan telah terlepas dari Dunianya, dan kini sedang berada di Dunia berdimensi lebih tinggi.

Seandainya bayangan itu adalah manusia, maka pada saat itu sang manusia telah terlepas dari Dunianya di langit pertama. Ia telah berada di langit kedua, yaitu di dalam Dunia Jin.

Begitulah kira-kira, proses terlepasnya badan Rasulullah saw dari langit pertama menuju langit kedua. Beliau bisa melakukan perjalanan lintas dimensi itu, karena dibantu Jibril yang memang ditugasi oleh Allah mendampingi Rasulullah saw menuju langit ke tujuh.

Kondisi ini sekali lagi menguatkan informasi sebelumnya bahwa perjalanan itu memang bukan atas kemauan dan kemampuan Rasulullah saw sendiri, melainkan atas kehendak Allah semata. Beliau memang sengaja diperjalankan, sejak dari Mekkah Palestina dan kemudian menuju Sidratul Muntaha.

Ada 2 hal yang ingin saya jelaskan mengiringi perpindahan badan Rasulullah saw dari langit pertama ke langit ke dua ini. Yang Pertama, jarak antara langit pertama dan langit kedua. Dan yang berikutnya, adalah keluasan sudut pandang antara langit pertama dan langit kedua.


1. Jarak antar Langit.

Saya perlu menegaskan hal ini, karena di sini ada pemahaman yang radikal berbeda antara kefahaman kita selama ini dengan kefahaman yang saya jelaskan lewat teori dimensi.

Selama ini, kita berpendapat bahwa perjalanan Rasulullah saw menuju langit ke tujuh adalah perjalanan menempuh jarak yang sangat jauh. Sehingga, konsekuensinya membutuhkan waktu yang sangat lama. Bahkan tidak mungkin.

Dengan teori dimensi ini, Rasulullah saw tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk sampai di langit ke dua. 'Bergeser' 1 cm saja pun, Rasulullah saw sudah bisa bergerak menembus batas langit tersebut. Karena memang, langit kedua itu tidak berada jauh dari langit pertama. Keduanya terletak secara berdampingan.

Persis seperti antara 'permukaan tembok' dengan 'ruang' di dekatnya. Berapa jauhkah jarak antara sebuah permukaan tembok dengan ruang yang ada di sebelahnya? Hampir tidak ada jaraknya. Begitu sebuah 'bayangan' bisa terlepas dari permukaan tembok maka ia sesungguhnya telah masuk ke dalam ruangan. Ia telah berpindah dari langit pertama ke langit ke dua.

Demikian pula Rasulullah saw. Ketika itu beliau memulai perjalanan Mi'raj dari masjid al Aqsha. Maka, ketika beliau bersama Jibril terlepas dari 'pijakannya' di langit pertama itu, mereka sesungguhnya telah 'terlepas' dari langit Dunia. Dan seketika itu pula telah berada di langit ke dua.

Jadi, langit kedua itu tidak jauh-jauh dari Rasulullah saw. Bahkan sebenarnya tidak berjarak sama sekali. Cuma berbeda dimensi. Maka, ketika itu sebenarnya Rasulullah saw tidak berada jauh dari masjid al Aqsha, Palestina. Mereka masih di sekitar-sekitar situ juga. Tetapi badan kasarnya telah 'hilang' dari langit pertama, berpindah ke langit kedua.

Sehingga, kalau seandainya waktu itu ada yang mengikuti proses perjalanan mi'raj tersebut, orang itu akan celingukan, karena tiba-tiba badan Nabi lenyap dari pandangannya. Meskipun, Rasulullah saw masih berada di sekitar situ juga. Orang tersebut tidak bisa melihat Nabi, sebaliknya Nabi bisa melihat orang tersebut.


2. Sudut Pandang Berbeda.

Selain soal jarak, perubahan sudut pandang yang terjadi juga sangat radikal. Penglihatan yang 'tertangkap mata' pada saat kita berada di langit pertama sangatlah berbeda dengan yang terlihat di langit kedua.

