Saya selama ini mengira, Adam, Azazil, dan Hawa adalah entitas yang berbeda sesuai dengan jenis dan gender yang sering disebutkan oleh kitab wahyu. Ternyata pemahaman saya tidak utuh karena entitas yang disebutkan sebagai Adam, Azazil, dan Hawa sebenarnya bisa melekat pada satu sosok entitas yang kelak disebut manusia sebagai Bani Adam, ataupun kelak disebut Bani Ablasa, atau katakan saja secara umum di sosok Mr. X.
Penamaan Adam, Azazil dan Hawa sebenarnya dapat ditafsirkan sebagai suatu keadaan ruhaniah pada seseorang yang mencari Tuhan dan berhadapan langsung denganNya, ibarat bola kelereng yang berada di posisi puncak Bola yang mulus dan lebih besar yaitu Bola Kehidupan. Jadi, Mr. X yang jadi si kelereng dapat menggelincir ke dua arah ke kiri atau ke kanan.
Kalau kelereng itu katakan saja, kita sebagai Mr. X yang dilabeli manusia, yang mencari Tuhan dengan berbagai cara mulai dengan membaca tanda-tanda keberadaanNya dari titik terjauh sampai titik terdekat yaitu diri kita sendiri. Karena itu terdapat suatu keadaan atau hal dan peringkat atau maqomat yang menggambarkan kondisi ruhani dari pencari Tuhan itu. Pada setiap keadaan tersebut, kita sebagai kelereng akan memendarkan cahaya sesuai dengan keadaan kita saat itu. Dalam AQ (al-Qur’an), Nabi Ibrahim a.s merupakan gambaran pencari Tuhan yang gigih dengan mengamati alam semesta di sekelilingnya mulai dari lingkungan rumah dan keluarganya sampai mengamati benda-benda langit.
Dari Nabi Ibrahim juga kita mendapatkan gambaran bagaimana akhirnya manusia HARUS berserah diri (ASLIM, atau tertunduk) MUTLAK di hadapan Kemahakuasaan Yang Maha Tinggi. Nabi Ibrahim a.s. disebut Khalil Allah (teman Allah) karena proses pembelajarannya itu merupakan suatu metode yang kelak dikemudian hari berkembang menjadi metode teoritik, empirik dan ilmiah.
Nabi Musa a.s mempunyai kisah yang lain lagi dengan kondisi yang berbeda dengan Nabi Ibrahim a.s. Yang dihadapai Nabi Musa a.s adalah egosentrisme dari kearifan manusia yang telah menjadi Cermin Retak (Broken Mirror) dengan gambaran Fir’aun sebagai setting dimana ia dilahirkan untuk menegakkan ajaran tauhid yaitu di Kawasan Mesir, yang merupakan salah satu sumber ilmu di zaman lampau.
Yang dihadapi Musa a.s bukan sekedar manusia biasa tetapi sosok figur yang menggambarkan bagaimana kearifan telah bermetamorfosis menjadi kekuasaan yang dzalim dengan pengakuan diri sebagai Tuhan yaitu Fir’aun dan pengikutnya yang taklid sehingga digambarkan sebagai prajurit dan tentara, pendeta tukang tenung dan sihir. Meskipun dibalik kepongahannya yang super dahsyat menurut ukuran manusia tersembunyi kerapuhan dirinya dan sistem sosialnya yang secara langsung ditembus oleh Kekuasaan Tuhan dimana diam-diam Nabi Musa a.s justru dididik didalam istananya sendiri.
Sandaran yang diberikan Allah kepada Nabi Musa a.s adalah Tongkat Keteguhan, yang merupakan manifestasi dari keteguhan pada Ahadiyyah dan Shamadiyyah Dzat Allah yaitu akal pikiran yang cerdas, cemerlang dan sangat rasional yang kelak diwarisi kepada kaum Yahudi yang kelak menyebut diri mereka Bani Israil alias Bani yang suka bolak balik 360 derajat dengan jumlah suku 12. Namun hati Nabi Musa a.s masih diliputi ketidaksabaran sehingga dalam proses pemyempurnaan dirinya ia didampingi oleh Harun a.s yang pintar bicara (Musa digambarkan kurang sabaran dan brangasan bahkan ia menggaplok orang mesir sampai tewas) dan harus belajar dari Hamba Allah yang ilmunya lebih tinggi yang sering disebut Nabi Khidir a.s.
Tongkat Nabi Musa a.s adalah tongkat simbolik penggerak pertama dari ilmu pengetahuan yang dituliskan sebagai huruf Alif alias bilangan satu sebagai suatu asumsi mutlak rasionalitas manusia dengan ilmu pengetahuan yang dipahaminya. Tongkat Nabi Musa a.s pun akhirnya mampu mengalahkan ketaklidan, menelan sihir dan dolanan tukang tenung yang menjadi andalan Fir’aun yang dipuncak kekuasaan tertingginya sebagai manusia dengan diwarisinya pengetahuan moyangnya, menjadi kesombongan diri kaum arif yang akhirnya menjadi Fir’aun karena menyalahgunakan pengetahuan Tuhan untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya sendiri.
Musa a.s adalah argumen puncak Allah bagi mereka yang sebelumnya berpengetahuan Tuhan tapi kemudian terjebak kesombongan diri dan menjadi Fir’aun yang akhirnya musnah ditelah air bah pengetahuan Tuhan ketika tongkat Nabi Musa diketukkan di Laut Merah yang merupakan gambaran simbolik tentang hawa nafsu manusia yang sudah ditaklukkan Musa a.s.
