Thursday, May 10, 2007

Kisah Bani Adam dan Hawa Dari Zaman Batu Hingga Abad Digital

Lama saya merenungkan apa sebenarnya hikmah Adam dan Hawa dalam sejarah kemanusiaan yang dikenal sampai hari ini yang penguraiannya bersandar pada simbol, geometri, bilangan dan abjad. Kita disebut Insaana Fi Ahsaani Taqwiim dengan kekhasan sebagai Bani Adam dan Hawa atau Bani Desimal dan Abjad sebagai makhluk yang tercelup, tenggelam dan berenang-renang dalam lautan Shibghatlallaahi (QS 2:138) dengan kapasitas untuk membolak-balikkan kedua telapak tangan kita untuk bertindak dengan 10 bilangan dan 28 huruf sempurna (huruf Hijaiah), dan membangun dengan dasar-dasar lima bentuk benda menjadi berbagai rupa bentuk buatan tangan dan kaki manusia mulai dari batu bulat buat dilempar, rumah, membajak tanah dan mengolahnya, membuat alat tulis, sampai lahirnya ponsel yang hanya digerakkan oleh ibu jari dan telunjuk kita untuk berkomunikasi dan menyampaikan sesuatu pesan singkat

Kalau mau kita telusuri sepanjang sejarah yang bisa kita rekonstruksikan dengan pengetahuan yang kita kenal di hari ini, maka sesungguhnya memang sejarah kita adalah suatu rekayasa yang telah dibuat sedemikian rupa sehingga makhluk cerdas berpengetahuan mampu merekonstruksikan secara otonomi guna mengenali asal usulnya sendiri secara individual maupun bersama-sama sebagai suatu komunitas dan berakhir pada suatu titik dimana kita diminta untuk menarik kesimpulan sebagai “KEYAKINAN YANG HAQ BUKAN YANG BATIL” dan “BERTANGGUNG JAWAB SECARA INDIVIDUAL SESUAI DENGAN SIDIK JARI MASING-MASING (DAN TENTUNYA SIDIK DNA KITA YANG NO 8)” dengan modal kenyataan kalau diri kita sejatinya tanpa daya upaya tanpa adanya Pertolongan Dari Yang Maha Tinggi, yang Namanya sejauh ini kita rekayasa sedemikian rupa untuk selaras dengan semua fenomena yang kita lihat hari ini sebagai suatu realitas kehidupan dimana manusia sebagai suatu makhluk ternyata merupakan satu-satunya makhluk yang kemampuannya sangat dominan bila dibandingkan dengan jenis makhluk lainnya karena adanya kemampuan merekayasa ini sebagai anugerah dari Rabbul ‘Aalamin (Inteligence Being).

Perjalanan manusia untuk mengungkapkan siapa saya dan siapa Dia akhirnya terpecah menjadi dua arah sesuai dengan hukum-hukum dasar saling berpasangan sebagai kenyataan yang tidak perlu dibuktikan lagi. Arah itu kita sebut sampai hari ini perjalanan mikro dan makro, eksoteris dan esoteris, ruhani dan materi (dalam hal ini energi saya kategorikan masih termasuk materi), yang ghaib dan yang nyata, dan berbagai ungkapan lainnya yang saling berlawanan bagai elektron dan positron, materi dan anti materi namun sejatinya saling berkelindan menyeimbangkan diri sesuai dengan hukum-hukum yang kita kenal dari fakta yang kita temukan dan kita ilustrasikan secara geometrik, simbolik, maupun numerik sebagai hukum Keseimbangan Tanpa Cacat atau Golden Mean atau Golden Ratio alias 1,618 kali 1000.