Coba bayangkan, ada 2 makhluk 'bayang-bayang' si A dan si B sedang bercakap-cakap di sebuah permukaan tembok. Bisakah anda membayangkan, bagaimana bentuk si A dilihat oleh si B ?

Tentu saja, si A akan dilihat oleh si B sebagai sebuah garis lurus yang tidak punya ketebalan. Demikian pula si B akan dipersepsi oleh si A sebagai sebuah garis belaka. Kenapa demikian? Karena, kedua makhluk 'bayangan' itu memang sedang 'berhadap-hadapan' dengan cara 'berdampingan' pada salah satu sisinya. Tidak kelihatan sisi yang lainnya. Untuk jelasnya coba amati gambar berikut ini.


Si A melihat si B (atau sebaliknya) dari sudut pandang yang
berbeda dengan si manusia melihat kedua bayang-bayang itu.
Bagi manusia, kedua bayang-bayang itu tampak sebagai bulatan.
Akan tetapi, bagi bayangan, lawan bicaranya akan tampak
sebagai sebuah garis saja, karena mereka melihat temannya
itu dari samping. Pada sisi yang lain, si A juga tidak bisa melihat si C karena terhalang oleh si B.

Maka, itulah yang dialami oleh Rasulullah saw ketika berada di langit kedua. Pada saat beliau masih berada di langit pertama, persepsi beliau tentang langit pertama (beserta segala isinya) adalah sebagaimana yang kita rasakan kini. Bahwa tubuh manusia adalah berbentuk volume begini, bahwa bentuk matahari dan berbagai planet adalah bulat-bulat seperti bola, bahwa air laut dan samudera adalah demikian adanya.

Namun, begitu sampai di langit kedua, beliau terperanjat karena 'melihat' pemandangan yang sangat berbeda. Bumi yang tadinya berbentuk bulat kini tidak bulat lagi. Demikian pula matahari, planet, bintang, manusia, binatang, pepohonan, dan berbagai makhluk lainnya. Tiba-tiba beliau mendapati alam semesta ini bentuknya berbeda dari yang selama ini beliau persepsi.

Kenapa bisa begitu? Jawabnya : karena beliau melihatnya 'dari sudut pandang yang berbeda. Persis seperti sebuah 'bayangan' yang dilihat dari permukaan tembok oleh kawannya, dibandingkan dengan dilihat dari tengah ruangan oleh manusia. Coba lihat kembali gambar di atas.

Ketika 'bayangan' dilihat oleh sesama bayangan, maka yang kelihatan adalah salah satu sisi dari bayangan itu, sehingga tampak bagaikan sepotong garis belaka. Akan tetapi ketika dilihat oleh manusia dari tengah ruangan, maka bayangan terlihat bukan sebagai garis lagi, melainkan sebagai lingkaran (untuk gambar tersebut).

Demikian juga Rasulullah saw. Tiba-tiba beliau 'melihat' alam semesta ini tidak seperti biasanya lagi. Seluruhnya berubah. Tidak lagi berdimensi 3, melainkan berdimensi 4. Bagaimanakah gambaran bentuknya. Kita tidak akan pernah bisa membayangkan, selama kita masih tinggal di langit pertama ini. Kita baru faham dan bisa membayangkan ketika kita berada di langit kedua, dan kemudian 'melihat' ke arah langit pertama, seperti gambar di atas.

Bahkan yang menarik, bukan hanya bentuk alam semesta yang terlihat berbeda. Melainkan, jarak jangkau pandangan Rasulullah saw juga menjadi semakin jauh. Kalau tadinya, ketika di langit pertama, Rasulullah saw hanya bisa melihat pemandangan di sekitarnya saja, maka pada saat berada di langit kedua, tiba-tiba beliau bisa melihat benda-benda yang sangat jauh dari kota Palestina. Bahkan, mungkin bisa melihat ke berbagai benua di muka Bumi. Dan, juga benda-benda di segala penjuru langit, dalam sekali pandang. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Coba cermati kembali gambar di atas. Ketika berada di Dunia 'permukaan tembok', si A tidak bisa melihat si C, karena pandangannya terhalang oleh si B. Apalagi melihat benda-benda di baliknya si C, dan seterusnya. Yang bisa dilihat oleh si A hanyalah benda-benda yang persis berada disekitarnya saja. Yang lebih jauh tidak kelihatan.