Sejak Nabi Adam a.s menciptakan sistem ilmu pengetahuan Tuhan maka ilmu pengetahuan kita baik yang kita sebut agama maupun sains sebenarnya memang bagian dari pergolakan hawa nafsu manusia yang akhirnya bisa menjadi liar maupun bisa dijinakkan. Adam sebelum diusir dari wilayah tinggi Ketuhanan dengan gambaran surgawi adalah Adam sebagai manusia yang mencari Tuhan dengan mengamati sekelilingnya sebagai Pesan-pesan Tuhan yang dibacanya menjadi Asmaa-a Kullaha.
Ketika ia menerima Asma-a Kullahaa, Adam sebenarnya telah menerima bagian yang lebih fundamental lagi sebagai instrumen untuk mengungkapkan pesan-pesan Peciptanya yang diamatinya dari lingkungan dan dirinya sendiri. Bahkan, gagasan tentang Allah sebagai Realitas Absolut atau al-Haq yang ideal pun sudah muncul dalam pikirannya sebagai makhluk yang diturunkan di Planet Bumi untuk dimuliakan kembali atau untuk disempurnakan karena dengan cara penyempurnaan ini kualitas dirinya sebagai manusia, yang menjadi cermin Kesempurnaan Penciptanya, dapat dinyatakan sebagai fakta sekaligus bukti tentang Sang Pencipta itu sendiri. Jadi, sebenarnya kalau manusia mau mencari keajaiban PenciptaNya yang paling ajaib justru ada pada dirinya sendiri yaitu harus dengan sadar melihat dirinya sendiri sebagai anak Adam yang dengan ilmunya Nabi Adam a.s yaitu ilmu simbol, geometri, bilangan dan huruf dan bisa berhalusinasi bersama dengan ilmu tersebut menciptakan gambaran kehidupan di dunia sebagai anugerah dan rahmat Tuhan yaitu kehidupan surgawi yang dihadirkan sebagai Panggung Hiburan di Dunia untuk kemudian kembali kepada PenciptaNya, lengkap dengan kemuliaan yang bisa dinyatakannya di dunia.
Ilmu yang diterima Adam sebagai manusia awalnya adalah bagaimana ia bisa mengikat pesan Tuhan menjadi makna mendasar secara simbolik.
Yang pertama adalah simbologi dalam bentuk gambaran misalnya lukisan ber-bentuk 6 atau 9.
Yang kedua adalah simbologi tentang nilai yaitu bilangan yang kelak menjadi kaidah logis dengan simbologi yang mewakili anugerah, ampunan, kekuasaan dan lain-lain.
Yang ketiga adalah melukiskan simbologi dan bilangan menjadi simbologi yang bermakna yang bisa diucapkan dengan lidahnya yaitu huruf-huruf.
Langkah selanjutnya adalah lukisan kata-kata dan kalimat yang ditampilkan sebagai celoteh atau al-Qashash di dalam Cermin Tuhan yaitu diri kita sendiri sebagai anak cucu Adam dan Hawa yang berpengetahuan tauhid atau menjadi Khalifah. Jadi, harap dicatat kekhalifahan Adam dan Hawa adalah kemampuannya untuk menjadi makhluk cerdas dan berpengetahuan Tuhan bukan menjadi raja-raja model kerajaan zaman dulu maupun zaman sekarang. Kerajaan Tuhan sesungguhnya sebagai Al-Mulk adalah manusia yang mengenal dirinya dan Tuhannya dan menyadarai kehambaan-Nya namun sesungguhnya ia adalah al-Malik, sebagai al-Mukmin yang menjadi cermin bagi al-Mukmin lainnya, yang menjadi Insaana Fii Ahsanii Taqwiim bukan asfaalaa saafiliin, yang memberikan ilham, pengetahuan, dan petunjuk bagi amanusia lainnya untuk memasuki Shirathaal Mustaqiim sebagai jalan lurus yang luas dalam gengaman Cinta Ilahi yaitu saling berpasangan , berkeluarga dan meneruskan kontinuitas penciptaan sebagai bagian dari asma-asmaNya Allah yang nyata di dunia.
Dari sintesis demikian maka muncullah pengetahuan Adam sebagai Wahyu-wahyu elementer yaitu Pengetahuan Asmaa-aa Kullaha yang lebih formal dan mendasar dan mencitrakan kesempurnaan pesan-pesan elementer dari Sang Pencipta yaitu sistem simbolik, geometrik, bilangan dan huruf sampai manusia bisa bicara dan berkomunikasi.
Adam sebagai manusia sejatinya bukan Adam yang dilahirkan tetapi manusia yang ditakdirkan menjadi penunjuk jalan bagi kaumnya atau kelompoknya sehingga ada banyak Nabi Adam di dunia ini sebanyak suku-suku yang tersebar yang jejaknya ditemui di berbagai belahan dunia. Tetapi hanya Satu Adam yang warisannya tetap kita gunakan sampai hari ini, dialah Adam Awlia yang secara personal menjadi Teman Pencipta-Nya untuk menjadi simpul awal mula bagaikan puser yang membuka dan menutup berkembangnya peradaban diatas Pengetahuan Tauhid melalui jalur kenabian, kerasulan, dan kearifan bagi umat manusia yang kelak disebut Bani Adam.