Ketika manusia mulai bisa berbahasa dengan nada-nada yang lebih enak di dengar telinga, ungkapan numerik pun direkonstruksikan untuk mewakili Citra Ideal yang sesuai dengan hukum-hukum alam di Planet Bumi dan sistem pelindungnya sehingga lahirlah Nama-nama dengan tangga nada dan sistem huruf yang lebih lembut sebagai Nama-nama-Nya yang baik (Asma Ul Husna). Makhluk berlabel “manusia sebagai Anak Adam dan Hawa” muncul dari kemampuan eksoteris dan esoterisnya sebagai citarasa dan daya pikirnya, yang menyatakan perbedaan dirinya dengan makhluk ciptaan lainnya.

Manusia pun bukan lagi sekedar makhluk yang hanya mengeluarkan bentakan kasar, geraman, auman, raungan, rintihan, erangan, desas-desus, gosip, atau sekedar lengkingan yang mendirikan bulu kuduk kita kalau mendengarnya. Namun, manusia mampu menyatakan setitik niat yang muncul setiap saat waktu hidupnya menjadi citarasa gerak gerik perilaku, tindakan, dan kata-kata yang lebih lembut dan indah yang bisa selaras dengan nada-nada dasar alam semesta, baik dinyatakan dengan nyanyian, syair maupun tulisan yang bersifat ilmiah. Sejak itu, manusia mungkin boleh dikatakan telah lahir sebagai "Adam dan Hawa" yang "manusia”, yang "berpengetahuan" dan berbahasa dengan indah sehingga ia bisa mengisahkan kisah cintanya sesuai dengan perasaan terhalus dan paling artistiknya yang bisa dinyatakannya dengan 7 tahap penguraian sebagai 7 keajaiban dunia sesungguhnya yang sedekat diri kita.

Cintalah akhirnya yang menjadi Lem Perekat (Glue) segala sesuatu sebagai Potensi Kuantum tersembunyi dalam diri manusia yang mampu mengubah seluruh penampilan yang ada pada kita maupun yang ingin kita nyatakan. Lahirnya bangunan-bangunan yang mewakili suatu peradaban, karya-karya seni umat manusia yang nampak bagus dimata dan menggoda, ataupun bentuk peradaban yang sungguh luar biasa di zamannya sampai hari ini, tidak lain dari ungkapan kisah cinta yang melahirnya legenda abadi dengan taburan darah dan airmata, antara perang dan damai, sampai munculnya Kitab Wahyu maupun kitab keagamaan lainnya juga dari Cinta yang merekat realitas kehidupan kita sebagai realitas Indra Maya yang sementara (atau Mayapada).

Kehidupan memang panggung sandiwara, dan kita dimainkan dari Niat Sang Pencipta untuk memperkenalkan DiriNya, untuk bersenda gurau didalamnya dengan bumbu pahit dan manis, madu dan racun, memilah dan memilih yang bisa membuat kita menangis sebgaai pengajaran dariNya, demikian pula dengan cemas dan harap kepada Dia Yang Maha Tinggi sebagai sandaran Puncak semua makhluk, Dia adalah Allah, Rabbul ‘Aalamin, Dia Yang Maha Esa, dan Dia adalah Cahaya Di atas Cahaya (Qs 24:35).

Ketika Adam dan Hawa dipertemukan, Cinta Adam kepada Hawa pun lahir bukan sekedar cinta yang dilandasi karena geraman dan raungan Wa Nafsi semata dengan ketelanjangan diri di hadapan segala sesuatu yang ada dalam sistem kehidupannya. Cinta Adam dan Hawa adalah cinta yang lahir dari Jamal dan Jalal Sang Pencipta makhluk yang tak bisa dibayangkan bentuk dan maujudnya kecuali dari citra penampilan Diri-Nya yang dipenuhi kelembutan dan keindahan, yang tampil dalam citra manusia Hawa/Adam yang menarik minat manusia Adam/Hawa lainnya untuk lebih mengenalnya dan menyatakan keinginannya sampai gerak gerik jemarinya menuliskan gambaran Ideal dari Wajah Hawa/Adam yang indah dalam rupa yang menampilkan Kemahaindahan dan Kemahagungan Sang Pembuat Segala sesuatu.