Akan tetapi, bagi orang yang berada di tengah ruangan dia bukan hanya bisa melihat si A atau si B, sekaligus dia bisa melihat si C atau benda-benda lain di permukaan tembok tersebut. Mulai dari ujung paling kiri sampai ujung yang paling kanan. Mulai dari yang paling atas sampai yang paling bawah.

Pokoknya, seluruh benda yang terhampar di permukaan tembok itu akan bisa dilihat secara keseluruhan dalam sekali melihat. Itulah yang dialami Rasulullah saw ketika memandang langit pertama dari langit kedua. Rasulullah saw bisa melihat pemandangan di seluruh langit pertama dalam sekali pandang dari langit kedua. Tentu saja beliau sangat takjub.

Tidak hanya berhenti di langit kedua, Rasulullah saw melanjutkan perjalanannya menuju tingkatan langit yang lebih tinggi. Meskipun beliau sebenarnya belum menjelajah alam dimensi 4 itu. Beliau tidak melakukan penjelajahan di sana, karena tujuan beliau memang bukan di langit kedua. Beliau hanya melintas saja, menuju langit ke tujuh. Ke arah manakah Rasulullah saw melintas melanjutkan perjalanannya? Ke arah langit ke tiga. Dimanakah langit ketiga? Ternyata juga tidak jauh dari posisi Nabi berada.

Posisi langit ketiga berada satu dimensi lebih tinggi dibandingkan langit kedua. (Dalam seluruh pembahasan langit bertingkat tujuh ini, saya mengasumsikan bahwa setiap bertambah tinggi langitnya, maka dimensinya bertambah satu. Pada kenyataannya Allah bisa menambahkan berapa pun yang DIA kehendaki untuk pertambahan dimensi langit itu. Yang saya kemukakan ini adalah gambaran yang paling sederhana.)

Maka, untuk menggambarkannya, caranya sama dengan ketika menggambarkan berpindahnya Rasulullah saw dari langit pertama menuju langit kedua. Dalam hal ini, kita juga membuat perumpamaan alias analogi Dunia bayang-bayang.

Bayangkanlah kini Rasulullah saw sedang berada di langit kedua yang berdimensi 4. Untuk memperoleh gambaran pergerakan Nabi dari langit ke dua menuju langit ketiga, umpamakan badan Nabi bagaikan sosok bayang-bayang yang berada di permukaan tembok. Lantas, beliau ingin 'lepas' dari permukaan tembok itu menuju ruangan yang ada di dekatnya.

Maka mekanismenya menjadi sama persis dengan ketika Rasulullah saw bergerak dari langit pertama pindah menuju langit ke dua. Beliau tidak bisa berpindah sendiri dari langit kedua menuju ke langit ke tiga, melainkan dibawa oleh Jibril, yang memang merupakan makhluk dari langit ke tujuh.

Sebagaimana saya katakan di bagian depan, bahwa perpindahan makhluk dimensi 3 ke dimensi-dimensi yang lebih tinggi hanya bisa terjadi jika dibantu oleh makhluk yang berasal dari dimensi yang lebih tinggi. Dalam hal ini, Jibril ditugasi oleh Allah untuk mendampingi Rasulullah saw bergerak menuju langit ke tujuh.

Maka, perjalanan ke langit-langit berikutnya memang menggunakan mekanisme yang tidak jauh berbeda dengan mekanisme sebelumnya. Cuma, pemandangan yang dilihat oleh Rasulullah saw semakin lama semakin menakjubkan.