Namun, kisah Adam diselingi kisah mengerikan tentang kemanusiaan Adam sebagai suatu pilihan kehendak bebas. Itulah kisah Azazil karakter yang melekat pada Adam sebagai manusia umumnya yang gigih mencari tahu dengan berbagai cara yang mungkin bisa dilakukannya dengan Siapakah aku,mau kemana, darimana, lantas ngapain di dunia ini?
Ketika Adam belum dinamakan Adam, katakan saja Mr. X, maka Mr. X adalah gambaran umum manusia secara individual yang belum mempunyai identitas kemanusiaan dirinya atau belum mempunyai identitas apakah ia termasuk Bani Adam atau Bani Ablasa atau katakan saja belum sadar dan masih tidur atau masih mabuk dalam teler panjang karena halusinasi tentang kehidupan yang diserapnya melalui geometri, bilangan dan huruf di bawah naungan mentari mencitrakan gambaran Realitas Indra Maya.
Mr. X yang mencari jatidiripun memulai perjalanannya menyingkapkan tabir demi tabir tatanan pengetahuan Tuhan sebagai tangga-tangga mi’rajnya baik secara rasional maupun dengan citarasa keruhaniannya (Aqli, Dzauqi, al-Haqq). Ketika Mr. X ini berada di posisi tertinggi tatanan pengetahuan Tuhan, ia dihinggapi kebingungan- kebingungan yang bersifat ilahiyah dimana dirinya diserahi suatu ketetapan untuk menentukan sikap.
Di titik tertinggi ini, bagi Mr. X , ia bagaikan pendaki gunung yang berada di puncaknya, namun ia tidak melihat dimana puncaknya. Di Puncak tatanan ini, yang sebenarnya titik awal dari pengetahuan Mr. X sebagai makhluk yang dianugerahi kemampuan berpikir dan memahami, ia berada di posisi dilematis yang dilukiskan sebagai posisi 88. Gambarannya, kalau kebaikan kita simbolkan sebagai pasukan anti teror Den 88 dan keburukan sebagai Grup Teroris maka posisi Mr. X ini berada dalam garis tipis antara menjadi baik atau buruk, menjadi beriman atau kafir, menjadi gnostic atau agnostic, dan dualitas kemungkinan lainnya yang satu sama lain menggambarkan Jamal dan Jalal Allah, namun dengan konsekuensi masing-masing yang harus diemban karena kehendak bebas terbatas berupa sistem ilmu pengetahuan telah diterimanya sebagai cara untuk mengenal Tuhan dan sampai kepadaNya sesuai dengan Idealisasi Tentang kesempurnaanNya, dengan nama-namaNya yang baik atau Asma ul Husna. Namun kesimpulan akhirnya terserah dari aktualitas lahir dan batin dirinya mau Berserah Diri atau menjadi antipati terhadap kenyataan bahwa dirinya ternyata lemah, hina, fakir, dan tanpa daya.
Azazil akan muncul menjadi nama Mr. X jika ia bersandar pada daya upaya dirinya sebagai makhluk, yang akhirnya muncul adalah kesombongan diri yang menabiri dengan mengangan-angankan kekekalan dirinya. Produk akhirnya adalah Mr.X yang sebenarnya telah mengetahui kearifan menjadi si Fir’aun. Dari kaum Fir’aun yang menjadi Kafirun ini maka lahirlah Bani Ablasa sebagai kaum yang memutuskan diri dari rahmat PenciptaNya. Sehingga disebutkan bahwa Ablasa sebagai Iblis yang semula adalah kaum arifin yang disebut Grup Azazil yang berilmu tinggi jatuh dalam kehinaan karena mengenakan selendang Kesombongan PenciptaNya.
Dari kaum Ablasa ini lahir kaum al-Kafiruun yang diungkapkan di QS 109. Surat al-Kafiruun sebenarnya secara simbolik mengungkapkan bagaimana Mr. X mempunyai pilihan bebas yang bertanggung jawab yaitu menjadi Adam sebagai Awlia Allah atau Adam Awlia atau mau menjadi Kaum Ablasa yang memutuskan diri dari rahmat Penciptanya dengan berbagai tipu muslihatnya untuk menjerumuskan manusia sebagai Bani Adam kedalam kegelapan Bani Ablasa dimana penjara tergelapnya disebut sebagai Penjara Ghairullah (selain Allah atau kaum Syirikus Kuntulbarisus) . Karena asal usul niat dan hasratnya sama, yaitu Mr. X yang mencari PenciptaNya dan dekat padaNya, kaum Ablasa pun akhirnya bisa menyusup dalam berbagai jubah Bani Adam baik dengan menggunakan Perahu Agama, Sains, Kemanusiaan, Ham dan lain-lainnya.
Mr.X yang sadar dengan kelemahan dirinya sebagai makhluk, lahir kembali menjadi Adam Awlia dengan ampunan dan taubat yang dinyatakan Allah sebagai maghfirah-Nya yang membukakan pintu hidayah sampai akhir zaman. Dari keinginan Mr. X yang juga mengimpikan kekekalan, Allah menganugerahkan kelestarian terbatas dalam maghfirahNya berupa Siti Hawa sebagai manifestasi Ketuhanan yang Kesepuluh sedangkan bentuk Adam memanifestasikan Satu sampai Sembilan yang kelak melahirkan sistem pengetahuan desimal dan abjad hijaiah yang memiliki 28 huruf sebagai huruf sempurna dan 1 huruf yang menyatakan manifestasi Cinta Ilahi dalam bentuk kaum Hawa.
