Thursday, May 10, 2007

Dasar Yang Kokoh untuk Menjadi Umat Islam yang Bani Adam bukan Bani Ablasa

Apakah dasar yang kokoh untuk menjadi Umat Islam dan memahaminya sebagai ISLAM dalam perspektif lahir dan batin yang luas, mulai dari kehidupan pribadi sampai lahirnya suatu peradaban umat manusia yang mayoritas akhlaknya adalah Akhlak Muhammad?

Pertanyaan ini secara tidak langsung tersirat dari beberapa email teman saya yang menanggapi beberapa tulisan saya yang mungkin termasuk kontroversial. Dibilang kontroversial karena dalam penulisannya saya jarang menyebutkan referensi dari ulama A,B atau C (meskipun saya mempunyai beberapa buku referensi tapi saya tidak harus terikat dengan pendapat mereka, referensi saya perlukan hanya sekedar pembanding saja). Kebanyakan saya menguraikan ayat-ayat AQ dan hadis, yang tak habis-habisnya memancarkan air pengetahuan baik yang sifatnya ruhani maupun yang sifatnya materialistik yang sejatinya menjadi dasar semua ilmu pengetahuan umat manusia hari ini, dengan melihat realitas kehidupan sehari-hari diri saya dan sekeliling saya, mulai dari cara mengolah tanah,melihat binatang kaki 1000, laba-laba, sampai abad dijital yang cuma tersusun atas kaidah huruf Ba atau kaidah Biner 10,11,100,101, 111,1000, 1001…dst….

Dasar utama menjadi Umat Islam ternyata sebenarnya sangat sederhana yaitu ASLIM Nabi Ibrahim a.s yang tidak lain saya maksudkan secara harfiah sebagai Berserah Diri di hadapan Kemahakuasaan Allah sebagai Rabbul ‘Aalamin, Pencipta, Pemelihara dan Pendidik Semua makhlukNya, secara langsung TANPA PERANTARA.

Nah, di akhir kalimat ini saya tertegun bahwa memang sejatinya semua makhluk itu berhubungan langsung dengan Allah. Masalahnya kenapa sejauh ini kita umumnya MERASA TIDAK BERHUBUNGAN LANGSUNG DENGAN ALLAH?

Ternyata, ada belapis tabir yang menyelimuti makhlukNya. Mulai tabir yang kasat mata berupa bentuk makhluk yang berbagai rupa, sampai yang paling halus yang cuma bisa pahami sebagai Ruh saja atau dalam QS 6:98 disebutkan tentang Jiwa Yang Satu yang dititipkan ke dalam setiap entitas kemakhlukan.

Tabir itulah yang sejatinya tabir langit bumi yang berlapis 7, dimana setiap lapisan terdapat 10000 tabir seperti diungkapkan dalam salah satu hadis Rasululloh yang saya temui di buku Al-Ghazali “Mysikat Al-Anwar”. Namun, dari semua tabir itu yang paling jelas sebenarnya tabir ilmu yang tidak lain adalah sistem ilmu pengetahuan manusia berupa bilangan, abjad, alfabet atau jenis huruf lainnya yang dapat diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Meskipun ilmu parsialnya muncul sebagai ilmu agama, fiqih, matematika, fisika, biologi dan lain sebagainya tapi semua ilmu itu menggunakan ilmu paling dasar yang disebut AQ secara simbolik sebagai Celupan Ilahi atau Shibghatalaahi alias simbol-simbol, geometri, bilangan dan huruf. Tanpa itu, kita bisa dikatakan makhluk yang bertasbih saja dan Allah sebagai Yang Maha Berilmu tidak dapat diuraikan (soalnya nggak ada sistem ilmu dasarnya sih, emang mau pake simbol atau huruf apaan?).

Didalam Celupan Ilahi itu, kita memahami fenomena Kemahakuasaan Allah sebagai Rabbul ‘Aalamin dengan 7 langkah penguraian yang saya sebutkan dari setitik debu niat Allah yang jatuh di hati manusia sebagai pengemban amanat atau sebagai Khalifah (makhluk yang berpengetahuan Tuhan, jadi bukan raja2 atau Presiden seperti yang kita lihat hari ini) menjadi tatanan peradaban. Secara ilmu fisika pun logika dan rasa kita hanya 7 langkah menguraikan Kemahakuasan Allah misalnya dari benda bermassa sebagai obyek sampai dunia kuantum yang mendeskripsikan wilayah kuantum dengan citarasa quark. 7 langkah secara fisika adalah (ini tidak mutlak tergantung kit amenguraikannya bagaimana, namun ada 7): 7. Obyek (realitas alam materi), 6. jaringan & organ, 5. Sel, 4. molekul, 3. atom, 2. Kuantum, 1. Quarks (harus kombinasi 3 kuark).