Bayangkan saja, ketika di langit kedua Rasulullah saw sudah demikian takjub karena bisa melihat seluruh penjuru langit pertama hanya dalam sekali pandang. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang di langit kedua memang jauh lebih lebar dibandingkan dengan langit pertama.

Nah, pada saat berada di langit ke tiga beliau lebih takjub lagi, karena sudut pandangnya menjadi semakin lebar. Pada waktu itu beliau tiba-tiba bisa 'melihat' langit kedua di segala penjurunya. Persis seperti ketika berada di langit kedua bisa melihat seluruh penjuru langit pertama.
Hanya saja, penglihatan Rasulullah saw di langit ketiga ini bukan sebuah penglihatan yang 'murni' dihasilkan oleh 'mata kepala'. Kenapa demikian? Karena, mata kepala manusia, secara fisik tidak mungkin lagi bisa memahami benda-benda yang berdimensi lebih tinggi dari 3.

Apa yang kita pahami lewat mata adalah sebuah proses proyeksi lensa mata terhadap benda 3 dimensi yang tergambar di 'layar mata' yang disebut sebagai retina. Retina ini ada di bagian belakang bola mata kita, yang kemudian berfungsi mengubah gambar proyeksi itu menjadi pulsa-pulsa listrik yang diteruskan ke pusat penglihatan di otak.

Nah, desain mata dan retina kita itu dikhususkan untuk benda-benda berdimensi 3 atau lebih rendah. Untuk melihat benda-benda yang lebih tinggi dimensinya, tidak berguna lagi. Indera yang bisa kita gunakan untuk melihat benda-benda berdimensi yang lebih tinggi di langit ke dua sampai ke tujuh adalah hati.

Hal ini telah saya jelaskan sebelumnya. Bahwa hati adalah indera ke enam yang bekerja berdasar getaran universal. Maka dengan hati yang terlatih dan lembut, kita bisa 'melihat' sekaligus mendengar dan merasakan kehadiran sesuatu benda. Getaran itulah yang dikirim ke otak untuk diterjemahkan sebagai persepsi. Jadi, semakin 'tinggi' perjalanan Rasulullah saw menempuh langit, maka beliau semakin mengandalkan potensi hati dan seluruh kesadaran universalnya untuk memahami alam semesta.

Kembali kepada 'penglihatan' Rasulullah saw di langit ke tiga. Ketika masih berada di langit pertama, beliau tidak pernah bisa melihat Dunia jin dalam skala yang demikian luas. Bahkan ketika berada di langit kedua pun, beliau belum sempat melakukan penjelajahan di Dunia jin itu. Kini tiba-tiba beliau disuguhi pemandangan secara begitu manakjubkan terhadap keseluruhan Dunia jin. Dalam sekali pandang saja. Seperti menonton pemandangan di layar bioskop. Mulai dari sisi paling kiri hingga paling kanan. Dari atas sampai ke bagian bawah.

Bahkan, Nabi bukan hanya 'melihat' langit kedua yang belum pernah di bayangkannya. Beliau juga terperanjat melihat langit pertama (Dunia manusia) dari sudut pandang langit ketiga. Sungguh beliau tidak pernah membayangkan bahwa Dunia manusia dilihat dari langit pertama berbeda dengan dilihat dari langit kedua, dan berbeda pula dilihat dari langit ketiga.

Semakin naik posisi dimensi Nabi, beliau memiliki sudut pandang yang semakin luas dan menakjubkan. Saya jadi teringat ketika pertama kali naik pesawat terbang. Saya begitu takjubnya memandangi benda-benda di permukaan Bumi yang semakin lama terlihat semakin kecil. Apalagi ketika saya berada di atas awan. Saya seperti berada di Dunia 'antah berantah' yang tidak pernah saya bayangkan.