Sebagai pasangan Adam dan Hawa maka kelestarian berupa kontinuitas penciptaan makhluk diteruskan dalam koridor Al-Mizan yang benar dan lurus. Didalam diri kaum Hawa, kekekalan diubah menjadi kelestarian Diri-Nya sebagai manifestasi al-Rahiim sehingga kaum Hawa mengemban amanat tertinggi DariNya sebagai medium kontinuitas Jamal dan JalalNya.
Akan tetapi Hawa sebenarnya adalah manifestasi dari nafsu kekekalan Azazil yang menjadi Ablasa sehingga selain mempunyai positioning dekat dengan PenciptaNya ia bisa menjadi sebab yang akan memutuskan Rahmat Tuhan karena sebab-sebab kecemburuan. Dengan kata lain meskipun positioningnya sangat dekat namun sifat ketidakstabilannya sangat tinggi yang muncul dari kecemburuannya. Manifestasi nafsu Azazil menjadi Hawa yang muncul dari sulbi Adam adalah ungkapan metafor yang menjelaskan hubungan Azazil-Adam dan Hawa yang sebenarnya adalah bagian dari Rahmat dan Kemahapemurahan Allah yang menyatakan Wa Nafsi didalam diri manusia agar ia bisa mengenal Diri-Nya melalui Pengetahuan- Nya dengan dasar-dasar yang sama yaitu Tauhid, dengan instrumen Akal Pikiran dan Hati sebagai medium pengungkapan Diri pencipta yang sesungguhNya atau Singhasana Sesungguhnya. Akan tetapi aktualitasnya dalam bentuk makhluk akan berbeda tergantung pada kadar kehendak bebas yang dinyatakan si makhluk sehingga tanggung jawabnya tetap personal sesuai dengan apa yang bisa dinyatakannya di Panggung Sandiwara Dunia. Neraka bagi kaum Ablasa sebenarnya sudah diciptakannya di dunia ini sesuai dengan perbuatannya dan perilakunya yang mendustakan rahmat Tuhannya, neraka yang selanjutnya adalah Penghisaban di depan Allah, Azizul Hakiim.
Dimata Tuhan posisi Hawa memang lebih tinggi di banding Adam karena hijab terakhir antara Mr. X yang menjadi Adam Awlia adalah anugerah ampunan dengan bersandar pada Pertolongan Allah (jadi kenapa QS 110 disebut Pertolongan Allah ditempatkan setelah QS 109 al-Kafiruun mempunyai kaitan dengan maksud munculnya kesadaran Aslim sehingga manusia Adam mendapat hidayah berupa pemahaman tentang dirinya sebagai makhluk yang berpasangan) memunculkan Hawa yang menjadi istrinya, yang berkembang biak menyatakan manifestasi Allah, Rabbul ‘Aalamin.
Mr. X yang tertabiri ilusi kekekalan merana dalam kesombongan dan kebodohannya sendiri yang akhirnya justru menjadi hijab terbesarnya untuk sampai kepada Tuhan dan merekapun muncul sebagai Bani Ablasa yang memutuskan diri dari rahmat Tuhan dan menjadi penggerak tipu daya di dunia dengan menunggangi Pengetahuan Tuhan dalam bentuk dan rupa serta jubah-jubah yang menyembunyikan kedengkiannya karena ilusi kekekalan yang diangankannya.
Begitulah kisah Mr. X yang bisa jadi saya atau Anda, yang selalu ada di setiap zaman yang diungkapkan menjadi simbol-sibol kemanusiaan kita hari ini maupun simbol-simbol hawa nafsu yang menjadi keiblisan kita. Pilihan tergantung pada diri kita sendiri dengan memohon ampunan dan taubat untuk mendapatkan pertolongan Alah sebagai suatu fakta dan bukti bahwa kita sebagai bani Adam memang pantas disebut sebagai manusia atau bukan.
Petunjuk Dari-Nya sudah cukup jelas, maka carilah tabir pelindung yang bisa mengantarkan dirimu ke jalan yang luas dan lurus sebagai jalan yang diberi nikmat yang banyak dalam keselarasan dengan Kehendak Allah, bukan jalan mereka yang terpuruk kedalam Penjara Ghairullah (QS 1:7).
Bukti dan faktanya bisa dilihat kalau kita melihat dengan seksama pada diri kita sendiri khususnya Ibu jari dan telunjuk yang bisa memegang apa saja dan berbuat apa saja sesuai dengan kualitas lahir dan batinmu. Mengenai tanggung jawab, juga sudah jelas. Bukankah kita semua mempunyai sidik jari yang unik dan tak ada duanya, bahkan kalau kita kembar sekalipun? Nah itulah tanda TanganNya yang akan menyebabkan kita berada dihadapanNya secara satu demi satu sesuai dengan tangggung jawab perbuatannya masing-masing. Bukankah itu Kemahabijaksanaan Allah sebagai Diri-Nya yang menjadi Aziizul Hakiim? Kalau masih belum jelas lagi, carilah Film yang dibintangi Anthony Hopkins yaitu Final Cut untuk mendapat gambaran yang lebih nyata dan mungkin bisa terjadi. Kalau masih belum jelas juga, maka hanya Allah lah yang bisa menyembuhkan penyakit summum bukmum umyun yang melekat didalam dirimu. Maka shalatlah karenaNya dan berdoalah dengan memohon ampunan padaNya saja bukan pada yang lainnya.