Lebih dari itu kita tak tahu paling cuma sekedar hipotesis tentang Potensial Kuantum yang eksis secara harmonis dengan kemampuan untuk melakukan symmetri breaking, yaitu memecah sendiri kalau frekuensinya makin rendah. Dan didalam AQ tatanan 7 ini menjadi Pembuka karena tidak lain adalah 7 ayat surat al-Fatihah yang kemudian terurai menjadi 6236 ayat dengan 114 surat. Bahkan bagi mereka yang berkecimpung di pemograman neural pun ada 7 langkah untuk menguraikan input menjadi output.

7 langkah itu adalah tabir 7 langit bumi yang bergejolak didalam Wa Nafsi kita sebagai suatu entitas energetis yang muncul akibat sifat-sifat materialistik kita. Nah gejolak Wa Nafsi inilah yang membangun karaktek akhlak dan perilaku manusia yang mempunyai akal pikiran dan mempunyai dimensi ruhaniah yang disebut Qalb.

Kalau Wa Nafsi ini tidak dikendalikan sejak dini, maka seperti disebutkan dalam QS 91:1-7 Wa Nafsi itu bisa menjadi jahat, tetapi kalau diolah dengan Penyucian Jiwa yang benar, dengan bimbingan guru ruhani yang benar , dengan pedoman yang benar yaitu (AQ) dan sesuai dengan prinsip dasar syariat maupun cara membuka tabir jiwa manusia sehingga perjalanannya menjadi makrifatullahnya di hadapan Allah, wa nafsi ini dapat dikendalikan.

Dari pengendalian Wa Nafsi, yang muncul adalah aspek kelembutan manusia sebagai makhluk yang dianugerahi limpahan Rahmat dan Kasih sayang PenciptaNya untuk meneruskan kontinuitas KemahakuasaanNya yang selaras dengan Niat Allah memperkenalkan DiriNya sebagai Tuhan Yang Maha Esa (maksud singkatnya: menikahlah dan teruskan generasi manusia ini smapai daya dukung Bumi tidak memadai dankaimat besar terjadi). Nah, prinsip kedua Islam tidak lain adalah Penyucian Jiwa sebagai suatu metode untuk mengungkapkan makna dan arti 7 langit bumi hawa nafsu manusia.

Meskipun manusia menyucikan jiwanya, manusia juga harus memahami dengan akal pikiran dan hatinya dengan membaca Jamal dan Jalal Allah yang kelak terurai menjadi Asma Ul Husna.

Cara membacanya dapat dua arah yaitu melihat Alam Semesta dan melihat diri sendiri sebagai hamba Allah bukan menyombongkan diri dengan ke-”aku”-an. Selama aku ini muncul, manusia akan jatuh karena tidak memenuhi syarat ASLIM. Demikian, juga ketika ASLIM terjadi, tetapi manusia melalaikan anugerah akal pikiran dan hatinya maka iapun bisa jatuh juga. Jadi, prinsip dasar ketiga untuk menjadi Islam yang benar adalah IQRA. Baik ASLIM, menyucikan Jiwa, dan IQRA tidak bisa kita tentukan mana yang duluan. Yang jelas, kalau mau optimum ketiganya harus ada dalam keadaan seimbang tanpa cacat (renungkan maksud Qs 67:3-4).

Karena tidak tahu mana duluan (ini tergantung maunya Allah bukan maunya makhluk see QS 24:35), secara formal Agama Islam menyatakan dasar-dasar akidahnya tidak secara langsung menyebutkan ASLIM, Menyucikan Jiwa, dan IQRA tetapi pada ASPEK KEYAKINAN Dan KEIMANAN TERLEBIH dahulu yaitu KALIMAT SYAHADAT dan penguraian Iman, Islam, Ihsan yang formalitasnya dikodekan sebagai 165 dan tersirat di QS 2:1-5 serta beberapa ayat lainnya (renungkan juga kode 165 adalah jumlah nilai dari 12 huruf Laa ilahaa illaa Allah).