Perbandingan ini memang tidak tepat, karena langit yang dilewati pesawat terbang bukanlah langit kedua. Masih tetap di langit pertama. Sedangkan perjalanan Nabi adalah perjalanan yang jauh lebih dahsyat karena menembus batas dimensi. Akan tetapi secara psikologis, saya bisa membayangkan betapa takjubnya Nabi ketika itu. Pasti jauh lebih takjub dari yang saya rasakan.

Ketakjuban-ketakjuban semacam ini juga pernah dirasakan oleh para astronout ketika pesawat mereka melepaskan diri dari Bumi menuju angkasa luar. Dan kemudian memandangi planet Bumi dari sana. Ada suatu rasa keindahan yang tidak bisa digambarkan dan diceritakan kepada orang-orang yang tidak pernah mengalaminya. Rasa keindahan itu hanya bisa disampaikan kepada orang-orang yang sudah pernah mengalami.

Namun sekali lagi, kondisinya sangat berbeda antara ketakjuban Rasulullah saw yang melakukan perjalanan lintas dimensi dibandingkan dengan ketakjuban perjalanan yang ‘sekadar’ ke angkasa luar di langit pertama.

Ketakjuban Rasulullah saw terus mengalami peningkatan luar biasa, seiring perjalanan beliau melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi. Setiap kenaikan dimensi, beliau mendapati pemandangan yang radikal berbeda dengan pemahaman sebelumnya.

Hal ini disebabkan selama ini kita terkungkung pada langit pertama yang meskipun demikian luasnya dan belum ketahuan batasnya, ternyata hanyalah langit yang 'kecil' dibandingkan keluasan langit yang tujuh.

Yang menarik, setiap beranjak mencapai langit yang lebih tinggi, beliau lantas memahami bahwa langit yang lebih rendah itu ternyata adalah bagian dari langit yang sedang beliau tempati.

Konkretnya, ketika beliau berada di langit kedua, tiba-tiba beliau baru mengerti bahwa langit pertama itu sebenarnya adalah bagian dari langit kedua, dengan struktur yang tidak pernah beliau bayangkan sebelumnya. Padahal ketika masih di langit pertama, sebagai makhluk berdimensi 3 beliau hanya bisa melihat dan menghayati eksistensi langit pertama saja.

Hal ini, kurang lebih. sama dengan Dunia bayang-bayang. Mereka makhluk bayang-bayang itu tahunya hanya Dunia mereka, yaitu permukaan tembok. Akan tetapi bagi kita, manusia yang tinggal di ruangan, kita tahu bahwa Dunia bayangan adalah sebagian dari kehidupan kita. Tembok adalah salah satu bagian dari ruangan tempat kita tinggal.

Ketakjuban Rasulullah saw itu juga disebabkan oleh begitu dahsyatnya perbedaan kualitas di setiap langit. Perbandingan kualitas termasuk juga kuantitasnya adalah tidak berhingga untuk setiap kenaikan dimensi langit. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, saya akan menguraikan lewat analogi-analogi berikut ini.

Kuncinya adalah bertambahnya. ukuran dimensi pada setiap langit. Dengan pertambahan dimensi itu, kita mendapai kenyataan bahwa dimensi yang lebih tinggi merupakan sebuah ‘ruang’ yang ukurannya berlipat kali tidak berhingga terhadap ruang sebelumnya.

Ambillah contoh sebuah garis. Untuk menggambar sebuah garis, kita bisa menyusunnya dari sederet titik titik yang dijejer ke samping dalam jumlah tak berhingga. Dengan kata lain, saya bisa mengatakan, bahwa sepotong garis adalah kumpulan tak terhingga dari titik titik.

Selanjutnya, jika garis-garis itu dijejer tegak ke arah samping dalam jumlah tak berhingga, maka suatu ketika kita akan mendapati bahwa kumpulan garis itu telah membentuk sebidang luasan. Dengan kata lain maka saya bisa mengatakan bahwa sebidang luasan adalah 'lembaran' yang terbentuk dari jejeran garis garis dalam jumlah tidak berhingga.