Penamaan Adam, Azazil dan Hawa sebenarnya dapat ditafsirkan sebagai suatu keadaan ruhaniah pada seseorang yang mencari Tuhan dan berhadapan langsung denganNya, ibarat bola kelereng yang berada di posisi puncak Bola yang mulus dan lebih besar yaitu Bola Kehidupan. Jadi, Mr. X yang jadi si kelereng dapat menggelincir ke dua arah ke kiri atau ke kanan.
Kalau kelereng itu katakan saja, kita sebagai Mr. X yang dilabeli manusia, yang mencari Tuhan dengan berbagai cara mulai dengan membaca tanda-tanda keberadaanNya dari titik terjauh sampai titik terdekat yaitu diri kita sendiri. Karena itu terdapat suatu keadaan atau hal dan peringkat atau maqomat yang menggambarkan kondisi ruhani dari pencari Tuhan itu. Pada setiap keadaan tersebut, kita sebagai kelereng akan memendarkan cahaya sesuai dengan keadaan kita saat itu. Dalam AQ (al-Qur’an), Nabi Ibrahim a.s merupakan gambaran pencari Tuhan yang gigih dengan mengamati alam semesta di sekelilingnya mulai dari lingkungan rumah dan keluarganya sampai mengamati benda-benda langit.
Dari Nabi Ibrahim juga kita mendapatkan gambaran bagaimana akhirnya manusia HARUS berserah diri (ASLIM, atau tertunduk) MUTLAK di hadapan Kemahakuasaan Yang Maha Tinggi. Nabi Ibrahim a.s. disebut Khalil Allah (teman Allah) karena proses pembelajarannya itu merupakan suatu metode yang kelak dikemudian hari berkembang menjadi metode teoritik, empirik dan ilmiah.
Nabi Musa a.s mempunyai kisah yang lain lagi dengan kondisi yang berbeda dengan Nabi Ibrahim a.s. Yang dihadapai Nabi Musa a.s adalah egosentrisme dari kearifan manusia yang telah menjadi Cermin Retak (Broken Mirror) dengan gambaran Fir’aun sebagai setting dimana ia dilahirkan untuk menegakkan ajaran tauhid yaitu di Kawasan Mesir, yang merupakan salah satu sumber ilmu di zaman lampau.
Yang dihadapi Musa a.s bukan sekedar manusia biasa tetapi sosok figur yang menggambarkan bagaimana kearifan telah bermetamorfosis menjadi kekuasaan yang dzalim dengan pengakuan diri sebagai Tuhan yaitu Fir’aun dan pengikutnya yang taklid sehingga digambarkan sebagai prajurit dan tentara, pendeta tukang tenung dan sihir. Meskipun dibalik kepongahannya yang super dahsyat menurut ukuran manusia tersembunyi kerapuhan dirinya dan sistem sosialnya yang secara langsung ditembus oleh Kekuasaan Tuhan dimana diam-diam Nabi Musa a.s justru dididik didalam istananya sendiri.
Sandaran yang diberikan Allah kepada Nabi Musa a.s adalah Tongkat Keteguhan, yang merupakan manifestasi dari keteguhan pada Ahadiyyah dan Shamadiyyah Dzat Allah yaitu akal pikiran yang cerdas, cemerlang dan sangat rasional yang kelak diwarisi kepada kaum Yahudi yang kelak menyebut diri mereka Bani Israil alias Bani yang suka bolak balik 360 derajat dengan jumlah suku 12. Namun hati Nabi Musa a.s masih diliputi ketidaksabaran sehingga dalam proses pemyempurnaan dirinya ia didampingi oleh Harun a.s yang pintar bicara (Musa digambarkan kurang sabaran dan brangasan bahkan ia menggaplok orang mesir sampai tewas) dan harus belajar dari Hamba Allah yang ilmunya lebih tinggi yang sering disebut Nabi Khidir a.s.
Tongkat Nabi Musa a.s adalah tongkat simbolik penggerak pertama dari ilmu pengetahuan yang dituliskan sebagai huruf Alif alias bilangan satu sebagai suatu asumsi mutlak rasionalitas manusia dengan ilmu pengetahuan yang dipahaminya. Tongkat Nabi Musa a.s pun akhirnya mampu mengalahkan ketaklidan, menelan sihir dan dolanan tukang tenung yang menjadi andalan Fir’aun yang dipuncak kekuasaan tertingginya sebagai manusia dengan diwarisinya pengetahuan moyangnya, menjadi kesombongan diri kaum arif yang akhirnya menjadi Fir’aun karena menyalahgunakan pengetahuan Tuhan untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya sendiri.
Musa a.s adalah argumen puncak Allah bagi mereka yang sebelumnya berpengetahuan Tuhan tapi kemudian terjebak kesombongan diri dan menjadi Fir’aun yang akhirnya musnah ditelah air bah pengetahuan Tuhan ketika tongkat Nabi Musa diketukkan di Laut Merah yang merupakan gambaran simbolik tentang hawa nafsu manusia yang sudah ditaklukkan Musa a.s.