Adam/Hawa bagai Pembuat Tembikar dari lempung yang terpesona dengan dirinya, karyanya, dan terpesona dengan segala sesuatu yang dilihatnya baik disebut alam semesta, Planet Bumi dimana ia hidup, bunga-bungaan, semua makhluk yang hidup dari bentuk renik seperti semut , laba-laba, keluwing kaki 1000, onta, anjing, kucing, elang perkasa, maupun burung utopia sebagai burung Anqa, rumput yang tertunduk, tumbuh-tumbuhan yang daunnya berguguran, maupun kekasihnya sebagai Hawa/Adam yang maujud dalam bentuk Idaman-nya yang merefleksikan Kemahaindahan dan Kemahaagungan Pencipta dirinya sebagai pencipta sekaligus pemelihara dan pendidik dirinya yang makhluk.

Dari pandangan ke-Adaman-nya ia pun memproyeksikan citarasa tertingginya yang paling logis-ideal kepada Pembuatnya sendiri yang kelak dikenali dari jiwa murninya sebagai ar-Raab.

Saya tidak menyebutkan dua nama yang umum yang sebenarnya mempunyai konotasi negatif kalau kita nilai dari sisi adab kemanusiaan saya yaitu God dari dog dan Tuhan dari hantu. Nampaknya kedua nama ini produk satiris yang menyindir manusia karena sering berolah kata tanpa dibarengi dengan akhlak kemuliaan Bani Adam dan Hawa sebagai Khalifah Allah sebagai gambaran yang dilihat oleh manusia yang mengungkapkan dirinya sebagai hamba yang paling hinadina (kalau mau enak sebut saja yang membuat nama God dan Tuhan itu seorang Pendekar Hina Kelana ). Sampai hari ini, nama God dan Tuhan masih digunakan banyak orang karena sebab-sebab yang berkaitan secara psikologi dengan semantik yang diperkenalkan di masa Mesir Kuno dimana Nabi, Rasul, dan Kaum Arifin disebut sebagai Anjing Hantu (begitulah kiranya asal usul kisah legenda anjing yang menggonggong itu melihat hantu yang saya dengar sejak saya masih kecil dan saya lihat di sinetron dari suara rekaman yang suaranya berulang itu-itu saja aungggggggg…oe… oe…). Mungkin pembuat kosa kata God dan Tuhan itu meledek seluruh umat manusia dengan proyeksi yang paling menghinakan karena kebutaan mata hati kita mengenal Pencipta kita sendiri, maka ungkapan kepada Pencipta makhluk pun diselubungi hakikat kemanusiaan kita yang semu yang tak lebih dari anjing, dog atau hantu atau hamba, maka dari pandangan satiris itu Nama Pecipta pun diumumkan oleh Si Pendekar Hina Kelana sebagai God atau Tuhan.

Pengenalan manusia ke citra dan bentuk ideal sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, sejak manusia yang bermukin di China bisa membuat tembikar dengan bentuk koin berlubang maupun bentuk pilinan seperti posisi Kaki 1000 yang tertidur (simbol 6 dan 9 atau 69 atau Thaasin, see QS 69:1).

Ketika bentuk tersebut lebih diidealisasikan, maka yang dikenali kasat mata adalah Lingkaran yang muncul dari Titik dengan berbagai metafora misalnya setetes embun jatuh di kolam yang bening, menjalar membangun riak gelombang harmonis, bersuperposisi dan membangun ikatan-ikatan realitas yang disebut kehidupan makhluk. Pada akhirnya, dari ungkapan setetes embun atau debu yang jatuh diatas kolam muncul teori gelombang harmonis dengan formulasi yang diajarkan kepada umat manusia yang pernah duduk di bangku sekolah sampai hari ini.