Karena itu, keyakinan kepada Adanya Allah mendahului semua perjalanan ruhani manusia. Tanpa keyakinan sejak awal tentang Alllah itu Maha Esa dan bersyahadat atas Rasulullah sebagai Washilah dan pelindung atau tabir pelindung ketika memandang Jamal dan Jalal Allah di 7 langit bumi dengan Islam, semua perjalanan ruhani akan mengalami suatu lika-liku yang bisa mengarahkannya kedalam penjara Ghairullah (selain Allah, dan selain Allah ini bisa nyaru dengan baju Islam atau mengatasnamakan Agama Islam sebagai Ajaran Agama. Jadi berhati-hatilah jangan sampai kita masuk ke wilayah kelompok Ghairullah ini).

Pada akhirnya perjalanan ruhani memerlukan pembimbing yang benar supaya tidak tersesat karena godaan selama perjalanan ruhani itu ada mulai dari langit ke-1 sampai ke-7, mulai digoda untuk menjadi kaya sampai digoda menjadi wali Allah. Jadi, yang merasa ilmu pengetahuan agamanya makin tinggi justru godaannya sangat banyak dan halus, sampai-sampai mungkin tidak menyadarinya bahwa itu suatu godaan. Disinilah manusia akhirnya butuh Pertolongan Allah supaya citarasa Al-Kausar yang telah dilaluinya dengan melakukan proses penyingkapan tabir Jiwa tidak jatuh kepada kekafiran yang dijelaskan dalam rangkaian surat ke-108,109,110, 111,112,113 dan 114.

Buah apakah yang dihasilkan dengan Menjadi Islam yang benar-benar hanif dan kaffah tanpa distorsi keakuan atau hasrat untuk memanipulasi agama untuk kepentingan sesaat di dunia?

Buahnya adalah al-Sakinah dengan ditetapkannya Cahaya Allah di dalam Hati umat Islam yang hanif dan benar-benar Kaffah bukan kaffah-kaffahan di mulut atau retorika belaka. Al-Sakinah yang akan menciptakan ketenangan manusia untuk menghadapai SITUASI APAPUN JUGA yang mungkin dinilai oleh orang lain sebagai menakutkan.

Mereka yang mencapai al-Sakinah akan berjalan sebagai hamba Allah yang sadar dengan sekelilingnya, baik dirinya, keluarganya, kaumnya maupun bangsanya. Dan mereka yang telah memperoleh al-Sakinah adalah mereka yang menjadi Jundullah sebagai cermin-cermin Ilahi yang menyampaikan Pengetahuan Tuhan dengan menampilkan akhlak Muhammad sebagai al-Insaan al-Kamil, personifikasi paling mulia dari makhluk bernama manusia sebagai Bani Adam dan Hawa.

Tanpa bukti dengan akhlak Muhammad dalam keseharian kita, baik dengan tangan, lidah,kaki, ucapan, atau pun perbuatan kita maka tolong mawas diri dulu sejauh apa sih keislamana kita? Apakah islam ikut-ikutan atau Islam yang Aslim, yang membaca AQ dengan kesadaran sebagai hamba Allah atau membaca AQ cuma sekedar celoteh lidah tak bertulang saja?

Dan semua itu memerlukan proses serta tidak serba instan. Perlu istiqomah untuk menjalaninya supaya kita tak terjebak pada hura-hura sesaat, wira-wiri yang menipu menjadi umat islam-islaman saja yang rapuh dan lemah lahir batin, lemah akal pikiran, lemah hati, lemah iman dan lemah segalanya. Rapuh dan lemah bagai buih yang mudah tersapu gelombang perubahan zaman yang ganas, yang menerpa mulai dari ruang keluarga kita melalui TV, koran, di perjalanan selama kita ke kantor, ke sekolah atau ketempat lainnya, dan dimana saja kita berada. Bahkan dalam perjalanan ke masjid pun godaan setan datang dari kiri, kanan, depan dan belakang. Kecuali dua arah yang tidak mungkin disusupi yaitu keatas melihat Kemahakuasan, Kemahabesaran Allah, dan kebawah dengan bersujud atas kehambaan kita dihadapanNya.