Dan kemudian, jika lembaran-lembaran luasan itu kita tumpuk dalam jumlah tak berhingga, tiba-tiba kita akan mendapati tumpukan lembaran itu menjadi sebentuk balok atau kubus yang berdimensi 3.

Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa sebuah balok (dimensi 3) terbentuk dari lembaran-lembaran (dimensi 2) dalam jumlah yang tidak berhingga. Demikian pula, selembar 'luasan' ternyata juga terbentuk dari sebegitu banyak (tak berhingga) garis-garis yang berdimensi 1.

Maka, secara umum, kita bisa mengatakan bahwa langit ke tujuh yang berdimensi 9 sebenarnya tersusun dari langit ke enam yang berdimensi 8 dalam jumlah tak berhingga. Sedangkan langit ke enam itu tersusun oleh langit ke lima yang berdimensi 7 dalam jumlah tak berhingga. Dan selanjutnya, langit ke lima tersusun oleh langit ke empat, tersusun oleh langit ke tiga, ke dua dan ke satu Semuanya berlipat tidak berhingga.

Jadi, dengan pertambahan 1 dimensi saja, ternyata langit kedua yang dihuni oleh bangsa jin itu memiliki besar yang tidak berhingga dibandingkan dengan Dunia manusia. begitu juga langit ketiga terhadap langit kedua, dan seterusnya. Maka, ketika kita bicara langit ke tujuh, kita bisa mengatakan, bahwa langit ke tujuh itu merupakan langit yang besarnya tidak berhingga pangkat 7. (Sebuah kenyataan yang tidak bisa digambarkan oleh ilmu matematika tingkat tinggi sekali pun).

Maka, jika kita berbicara kualitas langit ke tujuh (alam Akhirat) dibandingkan dengan langit ke satu (alam Dunia) menjadi demikian jauh perbedaannya. Apa yang kita rasakan di alam Dunia ini tidaklah bisa kita bandingkan dengan apa yang kita rasakan di alam Akhirat. Baik dalam bentuk kebahagiaan maupun penderitaan.

Kebahagiaan yang kita rasakan pada saat hidup, di Dunia ini sebenarnya adalah sebagian kecil dari kebahagiaan Surga. Demikian juga kesengsaraan atau penderitaan yang kita rasakan, juga adalah sebagian kecil saja dari kesengsraan Neraka. Kenapa demikian? Ini merupakan konsekuensi dari struktur langit yang jelaskan di depan. Bahwa langit pertama alias Dunia ini sebenarnya merupakan 'bagian' dari langit ke tujuh alias Akhirat, dalam skala perbandingan yang 'tidak berhingga tujuh kali'.

Ya, alam Dunia ini memang alam yang termuat di dalam alam Akhirat. Maka menjadi logislah, jika segala yang kita alami di alam Dunia ini sebenarnya juga bagian dari keberadaan alam Akhirat itu sendiri. Namun dalam kualitas yang sangat jauh berbeda. Jika diumpamakan kualitas alam Akhirat itu 100%, maka barangkali kualitas alam Dunia ini hanya sepersekian miliar persennya. Atau bahkan lebih kecil lagi. Itulah yang oleh Rasulullah saw diumpamakan sebagai air lautan dibandingan dengan setetes air di ujung jari, yang telah kita bicarakan di depan.

Kembali kepada perjalanan Rasulullah saw. Ketika beliau meningkat terus ke langit yang lebih tinggi, maka beliau merasakan ketakjuban berulangkali dalam skala yang semakin tidak bisa dibayangkan. Kenikmatan dan kebahagiaan yang beliau rasakan dalam Mi'rajnya itu sangatlah sulit untuk digambarkan kepada kita yang tidak pernah mengalaminya. Akan tetapi kita bisa 'merasakan' logikanya, lewat apa yang saya uraikan dalam analogi-analogi di atas.