Kita mengenal nenek moyang kita sebagai Adam dan Hawa pun nampaknya erat kaitannya dengan kemampuan manusia (kita ini) untuk melakukan kilas balik dari perjalanan terjauhnya ke jarak yang paling dekat sebagai diri kita sendiri. Fantasi masa kini dengan film Contact, Star Wars, Star Trek dan Babylon-5 yang menjelajahi angkasa luar adalah perjalanan manusia mencari utopia yang paling abadi yang masih dikenal yaitu mencari asal usul kita sebagai suatu idea ideal yang sebenarnya mencari jawaban abadi atas pertanyaan “Sangkan Paraning Dhumadi”.

Perjalanan eksterior pun mencapai taraf paling jauh hari ini sampai kita bisa masuk ke perut bumi, membocorkan isinya untuk semua kepentingan kita dari mulai minyak sampai tanah berlumpur tanpa memperhatikan harmoni dan keselarasan di sekitarnya, menembus angkasa luar mencari planet terjauh yang masih bisa kita reka dengan harapan menemukan makhluk ET supaya bisa disebut penemu pertama dan namanya masuk Guinnes Book of Record atau dapat Nobel, dan yang paling akhir dengan genetika kita pun masuk ke dalam diri sendiri namun dengan cara eksterior dengan menguraikan sandi-sandi genetika kita sendiri sebagai makhluk yang secara jelas terdiri atas pasangan kromosom berjumlah 23 atau 2x23=46. “Peta kita sudah diuraikan”, begitu berita sains terbaru saat ini. Kisah peta genetik pun saat ini menjadi berita paling gress di bidang sains genetika dengan pro dan kontranya dan mengalahkan kisah Stephen Hawking yang memburu cahaya di tepi Lubang Hitam dan bertanya tentang arti Sang Waktu : real atau imajiner. Atau bertanya tentang arti Nol itu isinya berapa? Pertanyaan variatif yang sejatinya sudah lama muncul sejak Aristoteles bertanya, : mana duluan telur atau ayam? Atau Columbus memecahkan solusi cara menegakkan telur yang bulet dengan cara menggeprakkannya supaya bisa berdiri. Atau mau solusi yang lebih ruhaniah, bagaimana cara menembus bintang dan membelah bulan? Dan semua itu sebenarnya masalahnya cuma satu, bagaimana dulu Nabi Adam a.s sebagai manusia pertama yang mencitrakan Hawa sebagai Matahari membuat bentuk titik jadi lingkaran yang sempurna dan menguraikannya menjadi sistem ilmu pengetahuan dasar cara kita menghitung, mengukur, dan cara kita berbahasa, lantas memetaforakannya.

Dari Adam a.s itu, maka Pengetahuan Tauhid sebagai ilmu dan agama lahir mengalir melalui sungai waktu, dan kemudian dikenali, lantas airnya diminum dengan cara berbeda-beda dan tergantung si peminum atau kondisi ruhaniahnya, kejernihan hati dan akal pikirannya, dan yang penting kemampuan mengendalikan nafsunya, apakah masih selaras dengan kehendak Penciptanya atau tidak? Apakah masih dilaburi kesombongan diri tanpa ASLIM atau tidak?

Firman-firman Pencipta pun dibaca oleh nabi dan rasulnya dalam keadaan akal dan hati yang ASLIM, yang paling jernih dan paling menghamba. DAN siapapun yang membaca dengan diliputi hawa nafsu, dengan sezarah kesombongan yang masih melekat, tanpa Iqra yang benar dan tanpa menyucikan dirinya (yang paling sederhana yaitu berwudhu) akan mudah digelincirkan wa nafsi-nya sebagai ular berbisa yang melilit rahasia dirinya sebagai Pohon Tauhid, yang akan mematuknya dan akan menghanguskannya menjadi gosong.