Sejak Nabi Adam a.s menciptakan sistem ilmu pengetahuan Tuhan maka ilmu pengetahuan kita baik yang kita sebut agama maupun sains sebenarnya memang bagian dari pergolakan hawa nafsu manusia yang akhirnya bisa menjadi liar maupun bisa dijinakkan. Adam sebelum diusir dari wilayah tinggi Ketuhanan dengan gambaran surgawi adalah Adam sebagai manusia yang mencari Tuhan dengan mengamati sekelilingnya sebagai Pesan-pesan Tuhan yang dibacanya menjadi Asmaa-a Kullaha.
Ketika ia menerima Asma-a Kullahaa, Adam sebenarnya telah menerima bagian yang lebih fundamental lagi sebagai instrumen untuk mengungkapkan pesan-pesan Peciptanya yang diamatinya dari lingkungan dan dirinya sendiri. Bahkan, gagasan tentang Allah sebagai Realitas Absolut atau al-Haq yang ideal pun sudah muncul dalam pikirannya sebagai makhluk yang diturunkan di Planet Bumi untuk dimuliakan kembali atau untuk disempurnakan karena dengan cara penyempurnaan ini kualitas dirinya sebagai manusia, yang menjadi cermin Kesempurnaan Penciptanya, dapat dinyatakan sebagai fakta sekaligus bukti tentang Sang Pencipta itu sendiri. Jadi, sebenarnya kalau manusia mau mencari keajaiban PenciptaNya yang paling ajaib justru ada pada dirinya sendiri yaitu harus dengan sadar melihat dirinya sendiri sebagai anak Adam yang dengan ilmunya Nabi Adam a.s yaitu ilmu simbol, geometri, bilangan dan huruf dan bisa berhalusinasi bersama dengan ilmu tersebut menciptakan gambaran kehidupan di dunia sebagai anugerah dan rahmat Tuhan yaitu kehidupan surgawi yang dihadirkan sebagai Panggung Hiburan di Dunia untuk kemudian kembali kepada PenciptaNya, lengkap dengan kemuliaan yang bisa dinyatakannya di dunia.
Ilmu yang diterima Adam sebagai manusia awalnya adalah bagaimana ia bisa mengikat pesan Tuhan menjadi makna mendasar secara simbolik.
Yang pertama adalah simbologi dalam bentuk gambaran misalnya lukisan ber-bentuk 6 atau 9.
Yang kedua adalah simbologi tentang nilai yaitu bilangan yang kelak menjadi kaidah logis dengan simbologi yang mewakili anugerah, ampunan, kekuasaan dan lain-lain.
Yang ketiga adalah melukiskan simbologi dan bilangan menjadi simbologi yang bermakna yang bisa diucapkan dengan lidahnya yaitu huruf-huruf.
Langkah selanjutnya adalah lukisan kata-kata dan kalimat yang ditampilkan sebagai celoteh atau al-Qashash di dalam Cermin Tuhan yaitu diri kita sendiri sebagai anak cucu Adam dan Hawa yang berpengetahuan tauhid atau menjadi Khalifah. Jadi, harap dicatat kekhalifahan Adam dan Hawa adalah kemampuannya untuk menjadi makhluk cerdas dan berpengetahuan Tuhan bukan menjadi raja-raja model kerajaan zaman dulu maupun zaman sekarang. Kerajaan Tuhan sesungguhnya sebagai Al-Mulk adalah manusia yang mengenal dirinya dan Tuhannya dan menyadarai kehambaan-Nya namun sesungguhnya ia adalah al-Malik, sebagai al-Mukmin yang menjadi cermin bagi al-Mukmin lainnya, yang menjadi Insaana Fii Ahsanii Taqwiim bukan asfaalaa saafiliin, yang memberikan ilham, pengetahuan, dan petunjuk bagi amanusia lainnya untuk memasuki Shirathaal Mustaqiim sebagai jalan lurus yang luas dalam gengaman Cinta Ilahi yaitu saling berpasangan , berkeluarga dan meneruskan kontinuitas penciptaan sebagai bagian dari asma-asmaNya Allah yang nyata di dunia.
Dari sintesis demikian maka muncullah pengetahuan Adam sebagai Wahyu-wahyu elementer yaitu Pengetahuan Asmaa-aa Kullaha yang lebih formal dan mendasar dan mencitrakan kesempurnaan pesan-pesan elementer dari Sang Pencipta yaitu sistem simbolik, geometrik, bilangan dan huruf sampai manusia bisa bicara dan berkomunikasi.
Adam sebagai manusia sejatinya bukan Adam yang dilahirkan tetapi manusia yang ditakdirkan menjadi penunjuk jalan bagi kaumnya atau kelompoknya sehingga ada banyak Nabi Adam di dunia ini sebanyak suku-suku yang tersebar yang jejaknya ditemui di berbagai belahan dunia. Tetapi hanya Satu Adam yang warisannya tetap kita gunakan sampai hari ini, dialah Adam Awlia yang secara personal menjadi Teman Pencipta-Nya untuk menjadi simpul awal mula bagaikan puser yang membuka dan menutup berkembangnya peradaban diatas Pengetahuan Tauhid melalui jalur kenabian, kerasulan, dan kearifan bagi umat manusia yang kelak disebut Bani Adam.
