Tuesday, February 27, 2007

Ingat Mati Tapi Lupa Diri

Sebuah hadist Qudsi yang cukup, panjang menggelitik hati kita, Sangat baik kita simak.

Aku (Allah) heran terhadap orang yang yakin akan datangnya kematian tetapi ia masih membanggakan diri ?

Aku heran terhadap orang yang yakin dengan hari perhitungan (hisab), kenapa ia masih sibuk menimbun harta benda?

Aku heran terhadap orang yang yakin akan masuk pintu kubur, kenapa mereka masih tertawa terbahak‑bahak?

Aku heran terhadap orang yang yakin terhadap hari akhirat, kenapa mereka masih bersenang‑senang dan lalai tidak beramal?

Aku heran terhadap orang yang yakin akan lenyapnya dunia ini, kenapa dia masih menambatkan hati kepadanya?

Aku heran terhadap orang alim yang pintar bicara tetapi bodoh dalam paham pengertian.

Aku heran terhadap orang yang sibuk menyelidiki aib orang lain, tetapi lupa cacat/cela dirinya sendiri.

Aku heran terhadap orang yang tahu bahwa Allah memperhatikan tingkah lakunya, mengapa ia masih durhaka kepada Allah?

Aku heran terhadap orang yang mengerti bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kubur sendirian, kenapa ia masih asyik bersenda gurau dengan orang banyak?

Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, Muhammad itu benar‑benar hamba‑Ku dan rasulKu

Diakui atau tidak, banyak orang yang tidak sempat mengadakan perenungan. Dengan kesibukan yang padat, rasanya sulit mencari waktu yang tepat untuk berpikir mendalam. Hari‑hari hanya diisi dengan kerja dan kerja. Semua waktu habis sekadar untuk mencari nafkah. Kesibukan seperti ini sudah menjadi ciri atau malah menjadi bagian dari kehidupan modern.

Malam hari yang semestinya waktu paling cocok untuk melakukan perenungan ternyata juga tersita untuk sekedar urusan dunia. Malam, utamanya dikota‑kota besar tidak lagi ada bedanya dengan siang, Tetap ramai, tetap sibuk. Lampu‑lampu kota kini telah menjadi ‘pengganti’ matahari. Malam pun tetap terang benderang, Itulah sebabnya kemudian bermunculan manusia ‘kelelawar’ yang jadwal hidupnya justru terbalik, Di siang hari mereka tidur, malam hari mulai menampakkan tanda‑tanda kehidupannya bekerja. Tentu saja hal ini menyalahi sunnah, menyelisih fitrah.

Firman Allah,”Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (QS Al‑Furdan 47 ).
Karena manusia sudah merasa tidak lagi cukup waktunya untuk mencari kehidupan di siang hari saja, maka malam harinya mereka gunakan juga untuk bekerja. Akibatnya jam istirahat berkurang. Apalagi jam untuk tafakkur, mengadakan perenungan, muhasabah (menghitung diri), muroqobah (mendekatkan diri pada Allah), hampir tiada lagi sama sekali. Jangankan shalat malam, sedang shalat Isya saja dikerjakan sambil ngantuk, pikirannya masih tertuju pada lain yang sifatnya keduniaan. Apalagi disaat shalat, TV tidak dimatikan, sebab anak istri sedang menonton, Bagaimana bisa khusyu’ sedang ingat bacaannya sudah kesulitan. Terlebih kini semakin banyak saja acara yang menarik, yang melalaikan manusia dari memikirkan arti hidupnya sendiri. Semestinya sebelum pergi tidur diluangkan waktu sejenak untuk berzikir. Kalau bisa, shalat dua rakaat. Kalau masih bisa, baca Al Qur’an minimal tiga surat terakhir atau tiga Qul, yaitu Qul Huwallahu ahad, Qul a'udzubirabbil falaq, dan Qul a'udzu birabbinnas, lalu ditutup dengan do'a tidur. Tapi alangkah banyaknya orang yang pergi tidur tanpa sengaja. Sambil menonton TV keterusan. Lupa berzikir, lupa shalat, lupa berdo’a ataupun mengadakan perenungan. Malah mengatur posisi tidurnya saja tidak sempat untuk bangun tengah malam apalagi.

Kurangnya mengadakan perenungan berakibat sangat fatal, Manusia tak lagi mengerti untuk apa mereka bekerja. Mereka bekerja sekedar untuk mencari harta. Setelah harta didapat digunakan sekenanya. Tidak ada waktu lagi untuk berfikir, darimana harta didapat.
Tidak ada kesempatan untuk merenung, apakah yang lain juga mendapat, Tak juga sempat menilai, halal atau haram pendapatannya dan sebaliknya digunakan untuk apa saja itu semua. Dalam benaknya hanya ada satu pikiran, pokoknya saya dapat. Mestinya berfikir, darimana didapat, dan kemana dibelanjakan. Orang yang sudah pada taraf seperti ini hidupnya hanyalah sekedar untuk memenuhi hidup. Mereka bekerja, berjuang, berkorban, berdamai dan berperang, hanya untuk hidup, bahkan mereka mempertaruhkan hidupnya sekedar untuk hidup.