Tetapi apa sebenarnya yang telah kita lakukan dengan semua itu? Apa yang kita buru dan ingin buktikan atau apa yang ingin dapat dinyatakan di Planet Bumi ini semuanya menjadi suatu kisah yang beraneka warna dan warni dimana disela-selanya kita pun bisa menjadi kaya raya karena metafora kita, menjadi kaya dengan menumpahkan darah, airmata dan cinta buaya darat sebagai bagian dari sejarah kemanusiaan kita yang aslinya Bani Adam sebagai Insaana Fii Ahsaani Taqwiim, sebagai makhluk cerdas yang bisa merasakan kehidupan di bawah naungan sinar mentari dengan menguraikan ilusi optik tentang realitas dengan dasar Red Gren Blue. Well, itulah apa yang muncul sejauh ini dengan perjalanan ke berbagai arah yang bersifat eksterior.

Perjalanan manusia ke arah interior yang tak tampak di mata pun dimulai sudah sejak lama. Ketika realitas mulai dipahami sebagai bagian dari ulah sang mentari, maka dulu di penjuru dunia muncul para pemuja Dewa Matahari, Dewi Bulan, dan entah berapa banyak lagi dewa-dewi lainnya yang diungkapkan sesuai di masa tersebut. Anehnya ungkapan demikian nampaknya masih menyelimuti sebagian besar akal pikiran manusia sehingga sengaja dan tidak ada yang bertuhan Satu tapi masih menduakannya. Atau bahkan lebih aneh lagi membuat tuhan-tuhan lain yang muncul dari Wa Nafsi dirinya yang mulai menjadi penguasa jiwa manusia yang aslinya Insaana Fii Ahsani Taqwiim.

Manusia saat ini mungkin perlu sekali mengkaji ulang harkat dan label kemanusiaannya. Gejalanya sudah jelas, baik Pencipta itu telanjang bulat dan termasuk kategori pornografi maupun diselimuti selendang kegaibanNya manusia hari ini masih banyak yang buta matahatinya, banyak yang lebih suka memurukkan diri ke dalam kegelapan jiwanya lantas bermetamorfosis menjadi dajjal, kaum Yakjuj makjuj, dan kaum Bani Ablasa sebagai makhluk yang memutuskan Diri dari Rahmaat Penciptanya.

Sang Pencipta sesungguhnya sudah melimpahkan rahmat dan maghfirahNya tanpa menuntut apapun kecuali kehambaan makhluk untuk patuh/nurut/ Aslim pada perintah dan wewenangnya yang mesti dipatuhi karena sebab-sebab utama yang berkaitan dengan keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat.

Perintah dan wewenangNya sebagai al-Haqq itu sejatinya sudah dinyatakan secara inheren karena manusia sudah dianugerahi kemampuan berpikir, sudah dianugerahi instrumen logis dan kemampuan hati untuk memaknai, selain dilengkapi dengan penjejak dan kendaraan dari Penciptanya yaitu Wa Nafsi sebagai anjing sekaligus kuda tunggangannya, yang muncul dari konsekuensi logis jasad materialistiknya yang butuh makanan dan minum. Dengan semua arsenal kemakhlukan itu manusiapun disiapkan untuk mampu merespon dan menyatakan niat Penciptanya menjadi tindakan yang nyata dengan pedoman yang benar. Semua itu asal mulanya fitri, namun bisa menjadi taqwa dan jahat kalau tidak mau IQRA dan menyucikan jiwa (simak QS 96:1-5, QS 91:7-10, dan ayat-ayat sejenis).

Esoterisme manusia membuka tabir kedirian kita sebagai makhluk 1 dengan 3 wilayah ruhani yang disebut Hati atau Qalb, akal pikiran, dan wa nafsi. Namun, penggerak utamanya sebagai produk interaksi energi dan materi adalah Cahaya Diatas Cahaya yang KekuasaanNya muncul sebagai cahaya mentari dan gelombang gravitasi sebagai lem perekat aspek materialistik yang direkatkan melalui untaian 7 langit bumi akal pikiran dan citarasa kita.

Lalu, dengan al-Mahabbah atau Cinta Ilahi sebagai Potensi Kuantum yang ada di semua manusia yang berakal pikiran maupun pada makhluk lainnya. Contoh sedemikian CintaNya kepada semua makhluk ciptaanNya dinyatakannya dengan bahasa kehidupan, sampai-sampai seekor burungpun enggan menginjakkan kakinya kepada anak-anaknya (kalau gak salah ini hadis nabi?).