Namun, kisah Adam diselingi kisah mengerikan tentang kemanusiaan Adam sebagai suatu pilihan kehendak bebas. Itulah kisah Azazil karakter yang melekat pada Adam sebagai manusia umumnya yang gigih mencari tahu dengan berbagai cara yang mungkin bisa dilakukannya dengan Siapakah aku,mau kemana, darimana, lantas ngapain di dunia ini?
Ketika Adam belum dinamakan Adam, katakan saja Mr. X, maka Mr. X adalah gambaran umum manusia secara individual yang belum mempunyai identitas kemanusiaan dirinya atau belum mempunyai identitas apakah ia termasuk Bani Adam atau Bani Ablasa atau katakan saja belum sadar dan masih tidur atau masih mabuk dalam teler panjang karena halusinasi tentang kehidupan yang diserapnya melalui geometri, bilangan dan huruf di bawah naungan mentari mencitrakan gambaran Realitas Indra Maya.
Mr. X yang mencari jatidiripun memulai perjalanannya menyingkapkan tabir demi tabir tatanan pengetahuan Tuhan sebagai tangga-tangga mi’rajnya baik secara rasional maupun dengan citarasa keruhaniannya (Aqli, Dzauqi, al-Haqq). Ketika Mr. X ini berada di posisi tertinggi tatanan pengetahuan Tuhan, ia dihinggapi kebingungan- kebingungan yang bersifat ilahiyah dimana dirinya diserahi suatu ketetapan untuk menentukan sikap.
Di titik tertinggi ini, bagi Mr. X , ia bagaikan pendaki gunung yang berada di puncaknya, namun ia tidak melihat dimana puncaknya. Di Puncak tatanan ini, yang sebenarnya titik awal dari pengetahuan Mr. X sebagai makhluk yang dianugerahi kemampuan berpikir dan memahami, ia berada di posisi dilematis yang dilukiskan sebagai posisi 88. Gambarannya, kalau kebaikan kita simbolkan sebagai pasukan anti teror Den 88 dan keburukan sebagai Grup Teroris maka posisi Mr. X ini berada dalam garis tipis antara menjadi baik atau buruk, menjadi beriman atau kafir, menjadi gnostic atau agnostic, dan dualitas kemungkinan lainnya yang satu sama lain menggambarkan Jamal dan Jalal Allah, namun dengan konsekuensi masing-masing yang harus diemban karena kehendak bebas terbatas berupa sistem ilmu pengetahuan telah diterimanya sebagai cara untuk mengenal Tuhan dan sampai kepadaNya sesuai dengan Idealisasi Tentang kesempurnaanNya, dengan nama-namaNya yang baik atau Asma ul Husna. Namun kesimpulan akhirnya terserah dari aktualitas lahir dan batin dirinya mau Berserah Diri atau menjadi antipati terhadap kenyataan bahwa dirinya ternyata lemah, hina, fakir, dan tanpa daya.
Azazil akan muncul menjadi nama Mr. X jika ia bersandar pada daya upaya dirinya sebagai makhluk, yang akhirnya muncul adalah kesombongan diri yang menabiri dengan mengangan-angankan kekekalan dirinya. Produk akhirnya adalah Mr.X yang sebenarnya telah mengetahui kearifan menjadi si Fir’aun. Dari kaum Fir’aun yang menjadi Kafirun ini maka lahirlah Bani Ablasa sebagai kaum yang memutuskan diri dari rahmat PenciptaNya. Sehingga disebutkan bahwa Ablasa sebagai Iblis yang semula adalah kaum arifin yang disebut Grup Azazil yang berilmu tinggi jatuh dalam kehinaan karena mengenakan selendang Kesombongan PenciptaNya.
Dari kaum Ablasa ini lahir kaum al-Kafiruun yang diungkapkan di QS 109. Surat al-Kafiruun sebenarnya secara simbolik mengungkapkan bagaimana Mr. X mempunyai pilihan bebas yang bertanggung jawab yaitu menjadi Adam sebagai Awlia Allah atau Adam Awlia atau mau menjadi Kaum Ablasa yang memutuskan diri dari rahmat Penciptanya dengan berbagai tipu muslihatnya untuk menjerumuskan manusia sebagai Bani Adam kedalam kegelapan Bani Ablasa dimana penjara tergelapnya disebut sebagai Penjara Ghairullah (selain Allah atau kaum Syirikus Kuntulbarisus) . Karena asal usul niat dan hasratnya sama, yaitu Mr. X yang mencari PenciptaNya dan dekat padaNya, kaum Ablasa pun akhirnya bisa menyusup dalam berbagai jubah Bani Adam baik dengan menggunakan Perahu Agama, Sains, Kemanusiaan, Ham dan lain-lainnya.
Mr.X yang sadar dengan kelemahan dirinya sebagai makhluk, lahir kembali menjadi Adam Awlia dengan ampunan dan taubat yang dinyatakan Allah sebagai maghfirah-Nya yang membukakan pintu hidayah sampai akhir zaman. Dari keinginan Mr. X yang juga mengimpikan kekekalan, Allah menganugerahkan kelestarian terbatas dalam maghfirahNya berupa Siti Hawa sebagai manifestasi Ketuhanan yang Kesepuluh sedangkan bentuk Adam memanifestasikan Satu sampai Sembilan yang kelak melahirkan sistem pengetahuan desimal dan abjad hijaiah yang memiliki 28 huruf sebagai huruf sempurna dan 1 huruf yang menyatakan manifestasi Cinta Ilahi dalam bentuk kaum Hawa.