Sehingga sungguh sangatlah dahsyat perasaan yang beliau rasakan itu, saat beliau mencapai puncak langit ke tujuh yang disebut sebagai Sidratul Muntaha. Di puncak langit itu Rasulullah saw benar-benar terpesona memandangi ciptaan Allah yang luar biasa dahsyatnya. Beliau diberi kesempatan yang tiada bandingnya oleh Allah untuk menyaksikan ciptaan Yang Maha Perkasa dan Maha Berilmu dari suatu tempat yang tidak ada seorang manusia pun pernah melihat alam semesta.

Tidak para Rasul sebelumnya. Dan tidak juga para ilmuwan sesudahnya. Sidratul Muntaha adalah suatu tempat yang Nabi bisa melihat struktur alam semesta secara utuh. Sudut pandangnya sangat luas, tetapi jaraknya sangat dekat. Artinya Rasulullah saw bisa melihat detil-detil pemandangan yang terhampar di alam semesta ini, namun dalam waktu yang bersamaan beliau bisa melihat keseluruhannya.

Ini berbeda dengan sudut pandang yang biasa kita alami. Jika kita mendekat untuk melihat detilnya, maka kita akan kehilangan sudut pandang yang holistik (menyeluruh). Sebaliknya, jika kita ingin melihat sesuatu secara holistik, maka kita harus mengambil jarak sedemikian rupa sehingga kita kehilangan detil-detilnya.

Di langit ke tujuh, kedua-duanya bisa tercapai dalam sekali waktu. Inilah yang digambarkan oleh Allah dalam ayat-ayatnya bahwa Allah itu meliputi segala sesuatu (holistik) innahu bikulli syai-in mukhith. Tapi sekaligus wanahnu aqrabu ilaihi min hablil waridl (detil).

QS. Fushshilat (41): 54
“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”

QS. Qaaf (50): 16
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”

Hal ini ada kaitannya struktur alam yang melengkung. Coba bayangkan sebuah bola. Langit pertamanya terdapat pada permukaan bola, yang melengkung. Sedangkan langit kedua berada di dalam bola berupa ruang berdimensi 3. Maka, dengan mudah kita bisa membuktikan bahwa jarak tempuh di atas permukaan bola itu adalah lebih jauh dibandingkan dengan jarak tempuh yang ada di dalam bola.

Ambillah titik A di permukaan bola sebelah kiri. Sedangkan titik B di seberang permukaan sebelah kanan. Kalau kita ingin bergerak dari titik A di sebelah kiri ke titik B di sebelah kanan lewat permukaan bola, maka kita harus menyusuri permukaan yang melengkung. Tetapi, jika kita menembus melewati tengah bola, maka kita mendapati jaraknya lebih pendek karena lintasannya lurus.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa jarak tempuh di langit pertama adalah lebih jauh dibandingkan jarak tempuh di langit kedua. Dengan kata lain, langit kedua memiliki jarak yang lebih pendek dibandingkan langit pertama.

Hal ini juga berlaku pada langit-langit yang lebih tinggi. Jarak di langit ketiga adalah lebih pendek dibandingkan dengan jarak di langit kedua. Perumpamaannya sama persis dengan bola di atas. Angaplah permukaan bola sebagai langit kedua, dan ruang di dalam bola sebagai langit ketiga. Maka, di langit ketiga ada jalan tembus yang berjarak lebih pendek dibandingkan dengan permukaan bola yang berbentuk melengkung.

Jika ini diteruskan, maka kita akan dapati bahwa di langit ke empat jaraknya lebih pendek dibandingkan langit ke tiga. Demikian pula, di langit ke lima, ke enam, dan ke tujuh.

Langit ke tujuh itu sebenarnya adalah langit yang berjarak paling pendek di anara langit-langit yang lain. Semakin tinggi langit semakin pendek jaraknya terhadap kita. Sehingga Allah (yang berada lebih tinggi dari langit ke tujuh itu) mengatakan bahwa Dia sebenarnya lebih dekat dari urat leher kita sendiri. DEMIKIAN DEKATNYA ... !