Cinta Sang Pencipta dinyatakan dalam berbagai rupa bentuk makhluk, namun sarana dari obyek utama Sang Pecinta (Allah) adalah makhluk yang kelak disebut manusia Bani Adam sebagai makhluk yang dibaguskan rupanya lahir dan batin dan dilengkapi dengan instrumen atau sarana untuk menghimpun kemampuan mengenal Pecintanya yang juga Penciptanya, dan bisa kembali selamat kepada-Nya melalui jalan yang luas (laa ilahaa ilaa Allah) dengan panduan orang-orang yang diberi nikmat yang banyak (Muhammadurrasulullah).

Namun, ironisnya makhluk yang disebut manusia bisa menjadi Asfaalaa Safiilin karena citra kemanusiaannya ambyar dengan perbuatannya yang mungkin tak terbayangkan oleh monyet, burung, maupun harimau sekalipun misalnya memperkosa anaknya, membunuh ibunya, memakan daging saudara sendiri, menjadi geer dan merasa paling benar sehingga membunuh makhluk lain tanpa alasan pun diangan-angankannya mendapat pahala dan bisa masuk surga, merusak lingkungan hidupnya, ataupun perbuatan lainnya yang jauh dari kemuliaan manusia sebagai Bani Adam, ataupun sebagai Insaana Fii Ahsaani Taqwiim, apalagi menjadi Khalifah Allah.

Ketika jubah AGAMA sebagai Jubah Kesombongan Pencipta yang diperkenalkan oleh para Nabi dan Rasul DIRAMPAS DAN DIKENAKAN untuk membenarkan tindakan yang melampaui batas-batas al-Mizan, maka manusia jatuh dari citra Insana Fii ahsaani taqwiim menjadi asfalaa safiilin, jatuh bebas dari telaga al-Kautsar (QS 108) yang digambarkan sebagai nikmat yang banyak dengan Pengetahuan Tauhid di Kehidupan di Planet Bumi dengan Rahmat Muhammad (kehidupan dengan 92 unsur utama penunjangnya) maupun kehidupan di surga kelak, menjadi kaum yang disebutkan di QS 109 sebagai al-Kafiiruun karena lalai lupa bersabar dan bersyukur dan lalai tidak mengorbankan hawa nafsunya, bahkan yang lebih parah sombong dan merasa diri paling tinggi bahkan di hadapan Allah pun masih merasa paling tinggi, sehingga jadilah manusia itu disebut Fir'aun.

Ketika manusia tidak bersabar dan lalai untuk bersukur serta masih enak-enak saja mengenakan Jubah Kesombongan Sang Pencipta yaitu agama untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri, maka kaum kafirun pun lahir dengan selimut kesombongan Pencipta yang dirampas.

KemahakuasaanNya pun akan tampil sebagai MurkaNya yang tidak pandang bulu menjadi adzab lahir maupun batin bagi manusia yang disegerakan karena lalai mengkaji diri sendiri, lalai untuk mawas diri, dan lalai dengan pedoman yang sudah diuraikan sebagai Dzikrul Lil ‘Aalamin, dan akhirnya mereka yang menjadi sombong pun tergelincir dalam lautan hawa nafsu Abu Lahab yang berkobar dimana-mana (QS 111).

Iblis pun muncul di dunia tanpa perlu menyaru lagi dalam bentuk paling membuat gemetar bayi atau anak-anak yang masih ngompol di pangkuan ibundanya, namun tampil dengan wajah tampan dan kemayu yang menggoda yang bisa muncul dari panasnya api kesombongan, api kedengkian, kebodohan, dan kejahiliyahan lainnya yang membusukkan akal pikiran dan membuat hati manusia menjadi carut marut, gosong bagai arang dan karbon yang tidak bisa lagi digunakan untuk bercermin.