Sebagai pasangan Adam dan Hawa maka kelestarian berupa kontinuitas penciptaan makhluk diteruskan dalam koridor Al-Mizan yang benar dan lurus. Didalam diri kaum Hawa, kekekalan diubah menjadi kelestarian Diri-Nya sebagai manifestasi al-Rahiim sehingga kaum Hawa mengemban amanat tertinggi DariNya sebagai medium kontinuitas Jamal dan JalalNya.
Akan tetapi Hawa sebenarnya adalah manifestasi dari nafsu kekekalan Azazil yang menjadi Ablasa sehingga selain mempunyai positioning dekat dengan PenciptaNya ia bisa menjadi sebab yang akan memutuskan Rahmat Tuhan karena sebab-sebab kecemburuan. Dengan kata lain meskipun positioningnya sangat dekat namun sifat ketidakstabilannya sangat tinggi yang muncul dari kecemburuannya. Manifestasi nafsu Azazil menjadi Hawa yang muncul dari sulbi Adam adalah ungkapan metafor yang menjelaskan hubungan Azazil-Adam dan Hawa yang sebenarnya adalah bagian dari Rahmat dan Kemahapemurahan Allah yang menyatakan Wa Nafsi didalam diri manusia agar ia bisa mengenal Diri-Nya melalui Pengetahuan- Nya dengan dasar-dasar yang sama yaitu Tauhid, dengan instrumen Akal Pikiran dan Hati sebagai medium pengungkapan Diri pencipta yang sesungguhNya atau Singhasana Sesungguhnya. Akan tetapi aktualitasnya dalam bentuk makhluk akan berbeda tergantung pada kadar kehendak bebas yang dinyatakan si makhluk sehingga tanggung jawabnya tetap personal sesuai dengan apa yang bisa dinyatakannya di Panggung Sandiwara Dunia. Neraka bagi kaum Ablasa sebenarnya sudah diciptakannya di dunia ini sesuai dengan perbuatannya dan perilakunya yang mendustakan rahmat Tuhannya, neraka yang selanjutnya adalah Penghisaban di depan Allah, Azizul Hakiim.
Dimata Tuhan posisi Hawa memang lebih tinggi di banding Adam karena hijab terakhir antara Mr. X yang menjadi Adam Awlia adalah anugerah ampunan dengan bersandar pada Pertolongan Allah (jadi kenapa QS 110 disebut Pertolongan Allah ditempatkan setelah QS 109 al-Kafiruun mempunyai kaitan dengan maksud munculnya kesadaran Aslim sehingga manusia Adam mendapat hidayah berupa pemahaman tentang dirinya sebagai makhluk yang berpasangan) memunculkan Hawa yang menjadi istrinya, yang berkembang biak menyatakan manifestasi Allah, Rabbul ‘Aalamin.
Mr. X yang tertabiri ilusi kekekalan merana dalam kesombongan dan kebodohannya sendiri yang akhirnya justru menjadi hijab terbesarnya untuk sampai kepada Tuhan dan merekapun muncul sebagai Bani Ablasa yang memutuskan diri dari rahmat Tuhan dan menjadi penggerak tipu daya di dunia dengan menunggangi Pengetahuan Tuhan dalam bentuk dan rupa serta jubah-jubah yang menyembunyikan kedengkiannya karena ilusi kekekalan yang diangankannya.
Begitulah kisah Mr. X yang bisa jadi saya atau Anda, yang selalu ada di setiap zaman yang diungkapkan menjadi simbol-sibol kemanusiaan kita hari ini maupun simbol-simbol hawa nafsu yang menjadi keiblisan kita. Pilihan tergantung pada diri kita sendiri dengan memohon ampunan dan taubat untuk mendapatkan pertolongan Alah sebagai suatu fakta dan bukti bahwa kita sebagai bani Adam memang pantas disebut sebagai manusia atau bukan.
Petunjuk Dari-Nya sudah cukup jelas, maka carilah tabir pelindung yang bisa mengantarkan dirimu ke jalan yang luas dan lurus sebagai jalan yang diberi nikmat yang banyak dalam keselarasan dengan Kehendak Allah, bukan jalan mereka yang terpuruk kedalam Penjara Ghairullah (QS 1:7).
Bukti dan faktanya bisa dilihat kalau kita melihat dengan seksama pada diri kita sendiri khususnya Ibu jari dan telunjuk yang bisa memegang apa saja dan berbuat apa saja sesuai dengan kualitas lahir dan batinmu. Mengenai tanggung jawab, juga sudah jelas. Bukankah kita semua mempunyai sidik jari yang unik dan tak ada duanya, bahkan kalau kita kembar sekalipun? Nah itulah tanda TanganNya yang akan menyebabkan kita berada dihadapanNya secara satu demi satu sesuai dengan tangggung jawab perbuatannya masing-masing. Bukankah itu Kemahabijaksanaan Allah sebagai Diri-Nya yang menjadi Aziizul Hakiim? Kalau masih belum jelas lagi, carilah Film yang dibintangi Anthony Hopkins yaitu Final Cut untuk mendapat gambaran yang lebih nyata dan mungkin bisa terjadi. Kalau masih belum jelas juga, maka hanya Allah lah yang bisa menyembuhkan penyakit summum bukmum umyun yang melekat didalam dirimu. Maka shalatlah karenaNya dan berdoalah dengan memohon ampunan padaNya saja bukan pada yang lainnya.