Begitulah, ketika Rasulullah saw berada di Sidratul Muntaha sebenarnya beliau justru berada di suatu langit yang sangat dekat. Akan tetapi justru beliau diperjalankan secara ‘memutar’ oleh Allah lewat langit-langit yang lebih rendah.

Maka sekali lagi, Rasulullah saw di Sidratul Muntaha itu bisa menyaksikan seluruh ciptaan Allah yang terhampar di alam semesta itu secara keseluruhan tetapi mendetil. Di situlah Rasulullah saw terpesona, sebagaimana digambarkan di dalam ayat-ayat berikut ini.

QS. An Najm (53): 14 - 18
"Di Sidratul Muntaha.
Di dekatnya ada Surga tempat tinggal,
ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar."

Ayat di atas mengambarkan situasi ketika Rasulullah saw sampai di puncak langit. Dan sampai di situ pulalah batas tertinggi pengetahuan Rasulullah tentang ke Maha Agungan Allah dengan berbagai tanda-tandaNya di alam semesta.

Ayat 14, sebenarnya menggambarkan bahwa Rasulullah saw pernah melihat Jibril dalam bentuk yang sesungguhnya. Kejadian itu berlangsung di Sidratul Muntaha, karena memang Jibril adalah makhluk dari langit ke tujuh. Maka ketika Rasulullah saw sampai di sana beliau langsung bisa melihatnya dalam bentuk yang asli.

Namun, ayat-ayat berikutnya memberikan gambaran kepada kita tentang situasi yang ada di sekitar 'Puncak Langit' itu. Bahwa, tenyata Surga sudah ada sejak dulu. Dan bahwa Surga itu berada di langit ke tujuh. Dan bahwa Surga itu terletak di dekat Sidratul Muntaha. Dan, di ayat lain (QS. Ali Irnran : 133), Allah mengatakan bahwa besarnya Surga itu adalah sebesar langit dan Bumi. Artinya Bumi kita ini juga bagian dari Surga itu sendiri. Dan bentangannya sampai ke langit yang ke tujuh. Begitulah kira-kira pemahamannya.

QS. Ali Imran (3): 133
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas Langit dan Bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,"

Sedangkan Sidratul Muntaha itu tidak termasuk bagian dari Surga. Karena itu digunakan kata 'inda alias di dekatnya atau di sisinya. Jika Rasulullah saw bisa melihat Surga tempat tinggal yang terhampar seluas langit dan Bumi, maka tidak demikian dengan Sidratul Muntaha.

Tempat itu ternyata lebih misterius dibandingkan Surga. Karena itu di ayat berikutnya Allah mengatakan bahwa Sidratul Muntaha itu tertutup oleh sesuatu 'misteri' yang menutupinya. Sehingga Rasulullah saw tidak bisa melihat apa yang ada di baliknya. Agaknya inilah batas dimensi tertinggi yang menjadi ‘pembatas' antara alam semesta dengan Kemutlakan Allah. Dibalik itu, seluruh potensi beliau sebagai manusia tidak lagi bisa memahaminya.

Narnun demikian, digambarkan Rasulullah saw tidak bisa rnemalingkan pandangannya dari Sidratul Muntaha itu. Ada daya tarik yang luar biasa. Seluruh kesadaran beliau seperti telah tersedot oleh pemandangan yang dilihatnya. Maka, di ayat berikutnya dikatakan oleh Allah bahwa penglihatan Rasulullah saw tidak bisa berpaling atau melampauinya. Rasulullah saw benar-benar terpesona. Apakah yang membuat beliau terpesona?

Ayat 18 menjelaskan : 'Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (Keagungan) Tuhannya yang paling besar."

Sampai di sini, Rasulullah saw 'bersimpuh; di hadapan Allah yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Beliau bersimpuh dalam kepasrahan yang sangat mendalam. Kepasrahan total setelah memahami dan menyaksikan sendiri betapa Agungnya Allah, sang Maha Perkasa. Seluruh kesadaran beliau mengembang ke seluruh alam semesta yang tujuh, larut dalam Kebesaran dan Keagungan Allah Azza wajalla