Manusia yang melalui wilayah esoterispun kalau tidak waspada dari zarah kesombongan yang ditebarkan Sang Iblis yang lahir dari hawa nafsunya dapat terjerumus sehingga dapat mendatangkan MurkaNya. Tapi ada jalan keluar dengan cara berserah diri (ASLIM) dengan HANYA memohon Pertolongan Allah (QS 110), ikhlas (Qs 112) dalam ridhoNya dan berjalan dengan istiqomah di jalan yang luas sebagai kehidupan di Planet Bumi sebagai ladang amanah untuk mengungkapkan kemuliaan DiriNya dan manusia sebagai obyek CintaNya dengan menyaksikan ulang dan menyatakan Jamal dan Jalal Allah dengan panduan yang benar, panduan 12x12 huruf tauhid Laa ilaha illaa Allah, Muhammadurrasullah (616), selama 1x24 jam sehari semalam sebagai puncak-puncak manifestasi kemakhlukan kita sebagai An-Naas (Qs 114) yang secara individual disebut Insaana Fii Ahsaani Taqwiim.

Tanpa berjalan di koridor maghfirah ini dengan sadar, memohon ampunan dan taubat, dan berserah diri mutlak di hadapanNya, maka manusia bisa tersesat. Baik sangat jauh tersesatnya sampai memutuskan diri dari rahmat Penciptanya dan menjadi Kaum Ablasa, maupun masih berada di koridor yang bisa diperbaiki dengan lebih sadar, mawas diri, berserah diri, ikhlas dan patuh pada perintah maupun larangan-Nya yang nyata maupun yang meski diimani saja karena kondisi ruhani kita (akal pikiran, wa nafsi dan hati kita) masih belum mampu mencernanya.

Dan semua itu sejatinya bermuara pada keseimbangan antara aspek lahir dan batin yang bertanggung jawab. Kepada siapa? Kepada maujud atau label kemanusiaan kita sebagai Insaana Fii Ahsani Takwiim yang al-Mukminun dan al-Mukmin sebagai Hak Allah yang sudah ditetapkan sebagai ketentuan untuk dipertahankan sebisa mungkin dalam korior Kehendak Allah yang potensinya sudah tertentu dengan apa yang ada pada kita.

Keseimbangan itu adalah keseimbangan sistem komplek dengan umpan balik antara manusia, sistem kehidupan manusia, alam, dan Pencipta sebagai realitas dengan maghfirah yang mesti diaktualkan sehari-hari kepada semua makhluk dengan Keadilan dan Keseimbangan yang real (sesuai dengan kemampuan manusia) sebagai al-Mizan Allah yang bisa direalisasikan, disabari dan disyukuri, diistiqomahi, dihayati, dilakoni, dipelajari, dipelihara, disebarluaskan sebagai kegembiraan dan diyakini dengan al-Haqq al-Yaqin bukan sekedar dengan jaree-jaree atau katanya-katanya atau taklid buta.

Keseimbangan tanpa cacat sebagai Pesan Ilahiyah yang merefleksikan Kesempurnaan Sang Pencipta yang Nyata (sesuai dengan kapasitas manusia sebagai obyek CintaNya) adalah suatu Realitas Yang Bersandar pada sunatullah keseimbangan tanpa cacat - Golden Ratio.

Golden ratio adalah Idea awal mula Adam Awlia sebagai moyang umat manusia ketika Allah menunjukkan citra kesempurnaan Dirinya dalam tampilan Yang Nyata yang tertera di makhluk-makhlukNya, tidak dibuat-buat, DAN tidak dipenuhi khayal dan angan yakjuj dan makluj hawa nafsu kita yang telah menganeksasi daya pikir kita menjadi tempat tertinggi turunnya suku Yakjuj dan Makjuj, dan telah membuat matahati kita buta dan menjadi Dajal.