Mereka ini disindir Allah dalam firman‑Nya ”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat‑ayat Allah. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dimanfaatkan untuk melihat tanda‑tanda kebesaran Allah, mereka mempunyai telinga, tapi tidak dipakai untuk mendengar ayat‑ayat Allah. Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, Mereka itulah orang‑orang yang lalai,” (QS Al A’raaf: 179 ).

Telinga mereka berlubang dan bisa mendengar, tapi tidak mau mendengarkan nasehat, anjuran, perintah dan larangan Dzat yang menciptakan telinga. Inilah yang disebut telinga pasif oleh Allah. Bukan berarti telinga ini tak aktif terhadap yang lain. Begitu musik disetel, nyanyian diperdengarkan, fitnah digunjingkan, telinga itu menjadi normal kembali, Mata mereka juga melek, tapi untuk membaca kalimat Allah mata itu menjadi rabun, malah buta sama sekali, Berbeda bila melihat lenggak lenggok artis, baik di pentas terbuka maupun di layar televisi, mata itu tiba‑tiba jernih, sejernih kaca TV. Mereka juga punya hati, tapi sekedar gumpalan daging yang terbalut rongga dada, Hati yang
berupa qolb tak lagi mereka punyai, paling tidak sudah lama tak terpakai. Usang, sulit dicari. Jika harus diaktifkan, masih perlu dibersihkan, diservis, bahkan mungkin dibongkar pasang dulu.

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” kata Allah dalam surah Al –israa’ 36.
Sebelum hari pertanggungjawaban itu, sebaiknya kita memanfaatkanya untuk merenung, adakah ketiga‑tiganya sudah berfungsi sebagaimana yang diharapkan oleh Yang Menciptakan? Atau kita masih beralasan, belum ada waktu untuk merenungkan?

Hadist Qudsi di atas adalah ajakan kepada kita untuk merenungkan sejenak arti hidup kita di dunia ini. Jelas sekali bahwa Allah tidak heran kepada manusia, sebab Dia sendiri yang menciptakan, Redaksi hadist ini dibuat sedemikian rupa, agar lebih komunikatif, agar mudah dicerna dan difahami. Lebih penting lagi, agar mudah menyentuh hati. Soal sentuh menyentuh hati ini bukan perkara sederhana, apalagi untuk ukuran sekarang ini. Bukan Mayat Berjalan orang hidup yang lupa mempersiapkan untuk hari esok, disindir oleh Nabi Muhammad Saw seperti mayat hidup yang sedang berjalan. Artinya, fisiknya hidup, tetapi hatinya telah mati.

Orang yang hatinya mati, bisa kita lihat dari berbagai tanda, Misalnya, mereka tidak peduli ada peringatan Allah atau tidak, Mereka tenang saja melenggang bahkan berjalan dengan sombong di muka bumi. Seolah dia akan bisa hidup selamanya, Orang yang hatinya mati, sering kali tidak bergetar mendengar nama Allah disebut, dan tidak bergeming meski dibacakan ayat‑ayat Allah. Baginya semua itu seperti tidak ada kaitan sama sekali dengan masa depan, yaitu masa depan yang begitu abadi. Orang yang hatinya mati, tidak pernah merasa bersalah meski tiap hari melanggar aturan Allah. Dia mengira tak ada orang lain yang tahu, dan dikiranya Allah tidak melihatnya. Jika berbuat maksiat, ukurannya hanya dirinya dan orang lain. Sepanjang dirinya suka, dan orang lain tidak melihatnya, dengan serta merta melakukannya. Dan masih banyak lagi tanda‑tanda orang yang hatinya telah mati. Maka kita hendaknya selalu ingat bahwa diri kita ini bukan mayat sedang berjalan, kita ini memang benar‑benar hidup sehingga harus mengisi lintasan kehidupan ini dengan penuh perhitungan matang. Kita dengan sadar melangkahkan kaki ke tujuan yang baik, Dengan sadar mengayunkan tangan ke arah yang benar. Kita buka tutup lisan kita dengan kalimat yang baik, benar, dan menyenangkan.

Orang yang jiwanya hidup, perilakunya terkontrol. Hidupnya dinamis, dan dia mempunyai standar dalam mengukur dirinya, Jika merasa salah, maka segera minta ampun, dan jika dirasakan benar, tidak menyombongkan diri. Tidak ada kata terlambat untuk mengubah arah jarum jam kehidupan ini, Kalau selama ini dirasakan arahnya salah, maka segera putar dengan penuh kesadaran ke arah yang benar. Niat dan tekad mendalam untuk menjadi manusia baik hendaknya selalu ditumbuhkan setiap kali bangun tidur. Dan meminta ampun dari segala salah dan khilaf disaat akan tidur. Bisakah?