Jadi, renungkanlah kembali kemanusiaan kita menjelang tahun baru 2007 masehi ini sebagai akhir siklus ke-12 atau memasuki siklus ke-13,5 dari 6000 tahun per siklus besar, dan menjelang akhir tahun Hijriah 1427 (1+4+2=7) ini dengan memurnikan kembali jiwa kita dalam kehambaan di hadapanNya dan BACALAH KEMBALI tanda-tandaNya dengan panduan yang benar, tulus, dan jangan diliputi hawa nafsu. Karena sekali hawa nafsu menyelinap, tanpa niat yang lurus dan tulus semua muncul menjadi menifestasi tipu daya setan dan iblis yang lahir dari hawa nafsu kita dan menyebabkan manusia masuk ke wilayah al-Kafiruun (Qs 109), padahal Allah sudah menganugerahkan al-Kautsar (QS 108) bagi manusia yang DAPAT dicerapnya dengan seluruh instrumen lahir dan batinnya dengan sarana pengetahuan Tauhid sebagai pengetahuan Adam dan Hawa. Dan apa yang diungkapkan di surat al-Kafiruun dari ayat 1 sampai 5 bisa menimpa siapa saja yang lalai dengan dirinya, kaumnya dan Penciptanya, termasuk Umat Islam yang sesungguhnya telah diberi Pedoman Yang Benar dari Perbendaharan Tersembunyi semua kitab manusia yang justru sejatinya rujukannya tersembunyi didalam diri kita sendiri dan masih menunggu untuk dibuka lebih jauh dari selimut dan tabir-tabir selubung 7 langit bumi hawa nafsunya yang masih menggelora.

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kekuasaan Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa sesungguhnya (AQ) adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Tuhanmu sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS 41:53)

Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dalam keragu-raguan tentang menemui Tuhannya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu. (QS 41:54)

Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik, tidak akan meninggalkan pendiriannya sehingga datang kepada mereka bukti yang nyata, yaitu seorang utusan dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran yang suci (Shuhufam Muthahharah, lembaran paling dasar sistem ilmu pengetahuan manusia yaitu cara menyusun abjad dan bilangan yang diresumekan didalam lingkaran Sang Waktu dan tertera persis di 2x23 krokosom kita sebagai lembaran sejarah makhluk di Planet Bumi), didalamnya terdapat kitab-kitab (pengajaran) yang benar.

Dan tiadalah berselisih orang-orang yang diberi kitab kepada mereka, melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata (yaitu : sidik jari di ibu jari dan telunjuk mereka sendiri yang mencitrakan 6236 ayat AQ, DNA no 8 kita juga disebut sidik DNA).

Dan tiadalah mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (yaitu: menjadi orang yang mukhlisin) dalam menjalankan petunjuk dari sumbernya dengan lurus (yaitu: tidak terdistorsi atau dibengkokkan untuk kepentingan hawa nafsu), mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, dan demikian itulah agama yang lurus.

Sesungguhnya orang-orang kafir dari Ahli kitab dan orang-orang musyrik (ctt: termasuk disini mereka yang sudah mengaku Islam), adalah di neraka jahanam, dan mereka kekal didalamnya. Mereka itulah seburuk-buruknya makhluk.

Sesungguhnya orang yang beriman dan beramal saleh mereka itulah sebaik-baik makhluk.

Balasan mereka di sisi-Nya adalah surga-surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai dibawahnya; mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah orang-orang yang takut kepada Penciptanya.

(QS 98: 1-8, surat al-Bayyinah atau Bukti Nyata bahwa Sidik Jari kita maupun sidik DNA no 8 kita unik sesuai dengan ke-Esa-an DiriNya, 8 juga adalah batasan untuk jangan melampaui al-Mizan Allah dengan melanggar keseimbangan sistemik seperti disebutkan di QS 55:8, 8 juga adalah kode sandi pengungkapan tabir Sang Waktu sebagai suatu siklus kehidupan di Planet Bumi, Planet Earth, Planet Heart)